Jumat, 1 Pebruari 2008

Teknologi IPAT Produksi Padi Meningkat Tiga Kali Lipat

Teknologi intensifikasi padi aerob terkendali berbasis organik perlu dikembangkan secara massal. Sebab terbukti meningkatkan produktivitas hasil panen 2—4 kali lipat.

Tahun lalu, jumlah penduduk sudah mencapai 232 juta jiwa. Laju pertumbuhannya sekitar 1,3%—1,5% per tahun. Tiap penduduk mengonsumsi beras 135 kg per tahun.

Agar bisa memenuhi kebutuhan makan penduduk, setiap tahun Indonesia harus bisa menambah produksi padi 3 juta ton gabah kering giling (GKG). Jumlah ini setara dengan 1,8 juta ton beras.

Mentan Anton Apriyantono menghitung, untuk memenuhi keperluan tersebut diperlukan penambahan areal sawah 600 ribu hektar. Bila tidak, lanjut dia, pada 2017 negeri ini bakal dilanda krisis pangan.

Menambah jumlah produksi dengan memperluas areal sawah (ekstensifikasi), bukan hal mudah. “Mencetak sawah baru itu tidak gampang,” ungkap Eryck Wowor, Direktur Operasional PT Sumber Alam Sutera, produsen benih padi hibrida di Jakarta. Upaya itu memerlukan waktu lama dan biaya tinggi. Ditambah pula, setiap tahun tidak kurang dari 40 ribu hektar sawah beralih fungsi. Lantas, apa yang mesti dilakukan, khususnya dalam jangka pendek?

Beragam Program

Dari tiga jurus yang bakal dilakukan Mentan untuk menangkal ancaman krisis pangan (baca AGRINA Edisi 69), di luar diversifikasi (penganekaragaman), tampaknya peningkatan produktivitas (intensifikasi) dapat dipilih sebagai langkah prioritas. Menurut Sidi Asmono, Manajer Bayer BioScience Indonesia, produsen padi hibrida, di Jakarta, dalam melaksanakan intensifikasi, mulai dari pemanfaatan benih bersertifikat dan benih hibrida, teknologi budidaya, hingga penanganan pascapanen, harus disinergikan. Pilihan teknologi tersebut disesuaikan dengan kondisi sawah dan lingkungan masing-masing daerah.

Sesungguhnya, untuk meningkatkan produksi padi, pemerintah telah meluncurkan beragam program. Tahun 1970-an, pemerintah mencanangkan Program Bimbingan Massal (Bimas) dan Intensifikasi Massal (Inmas). Kemudian disusul pada 1980-an dengan Intensifikasi Khusus (Insus) dan Supra Insus.

Terlepas dari pro kontra terhadap program tersebut, tahun 1980-an produksi padi meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun 1960-an. Bahkan pada 1984, Indonesia bisa mewujudkan swasembada beras selama empat tahun. Namun setelah itu, negeri ini kembali menjadi pengimpor beras, hingga saat ini.

Kurun 1999 hingga sekarang, muncul lagi inovasi intensifikasi guna lebih meningkatkan produktivitas dan produksi padi, seperti Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) serta System of Rice Intensification (SRI). Teranyar (2006—2007) muncul terobosan teknologi Intensifikasi Padi Aerob Terkendali Berbasis Organik (IPAT-BO). Teknologi untuk menggenjot produsi padi ini diperkenalkan Prof. Dr. Ir. Tualar Simarmata, MS., Pakar Bioteknologi Tanah dari Fakultas Pertanian Unpad, Bandung.

Inovasi PTT

Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (Balitpa), Sukamandi, Jabar, membuat konsep Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), sekitar 1999. Formula ini menekankan pada pendekatan sumber daya alam untuk meningkatkan produktivitas padi. Menurut Dr. Hasil Sembiring, Kepala Balitpa, inovasi PTT pada prinsipnya merupakan penggabungan kaidah efisiensi, sinergis, dan dinamis secara partisipatif.

Berbeda dengan Insus maupun Supra Insus, pendekatan PTT lebih memperhatikan keberagaman lingkungan pertanaman dan kondisi petani. Sehingga penerapan sistem usaha tani tersebut disesuaikan dengan karakteristik wilayah dan masalah setempat (spesifik lokasi).

PTT menekankan pada penerapan tiga komponen teknologi utama, yaitu pengairan berselang (intermiten), penggunaan bibit muda (satu bibit/lubang tanam), dan pemanfaatan bahan organik (pupuk kandang/kompos). Varietas padi yang dianjurkan adalah Varietas Unggul Baru (VUB), yang sudah dilepas sebanyak 170 varietas, seperti Ciherang atau IR 64; Varietas Unggul Tipe Baru seperti Gilirang atau Cimelati; dan Varietas Unggul Hibrida (VUH) seperti Arize Hibrindo, Intani2, Longping Pusaka, atau Bernas Prima. Penggunaan benih bermutu itu dipilih yang cocok untuk lokasi setempat.

Komponen lain yang harus diperhatikan dalam penerapan sistem PTT adalah pengolahan tanah secara sempurna. Ditambah pemupukan urea sesuai kebutuhan tanaman berdasar Bagan Warna Daun (BWD). Sementara pupuk fosfor (SP 36) dan Kalium (KCl) berdasar hasil analisis tanah. Plus pengendalian hama penyakit secara terpadu.

Balitpa sudah menguji sistem PTT di 18 kabupaten (9 provinsi). Hasilnya, produksi padi meningkat rata-rata 1,1 ton/ha GKG, dibandingkan sistem konvensional. Dengan menanam Ciherang atau Gilirang, hasilnya 8 ton/ha GKG. Sedangkan padi hibrida lebih tinggi lagi, 9 ton/ha GKG.

Meski menggembirakan, penyebaran informasi PTT belum merata hingga ke pelosok negeri. Masih banyak petani hanya mengandalkan pupuk kimia dan pengairan sistem tergenang (anaerob). Penerapan sistem PTT diarahkan untuk sawah beririgasi, tadah hujan, rawa, dan lahan kering. Namun kenyataannya sistem tersebut lebih banyak dikampanyekan untuk sawah beririgasi.

Sistem SRI

Hampir berbarengan dengan sosialisasi PTT, Balitpa pun menguji teknologi SRI yang diadopsi dari Madagaskar. Namun uji coba penerapan SRI mulai banyak dilakukan sejak 2004.

Menurut Deptan, pengertian SRI di Indonesia adalah usahatani padi sawah irigasi secara intensif dan efisien dalam pengelolaan tanah, tanaman serta air. Melalui pemberdayaan kelompok dan kearifan lokal serta berbasis pada kaidah ramah lingkungan.

Berbeda di negeri asalnya, teknologi SRI di Indonesia lebih menitikberatkan pada penggunaan pupuk organik. Pun untuk mengendalikan hama penyakit hanya mengandalkan pestisida alami. “Dengan menerapkan SRI, kami berharap petani mampu memperbaiki kondisi lahan. Hasil panen lebih baik karena tidak tercemar bahan kimia dari pupuk maupun pestisida,” papar Ahmad Jatika, Pendiri Yayasan Aliksa Organic SRI, di Sukabumi, Jabar.

Komponen teknologi yang diterapkan pada sistem SRI tidak jauh berbeda dengan PTT (lihat tabel). Hanya, pola SRI lebih cocok untuk memproduksi padi organik. Menurut Jatika, petani yang sudah mengadopsi SRI sekitar 12.300 orang yang tersebar di 14 provinsi. Para petani tersebut fokus untuk memproduksi padi organik.

“Petani yang menerapkan metode SRI memang masih sedikit. Bagi petani, sistem SRI masih ruwet dibanding pola konvensional, walaupun hasilnya sebanding. Oleh sebab itu, metode ini perlu mendapatkan pengawalan dari awal hingga panen sebelum petani dilepas melakuakannya sendiri,” tandas Jatika.

Menurut Hasil Sembiring, untuk menggenjot produksi dalam mengejar swasembada, SRI sulit diterapkan. Sebab, untuk mendapatkan pupuk organik sesuai pola SRI (7—10 ton/ha) tidak mudah. Di sisi lain, 90% petani tanaman pangan masih mengandalkan pupuk kimia. Meski begitu, dengan menerapkan SRI, menurut Jatika, terjadi penghematan air 40% dibandingkan sistem konvensional. Benih yang dibutuhkan pun hanya seperempatnya. Hasil panen rata-rata 8 ton GKP/ha, berbagai varietas.

Teknologi IPAT-BO

Kurun 2006—2007, muncul teknologi IPAT-BO. “Dengan metode ini produktivitas hasil panen meningkat 3—4 kali lipat di luar Jawa. Sementara di Jawa meningkat 2 kali lipat,” kata sang penemu, Tualar Simarmata. Hasil kaji terap selama kurun waktu tersebut, intensifikasi padi aerob terkendali dengan berbagai varietas padi di beberapa lokasi di Jabar dan Jatim mampu menghasilkan padi 10—16 ton GKG/ha, atau naik rata-rata 50%—150% dibandingkan sistem konvensional. Sampai saat ini, teknologi IPAT-BO sudah diterapkan banyak petani di Jabar, Jateng, Jatim, Sumut, Sulut, Kalbar, NTB, dan NTT.

Menurut Simarmata, metode intensifikasi padi sawah dengan sistem tergenang (anaerob) selama ini tidak saja menyebabkan tak berfungsinya kekuatan biologis tanah, tetapi juga menghambat perkembangan sistem perakaran padi. ”Biota tanah yang aerob tak dapat berkembang dan diperkirakan hanya sekitar 25% yang berkembang optimal. Akibatnya, potensi hasil berbagai varietas padi selama ini hanya 7—8 ton/ha, sementara dengan IPAT-BO bisa di atas 20 ton/ha.

Dibandingkan sistem konvesnsional, keunggulan IPAT-BO di antaranya adalah hemat air 25%, hemat bibit 25%, hemat pupuk kimia 50%, dan panen lebih awal 7—10 hari. Pertumbuhan dan hasil padi pun mengagumkan, jumlah anakan 60—100/rumpun dan malai berisi 50—80/rumpun.

Simarmata menambahkan, teknologi IPAT-BO bisa dimanfaatkan untuk membangun kemandirian pangan. Sebab, untuk bisa swasembada dengan luas panen hanya sekitar 11 juta ha, petani harus mampu meningkatkan produktivitas padi nasional dari 4–6 ton/ha  menjadi 6–8 ton/ha. Sementara bila ingin menjadi eksportir beras, produktivitas padi harus didongkrak menjadi 8–12 ton/ha. “Dengan menerapkan IPAT-BO terbukti produktivitas padi meningkat sesuai yang diharapkan,” tandasnya.

Sutarto Alimoeso, Dirjen Tanaman Pangan, Deptan, berpendapat, teknologi IPAT-BO merupakan salah satu teknologi yang bisa dikembangkan dan dapat disesuaikan dengan kondisi setempat, asalkan kondisi airnya bisa diatur. Walau begitu, lanjut dia, sistem tersebut tidak akan dipaksakan diterapkan di semua wilayah di Indonesia karena tidak ada teknologi yang sama untuk seluruh wilayah. Hal itu bergantung pada variasi jenis tanah, ketersediaan air, iklim, dan juga sosial budaya masyarakat setempat.

Yang jelas, teknologi merupakan pilihan bagi pengguna. Jika teknologi itu baik dan memberikan keuntungan, tentu petani tak enggan menerapkannya. Oleh sebab itu, menjadi tugas pemerintah, para pakar, dan swasta untuk menyediakan berbagai acuan teknologi yang dapat meningkatkan produksi padi.

Dadang WI, Yan S., Enny PT., Tri Mardi, Selamet R.

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain