Saya sudah ngalamin susahnya jual ayam sendiri waktu jadi peternak mandiri. Masarin ayam 500—1.000 ekor aja bingung.
Begitu pernyataan H. Idung, seorang peternak ayam pedaging (broiler) di Desa Tapos, Kecamatan Tenjo, Kabupaten Bogor, kepada AGRINA (11/1). Penyebabnya, pedagang yang membeli ayam peternak umumnya tidak membayar tunai. “Untuk 500 ekor ayam yang nilainya sekitar Rp10 juta, paling ngasih DP (uang muka) Rp200 ribu—Rp300 ribu. Ngejualnya mah gampang, nagihnya yang sulit,” jelasnya dengan logat Sunda yang kental.
Padahal, peternak butuh sarana produksi untuk siklus pemeliharaan berikutnya. “Agen-agen di pasar itu ngambil barang tapi belum bayar lunas, kita sudah panen lagi sehingga banyak uang peternak yang masih di tangan agen,” tambahnya. Dengan cara begitu, akhirnya banyak peternak mandiri yang menghentikan usahanya karena kehabisan modal.
Win-win Solution
Ribuan peternak rakyat seperti H. Idung menghadapi kendala yang sama dalam mengelola usahanya, yaitu modal pas-pasan dan elastisitas harga produk yang tinggi. Harga jual produk yang berfluktuasi, terkadang jauh di bawah harga pokok produksi (HPP), membuat peternak kecil sering merugi.
Untuk itulah sejumlah perusahaan integrasi di bidang perunggasan membuka divisi baru yang bertujuan membantu peternak kecil dalam bentuk kemitraan. Kerjasama ini dipandang menguntungkan kedua belah pihak. “Dengan bermitra, peternak bisa terus operasional paling tidak enam kali panen per tahun, sedangkan kita bisa terus meningkatkan serapan sapronak,” jelas Darmansyah, Vice President PT Inter Agro Prospek, (IAP) perusahaan kemitraan unggas kelompok PT Charoen Pokphand Indonesia.
Hal senada diutarakan Achmad Dawami, Senior Vice President PT Primatama KaryaPersada, perusahaan kemitraan unggas Grup Japfa. “Semua orang mungkin bisa beternak, tapi belum tentu bisa memasarkan. Kemitraan itu merupakan win-win solution. Perusahaan perunggasan yang bertindak sebagai inti tidak perlu investasi kandang, sedangkan plasma (peternak) tidak perlu berspekulasi terhadap harga produk maupun sapronak,” katanya.
Pola kemitraan unggas di Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak 1987, tetapi baru mulai berkembang sekitar 1990/1991. Saat itu, hanya satu dua perusahaan peternakan yang melakukannya, yakni IAP dan PKP. Pada awalnya dulu, tidak gampang menggandeng peternak untuk bermitra. Karena, “Banyak dari mereka berpendapat, hanya inti saja yang akan menikmati keuntungan,” lanjut Dawami.
Hal yang sama dialami IAP yang memulai program kemitraan unggasnya di wilayah Jabotabek. “Awal meyakinkan mereka memang agak sulit. Dari 12 orang peternak yang kami tawari, hanya lima orang saja yang bersedia bekerjasama dengan total populasi sekitar 4.000 ekor,” terang Darmansyah. Tujuh peternak lainnya, belum bersedia ikut karena tidak yakin dengan program kemitraan yang ditawarkan.
Saat ini bukan perusahaan inti yang mencari peternak tapi sebaliknya peternak yang ingin bermitra dengan inti. Terutama setelah krisis ekonomi 1997/1998, banyak peternak mandiri yang kehabisan modal dan memilih bermitra. “Puncak kemitraan unggas di Indonesia terjadi tahun 2000,” lanjut Darmansyah yang ribuan peternak mitranya tersebar di Pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi.
Menurut Dawami, saat ini 70% dari peternak unggas di Indonesia menjalankan usahanya dengan bermitra, baik menggandeng perusahaan kemitraan unggas atau peternak unggas besar mandiri. “Kita dorong peternak untuk memelihara minimal 5.000 ekor per siklus, sehingga pendapatannya bisa mencapai Rp4 juta—Rp5 juta per siklus,” ujar lulusan Fakultas Peternakan UGM yang perusahaannya bermitra dengan sekitar 3.600 peternak dan mempekerjakan lebih dari 7.000 anak kandang itu.
Jamin Ada Keuntungan
H. Idung contohnya. Peternak mitra PKP dengan populasi 11.000 ekor ayam pedaging per siklus ini memperoleh penghasilan sekitar Rp4,4 juta yang berasal dari insentif dan penjualan ayam. Ukuran panen ayam rata-rata 1,4 kg per ekor dan tingkat kematian sekitar 3,5% sehingga haji yang kenyang bermitra dengan berbagai perusahaan ini memperoleh sekitar 15 ton ayam hidup.
Peternak mitra dengan sistem bagi hasil seperti H. Idung memang memperoleh penghasilan dari bagi hasil panen unggasnya dan insentif perusahaan inti. Insentif diberikan jika perbandingan antara jumlah pakan yang dipasok dan volume ayam yang dihasilkan dinilai efisien. Standar indeks produksi ini berbeda-beda, bergantung pada ukuran ayam yang dihasilkan. Besaran insentif di PKP berkisar Rp55— Rp675 per kg ayam.
Selain memperoleh pasokan sapronak dan bimbingan teknis, haji yang populasi unggasnya hanya sekitar 1.000 ekor saat menjadi peternak mandiri ini, mendapatkan biaya operasional Rp500 per ekor. “Maksimal empat hari setelah DOC masuk, uang untuk biaya produksi akan kita serahkan kepada peternak mitra,” timpal Jarot Wirasdiyartomo, Head of Region Jabotabek II PKP yang membawahi wilayah Tangerang, Banten, dan sekitarnya.
Sebagai mitra, H. Idung mendapat suplai sapronak, termasuk DOC, dengan harga yang telah disepakai bersama, sedangkan harga jual ayam mengikuti harga pasar saat panen berlangsung. “Kami menjamin ada selisih antara harga pasar dan harga sapronak, jadi peternak masih mendapat keuntungan,” tegas Jarot.
Penghasilan lain peternak bagi hasil adalah persentase dari hasil penjualan produk pada saat harga ayam di pasar meningkat tajam. “Misalnya harga ayam selisih Rp4.000 dari yang biasanya, peternak dapat bagian lagi sekian persen, tergantung IP,” jelas Idung yang menghimpun sekitar 10 peternak di wilayahnya dengan populasi hampir mendekati 100 ribu ekor.
Meskipun begitu, diakui H. Idung, bermitra tak berarti terlepas sama sekali dari masalah. Hal ini terkait dengan harga ayam yang fluktuatif dan keterbatasan serapan pasar. “Kadang-kadang panen nggak bisa sekaligus karena pasar lagi nggak bagus. Nah, sisanya jadi stres,” jelas H. Idung.
Hal ini diakui Roniyus Henry Teopilius, Production Supervisor Jabotabek II PKP, yang menyatakan, pada saat pasar lemah, broker atau agen ayam hanya mengambil sebagian dari populasi peternak. “Ayam sisa handling inilah yang biasanya menurun performanya,” ujarnya.
Memang, tidak semua hasil peternak mitra bisa diserap ke perusahaan pengolahan ayam olahan. Selain itu, tidak semua lokasi peternakan cocok untuk memelihara ayam hingga ukuran 1,8—2 kg per ekor. “Kekuatan di sini paling 1,2—1,4 kg per ekor dengan lama pemeliharaan 32—33 hari,” ujar H. Idung. Jika dipaksakan, ayam malah stres atau mati karena iklimnya, terutama suhu, yang kurang mendukung.
Enny Purbani T., Dadang WI