Bagaimana bila ancaman krisis pangan 2008 yang diperingatkan PBB akhir tahun lalu menjadi kenyataan?
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui organisasi pangan dan pertaniannya (FAO) menyatakan, 37 negara, termasuk Indonesia, mulai tahun ini menghadapi krisis pangan karena perubahan iklim dan bencana alam. FAO menegaskan, kebutuhan biji-bijian dunia pada 2007—2008 diperkirakan meningkat 2.103 juta ton atau naik hampir 2% dibandingkan periode sebelumnya. Sebaliknya, stok pangan dunia yang diperhitungkan hingga akhir musim tanam 2008, justru diperkirakan turun sekitar 420 juta ton dari stok sebelumnya. Harga internasional biji-bijian akan tetap tinggi lantaran pasokannya seret.
Tidak Hanya Padi
Sesungguhnya, pangan bukan melulu menyangkut padi atau beras. Tapi termasuk jagung, kacang-kacangan, umbi-umbian, dan bahan protein hewani seperti daging, susu, telur, serta ikan.
Menyoal padi, Dirjen Tanaman Pangan, Sutarto Alimoeso, justru menepis pernyataan FAO. Menurut dia, pernyataan FAO kurang tepat. Sebab, dia mencontohkan, walaupun terjadi La Nina (fenomena perubahan iklim yang menyebabkan curah hujan sangat tinggi) pada 1997—1998, produksi padi waktu itu meningkat 3%. “Yang kita kuatirkan justru bila terjadi El Nino (fenomena perubahan iklim yang mengakibatkan kekeringan). Karena 8 juta hektar sawah memerlukan pengairan,” ujarnya.
Berdasar catatan Badan Pusat Statistik (BPS), produksi padi pada 2007 mencapai 57,05 juta ton gabah kering giling (GKG). Jumlah ini naik 4,76% dibandingkan 2006 (lihat tabel). “Memang angka itu belum memenuhi jumlah yang ditargetkan sebanyak 58,18 juta ton GKG,” jelas Sutarto. Walau begitu, Sutarto optimis, tahun ini produksi padi ditargetkan memenuhi 61 juta ton GKG.
Meski demikian, Sidi Asmono, Manajer BioScience Indonesia, produsen benih padi hibrida, mengkhawatirkan dengan adanya perubahan iklim sepanjang pantura Jawa berpeotensi rawan intrusi air laut ke sentra utama produksi padi. Sehingga diperlukan inovasi teknologi terhadap cekaman abiotik yang sifatnya antisipatif.
Mentan Anton Apriyantono menganalisis, setiap tahun diperlukan penambahan produksi beras 1,8 juta ton. Jumlah ini setara dengan 3 juta ton GKG. Untuk itu diperlukan penambahan areal sawah seluas 600 ribu hektar. Bila tidak terpenuhi, dia menghitung pada 2017 negeri ini bakal dilanda krisis pangan. Sebab, ada ketimpangan antara jumlah penduduk dan ketersediaan lahan pertanian. Laju pertumbuhan penduduk sekitar 1,3%—1,5%/tahun. Di lain pihak, setiap tahun tidak kurang dari 10 ribu hektar sawah beralih fungsi.
Lahan Abadi
Menurut Mentan, ada tiga jurus yang harus dilakukan untuk menangkal ancaman krisis pangan. Upaya itu meliputi perluasan areal, peningkatan produktivitas, dan diversifikasi konsumsi.
Anton berujar, pemerintah pusat sampai kabupaten wajib melakukan perlindungan terhadap lahan pertanian produktif. Berbagai insentif kepada petani seperti subsidi pupuk dan benih harus tetap dilakukan. Pemerintah daerah pun perlu melakukan penataan ruang dan menetapkan kawasan lahan pertanian yang dilindungi. Sehingga lahan itu menjadi lahan pertanian pangan abadi (LPPA) guna menjamin ketahanan pangan nasional. “Saat ini pemerintah dan DPR tengah menggodok Rancangan Undang-undang LPPA,” imbuh Hilman Manan, Dirjen Pengelolaan Lahan dan Air, Deptan. Untuk menjamin ketersediaan pangan, lanjut dia, diperlukan 15 juta hektar lahan pertanian abadi. Sehubungan dengan itu, Sidi Asmono, menekankan, implementasi regulasi tersebut harus benar-benar ditegakkan.
Sementara dalam memacu peningkatan produksi dan produktivitas padi, menurut Sutarto, pemerintah tetap melanjutkan program subisidi benih maupun pupuk. Pada 2007, anggaran subsidi benih varietas unggul padi, jagung, dan kedelai, senilai Rp1,7 triliun. Bantuan ini meliputi benih padi nonhibrida 116 ribu ton, padi hibrida 135 ribu ton, jagung komposit 6.000 ton, jagung hibrida 10.500 ton, dan kedelai 13.454 ton. Sayangnya, realisasi penyaluran benih-benih itu, sampai Oktober 2007, baru mencapai 40%. Rendahnya tingkat penyaluran tersebut, masih menurut Dirjen Sutarto, lebih disebabkan karena faktor administrasi di setiap daerah. Meskipun demikian, subsidi benih untuk tahun ini akan ditingkatkan.
Pun subsidi pupuk. Untuk tahun ini nilainya meningkat dari Rp5,797 triliun menjadi Rp7,51 triliun. Jenis pupuk bersubsidi meliputi urea 4,3 juta ton, SP-36, dan NPK masing-masing 1 juta ton, ZA 700 ribu ton, serta pupuk organik 500 ribu ton. Soal pupuk Sutarto mengatakan, pengurangan urea dari 4,5 juta menjadi 4,3 juta ton tapi ditambah pupuk organik supaya pemupukan berimbang. “Kebijakan ini diharapkan bisa memperbaiki kondisi lahan sebagai antisipasi persoalan pemanasan global,” ucapnya.
Spudnik Sujono, Direktur Sarana Produksi, Ditjen Tanaman Pangan, menambahkan, pihaknya akan terus membantu petani dalam pengadaan traktor dan pompa air. Demikian juga Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (P2HP) akan melaksanakan program perbaikan pascapanen dengan anggaran Rp80 miliar. Dana ini dialokasikan untuk pengadaan sabit bergerigi, terpal, perontok padi (manual dan mesin), penggilingan padi, dan pengering jagung.
Langkah berikutnya, memperagam (diversifikasi) konsumsi pangan agar masyarakat tidak terpaku hanya makan beras. Menurut Anton, pemerintah tengah mencanangkan penurunan konsumsi beras 1%/tahun. Dengan program ini, beras nasional bisa dihemat 300 ribu ton setahun, atau 500 ribu ton GKG. Saat ini konsumsi beras139,15 kg/kapita/tahun. Idealnya, lanjut dia, sebanyak 100 kg/tahun.
Tampaknya, dibandingkan program lain, diversifikasi dapat dipilih sebagai langkah utama mengingat waktu yang diperlukan lebih pendek. Masyarakat hanya perlu memanfaatkan lahan yang ada untuk menanam bahan makanan lain di samping padi, seperti jagung, singkong, dan umbi-umbian.
Terancam Rawan Gizi
Di luar persoalan bahan makanan pokok, sebenarnya tahun ini Indonesia terancam rawan pasokan protein hewani, khususnya daging, telur, dan susu. Di sisi lain, menurut Tjeppy D. Sudjana, Dirjen Peternakan, Deptan, sekitar 62% pemenuhan konsumsi daging berasal dari daging unggas (ayam). Namun industri perunggasan saat ini tengah kritis.
Hal itu bermula dari terus meroketnya harga bahan baku pakan. Sebab sebagian bahan baku masih impor. Menurut Fenni Firman Gunadi, Sekjen Asosiasi Produsen Pakan Indonesia (GPMT), sepanjang 2007 sampai sekarang, bahan baku pakan terus meningkat secara dramatis. Harga jagung lokal saat ini menembus Rp2.400/kg. Sedangkan harga jagung impor Rp2.600/kg. Demikian pula harga bungkil kedelai (soybean meal/SBM) dari India naik lagi menjadi US$500/ton. Sementara harga tepung tulang (meat & bone meal/MBM) US$625/ton, dedak padi Rp1.700/kg dan ampas kelapa Rp1.400/kg.
Tak ada jalan lain, para pabrikan menaikkan harga jual pakan. Hal ini jelas sangat memberatkan peternak, sebab pakan merupakan 60% biaya produksi. ”Harga pakan di tingkat peternak saat ini (minggu pertama Januari, Red.), sudah menembus Rp4.200/kg,” ungkap H. Mufti, peternak broiler di Tasikmalaya, Jabar, yang juga membina 1.500 peternak plasma. Untuk bisa bertahan dalam kondisi seperti saat ini, lanjut dia, peternakan broiler hanya bisa mengutak-atik harga bibit ayam (DOC). ”Soal manajemen pengelolaan untuk menekan FCR dan tingkat kematian tidak lebih dari 1%, sudah biasa dilakukan peternak,” tandasnya.
Dengan harga DOC seperti sekarang (Rp250—Rp300/ekor), budidaya masih bisa dilakukan. Sebab, angka BEP biaya produksi masih rasional, Rp8.650/kg (2 kg pakan + harga DOC). Namun langkah itu tak mungkin bertahan lama karena produsen bibit ayam juga harus untung. Harga DOC tidak mungkin dibiarkan tersungkur. Info dari Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU), BEP seekor DOC itu sekitar Rp2.000—Rp2.500. ”Bila harga DOC seperti itu, peternak akan berhenti berusaha. Soalnya, biaya produksi sudah terlalu tinggi dan harga akhir di konsumen pun tidak bisa serta merta dinaikkan,” imbuh H. Mufti.
Lebih jauh, pria yang sudah beternak sejak 1970-an itu, menghitung, bila tidak ada langkah strategis dari pemerintah dan industri, peternak kecil akan gulung tikar. Sementara peternak bermodal besar seperti dirinya akan beralih status dari juragan menjadi ”buruh” melalui kemitraan dengan perusahaan integrasi.
Menyikapi hal itu, Fenni hanya bisa menyarankan, tataniaga di hilir harus diperbaiki. Sebab, sampai sekarang struktur biaya dari hulu sampai hilir tidak terbagi dengan baik. Pendek kata, keuntungan terbesar usaha perunggasan di hilir lebih banyak dinikmati oleh padagang, bukan peternak. ”Untuk menata pasar di hilir itu harus ada intervensi pemerintah,” ujarnya.
Saran Fenni sangat rasional lantaran daya beli masyarakat tetap ada. Buktinya, omzet beli pulsa per tengah semester 2007 saja sudah Rp80 triliun. Masa untuk membeli sepotong paha ayam tidak bisa? Artinya, perbaikan tataniga di hilir harus dibarengi dengan promosi produk perunggasan guna meningkatkan konsumsi.
Djajadi Gunawan, Direktur Non Ruminasia, Deptan, berpendapat lain. Agar harga daging ayam lebih terjangkau, biaya produksi harus ditekan menjadi lebih murah. Salah satunya, lanjut dia, menurunkan harga pakan. Hal ini bisa ditempuh bila pabrik pakan mau lebih banyak menggunakan bahan baku lokal, khususnya jagung. ”Pabrikan harus bermitra dengan petani jagung,” tandasnya. Di samping itu, lanjut dia, pabrik pakan jangan konservatif: membeli bahan baku, meramu, lalu menjual. Sebaliknya, berupaya melakukan terobosan teknologi untuk memanfaatkan sumber bahan baku lain, seperti limbah sawit.
Menurut Fenni, beberapa pabrikan sudah melakukan terobosan, tapi tidak mudah, perlu waktu lama, dan biaya tinggi. Sebab harus membentuk litbang supaya hasilnya lulus standar uji mutu. Misalnya, bahan alternatif itu harus mampu menghasilkan protein minimal 18% dalam formula pakan ayam petelur.
Steve Bourne, Vice President Alltech Asia Pasifik, memberi ide, Indonesia mungkin bisa meniru Brasil. Di sana, menurut dia, pabrikan pakan memanfaatkan gula yang dicampur NuPro (berbahan ragi) memproduksi protein berkualitas. Protein ini diberikan kepada ternak muda untuk memperbaiki performa. Selanjutnya, untuk memproduksi daging, peternak membutuhkan lebih sedikit protein. “Indonesia bisa melakukan hal tersebut bila produksi, harga gula, dan kebijakan politik mendukung,” ucap Bourne.
Yang jelas, dalam menyikapi ancaman rawan pangan nabati maupun hewani, semua pihak mesti tetap optimis. Tak perlu saling menyudutkan. Lebih baik bahu-membahu mencari solusi melalui penerapan langkah-langkah strategis. Dana yang dianggarkan pemerintah tahun ini sebesar Rp10,1 triliun untuk membangun pertanian harus bisa dimanfaatkan secara optimal supaya ketahanan pangan negeri ini tetap kokoh.
Dadang WI,Yan Suhendar, Tri Mardi,Selamet R.,Peni SP,Enny PT.
Agar Jagung Tak Bikin Bingung Di tanah air, persoalan jagung bikin pabrikan limbung. Betapa tidak, produksi yang disebut pemerintah 13,3 juta ton, ternyata hanya bisa memenuhi 3 juta ton dari 4 juta ton yang diperlukan pabrik pakan. Impor untuk menutupi kekurangan pun tidak bisa dihindarkan. Dalam bisnis unggas, jagung sangat dibutuhkan. Sebab, sekitar 51% formula pakan berupa jagung. Namun, dengan harga jagung yang terus naik, industri perunggasan saat ini babak-belur. Pemerintah menuduh, pabrik pakan kelimpungan mencari jagung lantaran tidak mau bermitra dengan petani. Pabrikan berkilah, berkali-kali melakukan kemitraan tapi petani belum bisa menjaga kontinuitas dan kualitas pasokan. Saling tuding seperti itu tentu tak akan menyelesaikan masalah. Terkait soal jagung, sesungguhnya para produsen pakan bisa menyimak keberhasilan yang sudah dilakukan perusahaan integrasi seperti Grup Japfa dan Charoen Pokphand Indonesia. Kedua perusahaan ini berhasil membangun kemitraan inti plasma dengan peternak broiler. Sedikitnya, 5.000 plasma bekerja sama dengan Japfa dan 6.000 plasma dengan Charoen. Keberhasilan dua perusahaan itu merupakan buah kesungguhan dalam menerapkan sistem kemitraan dengan membangun anak perusahaan yang khusus menangani kerja sama tersebut. Tak ada salahnya, bila langkah semacam itu ditiru para pabrikan untuk memperoleh pasokan jagung dari petani. Anak perusahaan yang dibentuk hanya bertanggung jawab memenuhi pasokan jagung berkualitas bagi perusahaan induk (pabrik), tidak mencari untung sendiri. Upaya semacam itu dilakukan PT Agarindo Bogatama (AB), produsen agar-agar. Menurut Antonio Chong, Managing Director PT AB, untuk memenuhi pasokan bahan baku (rumput laut), pihaknya mendirikan anak perusahaan PT Kosmetindo. Anak perusahaan ini bermitra dengan petani rumput laut untuk menjamin ketersediaan bahan baku. Bila produksi rumput laut melebihi kapasitas pabrik, sisanya diekspor. PT Unilever Indonesia pun melakukan hal serupa dalam pengadaan kedelai hitam, sebagai bahan baku pembuatan Kecap Bango. Awalnya, kemitraan dengan petani ini merupakan kegiatan sosial (CSR) perusahaan. Setelah berhasil, diserahkan kepada lembaga yang bertanggung jawab memenuhi pasokan kedelai. Program pemerintah seperti subsidi benih, subsidi pupuk, bantuan alat pengering, maupun alsintan lainnya, juga bisa diselaraskan. Alhasil, tiga pilar pembangunan agribisnis jagung: pemerintah, swasta, dan petani bisa bersinergi dalam menggapai swasembada jagung. Dadang WI
Komoditas Realisasi 2007 Target 2008 Padi 57,05 juta ton 61,093 juta ton Jagung 13,3 juta ton 14,1 juta ton Kedelai 0,61 juta ton 1,05 juta ton Kacang tanah 0,79 juta ton 0, 941 juta ton Kacang hijau 0,32 juta ton 0,362 juta ton Ubi kayu 18,95 juta ton 21,1 jutra ton Ubi jalar 1,88 juta ton 2,25 juta ton Tebu 2,3 juta ton 2,7 juta ton Sapi potong 10,8 juta ekor 11,09 juta ekor Sapi perah 0,38 juta ekor 0,39 juta ekor Kerbau 2,2 juta ekor 2,4 juta ekor Kambing 14,1 juta ekor 13,18 juta ekor Domba 8,5 juta ekor 9,06 juta ekor Babi 7,1 juta ekor 6,8 juta ekor Ayam buras 298,4 juta ekor 294,12 juta ekor Ayam petelur 95,5 juta ekor 122,84 juta ekor Ayam broiler 972,2 juta ekor 1.132,17 juta ekor Itik 34,6 juta ekor 38,92 juta ekor
Realisasi Produksi Pangan 2007 dan Target 2008
Sumber: Badan Pusat Statisitik dan Deptan 2008