Begitulah kondisi bisnis terkini yang dihadapi peternak unggas maupun sapi potong. Di sisi lain, pemerintah memasang angka sasaran produksi daging pada 2008 dan 2009 berturut-turut sebanyak 2,386 juta ton dan 2,517 juta ton.
Untuk mencapai sasaran itu, pemerintah melalui Ditjen Peternakan-Deptan telah mengantongi program strategis, di antaranya percepatan swasembada daging 2010, pengendalian Al (flu burung) dan penyakit hewan menular lainnya, serta restrukturisasi perunggasan, dan penyediaan pangan yang aman, sehat, utuh, halal (ASUH).
Hal tersebut diungkapkan Dirjen Peternakan Tjeppy D. Sudjana pada pertemuan bulanan dengan wartawan di kantornya (2/1). Lebih jauh Tjeppy merinci, jumlah kebutuhan masyarakat akan daging unggas sekitar 60%—65% atau 1,2 miliar ekor ayam pedaging per tahun. Sedangkan daging sapi sebanyak 370,8 ribu ton/tahun. Dari angka ini, peternak dalam negeri maenyuplai 245,2 ribu ton. Kekurangannya sejumlah 125,6 ribu ton (33,9%) ditambal dari impor.
Menekan FCR
Berhasil tidaknya sasaran pemerintah itu tercapai dipengaruhi oleh kondisi bisnis di tingkat peternak. Peternak perlu meningkatkan produktivitas dan populasi ternak melalui penekanan rasio konversi pakan (FCR) serta menaikkan pertambahan bobot badan rata-rata harian (Average Daily Gain-ADG).
Mengomentari kondisi bisnis perunggasan sekarang, H. Mufti, peternak ayam pedaging di Tasikmalaya-Jabar, mengatakan, memang penting bagi peternak menekan FCR karena memang harga pakan unggas semakin mahal. Jika tidak begitu, akan terjadi pengelembungan ongkos produksi lantaran pakan merupakan komponen terbesar dalam biaya produksi. Peternak, lanjut dia, harus lebih ketat lagi dalam menerapkan manajemen pengelolaan. Misalnya, pemberian pakan selalu diawasi jangan sampai tercecer.
Selain itu, peternak juga harus pandai melakukan seleksi ketat terhadap kualitas bibit ayam (DOC) yang akan kandangkan. Jangan sampai DOC berkualitas tidak bagus ikut terpelihara karena hal ini sangat berpengaruh dalam upaya menekan FCR dan meningkatkan ADG.
Sependapat dengan Mufti, Agus Saifuloh, peternak kemitraan di Nanggung-Bogor, Jabar, pun mengatakan, jika tingginya harga pakan konsentrat toidak diantisipasi, praktis biaya produksi akan membengkak. Saat ini, biaya pakan unggas menyerap 70%--80% dari total biaya budidaya. “Jadi biaya produksi satu kilogram bobot hidup ayam broiler bisa mencapai Rp8.000—Rp9.000, bahkan terkadang lebih tinggi,” ucapnya.
Mufti menambahkan, alternatif meramu pakan sendiri mungkin bisa dilakukan oleh peternak ayam petelur. Namun, hal itu akan sangat memberatkan bagi peternak ayam pedaging karena rentang waktu produksinya hanya 32 hari. Meski sebenarnya kecepatan siklus produksi ini merupakan suatu kelebihan dari peternakan ayam pedaging, tapi dengan harga pakan yang mencapai Rp4.000—Rp4.500 di tingkat peternak, sulit untuk meningkatkan produktivitas hanya mengandalkan efisiensi pakan.
Peternak kondang itu menganalisis, dengan DOC berkualitas bagus dan harga yang terjangkau dapat membuat peternak bertahan, “Harapan peternak, jangan sampai harga anak ayam mahal lagi. Jika tidak, peternak akan benar-benar tidak mampu berproduksi sehingga hanya peternak yang besar saja mampu bertahan,” ungkapnya
Sementara itu Agus menjelaskan, agar dapat meningkatkan ADG pada ayam, pakan harus mengandung nutrisi komplet, diberikan secara ad libitum (tak dibatasi), dan ditambah suplemen peningkat nafsu makan.
Sementara itu, Anas Sujadmiko, peternak ayam pedaging di Bogor-Jabar, menjelaskan, selama ini dalam menekan FCR peternak menerapkan strategi seleksi DOC sejak awal pembelian, menjaga kualitas pakan yang diberikan, manajemen pemberian pakan yang tepat, serta mengatur kepadatan ayam. Pada akhirnya mereka mampu menghasikan FCR standar 1,65 untuk menghasilkan panenan berbobot 1,6 kg per ekor.
Meningkatkan ADG
Dalam hal sapi, pemerintah meningkatkan produktivitas sapi dengan menaikkan jumlah sapi betina produktif, produksi semen beku, perluasan lokasi Inseminasi Buatan (IB), pengawasan mutu pakan, dan menggalakkan pembibitan. “Dengan begitu diharapkan kita mampu mengurangi ketergantungan impor yang selama ini sudah dirasakan cukup besar,” ujar Fauzi Luthan, Direktur Ruminansia, Ditjen Peternakan, Deptan.
Peningkatan produksi daging sapi dimulai dengan pengembangan pakan sapi lokal. Misalnya, pemanfaatan jerami yang difermentasi dengan mikroba untuk pakan sapi selain rumput. Perbaikan mutu bibit dilakukan melalui impor induk jenis unggul.
Menurut Rochadi Tawaf dari Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), saat ini untuk menghasilkan satu kilogram bobot hidup diperlukan pakan rata-rata sekitar 10 kg (tergantung bobot badan). Peternak perlu meenerapkan teknologi guna memacu pertumbuhan bobot badan sapi karena usaha penggemukan sapi akan menguntungkan jika mampu mencapai ADG 1,4 kg/ekor/hari.
David Andi, seorang formulator probiotik, menyatakan, jika peternak sapi menggunakan teknologi probiotik pasti dapat meningkatkan produktivitas. Pasalnya, probiotik mampu menciptakan keseimbangan mikroflora dalam pencernaan sapi sehingga konversi pakan menjadi daging akan lebih efisien.
Menurut David, pemberian probiotik yang dicampurkan pada pakan bisa meningkatkan ADG sampai 1,6 kg/ekor/hari, terjadi pengiritan pakan dan kualitas daging juga bagus, serta lingkungan peternakan tidak berbau. “Hasil ini tentunya peternak akan diuntungkan,“ tandasnya.
Di tingkat praktisi, Bambang Hartoyo, General Manager PT Lembu Jantan Perkasa (LJP), perusahaan pembibitan dan penggemukan sapi potong di Serang, Banten, juga mengupayakan langkah-langkah strategis untuk meningkatkan ADG. Ia menuturkan, perusahaannya melakukan seleksi bibit, menjaga kualitas pakan, dan manajemen pemeliharaan yang tepat. Saat ini ADG yang dihasilkan pada 4.000—6.000 ekor sapi di kandang telah mencapai 1,2—1,4 kg dalam waktu 100—120 hari. Dengan berbagai upaya itu, ia berharap produksi ternak naik secara signifikan tanpa menambah biaya produksi terlalu tinggi dan usaha peternakan mampu menjadi lebih efisien.
Yan Suhendar