Senin, 7 Januari 2008

Kiat Berkelit Hadapi Masa Sulit

Untuk tetap eksis dalam bisnis budidaya udang, petambak harus melakukan efisiensi, diversifikasi produk, dan membidik pasar yang berbeda.

 

Dalam Program Revitalisasi 2006, pemerintah memasang target produksi udang selam tiga tahun berturut-turut (2007—2009) mencapai 410.000 ton, 470.000 ton, dan 540.000 ton. Menurut Made L. Nurdjana, Dirjen Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan, jika upaya revitalisasi berkembang sesuai skenario, maka akan ada kenaikan volume produksi sekitar 17,6%, konsumsi 16,66%, volume ekspor 16,74%, dan penyerapan tenaga kerja rata-rata 18,51%.

Pencapaian target itu jelas terkait dengan petambak di lapangan. Bagi mereka, tantangan di bisnis perudangan bukanlah masalah peningkatan produksi semata. Harga yang kian merosot lantaran meningkatnya biaya produksi mengakibatkan tak sedikit petambak kecil dan menengah akhirnya gulung tikar.      

 

Tiga Trik Bertahan

Menurut Ketua Umum Shrimp Club Indonesia (SCI) Iwan Sutanto, saat ini budidaya udang memasuki masa-masa sulit. Penyebabnya, ketika biaya produksi naik menyusul melonjaknya harga bahan bakar dan pakan, harga udang justru turun. Contohnya, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) industri di atas Rp7.000 per liter saja sudah memukul usaha pertambakan, khususnya udang.

Kondisi itu diperparah dengan melambungnya harga pakan dan adanya kelebihan pasokan udang di pasar dunia. Untuk tetap bisa mendapatkan untung, menurut Iwan, tiada pilihan lain selain efisiensi. Namun ia menekankan, efisiensi bukan berarti mengurangi pemakaian listrik, padat tebar, dan pakan, melainkan mencari rumusan tertentu sampai diperoleh hasil yang maksimal.

Demikian pula dengan penggunaan energi. Sebaiknya pilih yang paling irit, “Apakah terdapat sumber energi lain, misalnya listrik dari PLN, sehingga genset yang selama ini diandalkan, hanya sebagai sumber energi cadangan,” terang Iwan.

Lagi-lagi efisiensi saja belumlah cukup. Pengusaha, lanjut dia, harus jeli mencari pasar lain yang berbeda dan spesifik. Jika petambak lain masih berorientasi pada pasar konservatif, yakni menjual udang ke eksportir, petambak asal Lampung itu mencoba pasar lain di dalam negeri. Misalnya, dengan menjadi pemasok udang ke jaringan ritel Carrefour setelah tambaknya memperoleh Certificate Carrefour Quality Line Shrimp (CQLS) dari jaringan ritel internasional tersebut.

Seiring dengan itu, Iwan juga membuka restoran yang menyediakan makanan laut (seafood) di bilangan Pejompongan, Jakarta Utara. “Dengan memasarkan produk sendiri, kita akan memperoleh nilai tambah dibandingkan hanya memproduksi bahan baku,” ujarnya kepada AGRINA di Lampung akhir tahun silam.

Pengembangan komoditas juga menjadi salah satu jalan keluar tatkala pasar udang sedang lesu. Misalnya, mengusahakan ikan kerapu yang permintaannya cukup besar, baik di dalam negeri maupun ekspor.

Kendati begitu Iwan memprediksi prospek budidaya udang masih cerah karena peluang ekspor masih terbuka luas. Selain itu, mengingat garis pantai dan perairan yang dimiliki Indonesia begitu luas, potensi budidaya udang masih sangat besar. Hanya saja ia mengingatkan agar petambak menerapkan cara budidaya ikan/udang yang baik (Good Aquaculture Practices/GAP) sehingga bisa diterima semua negara pengimpor.

 

Inovasi di Tambak

Di Thailand, cara budidaya ikan/udang yang baik sudah banyak diterapkan para petambak. GAP menjadi suatu keharusan dan kebutuhan dalam memproduksi udang yang bisa diterima konsumen mancanegara. Di antaranya dengan memberi perlakuan terhadap air sebelum masuk dan keluar dari areal pertambakan.

Untuk menyiasati biaya produksi yang terus meningkat dan terus menurunnya harga jual udang, para teknisi di Negeri Gajah Putih berusaha keras melakukan berbagai inovasi, di antaranya memanfaatkan bahan tambahan pakan (feed additive). Menurut Jeefasak Hanmoungjai, teknisi tambak udang Suksan Farm, di Chanthaburi, Thailand, penggunaan bahan tambahan pakan seperti NuPro keluaran Alltech Biotechnology, dapat memacu pertumbuhan udang yang dipelihara.

“Pemberian NuPro membuat udang lebih cepat tumbuh sehingga dapat mempersingkat waktu pemeliharaan kurang lebih lima belas hari,” ujarJeefasak ketika ditemui AGRINA di Ampung Lemasing, Chantaburi, Thailand. Masih menurut dia, jumlah pakan yang dihemat cukup banyak sehingga konversi pakan (Feed Convertion Ratio/FCR) menjadi lebih efisien. Nilai FCR sebelumnya sekitar 1,6 dan menjadi 1,4 setelah penggunaan NuPro.

Berbeda dengan di Thailand, Budianto, manajer tambak intensif di Kec. Pasekan, Kab. Indramayu, Jabar, misalnya, menggunakan Vitamin C untuk meningkatkan efisiensi pakan. Menurutnya, “Pemberian Vitamin C membuat dinding sel lebih kuat sehingga udang lebih tahan terhadap penyakit.”

Selain itu, Budianto juga menerapkan disiplin yang ketat terhadap penggunaan solar, pakan, dan pengelolaan kualitas air tambak. Alhasil, saat harga udang yang kini (4/1) hanya Rp28.000 per kg (size 70 ekor per kg), ia masih mendapatkan keuntungan karena biaya produksinya bisa ditekan hingga Rp23.000—Rp24.000 per kg.

Jurus lain yang tak biasa dipraktikkan Jeefasak dalam memacu pertumbuhan udang di Indonesia adalah penjarangan dengan memindahkan udang ke kolam lain. Tujuannya, untuk mendapatkan kualitas air yang lebih baik agar udang dapat tumbuh lebih cepat. Udang yang akan dipindahkan ke kolam lain biasanya berukuran sekitar 100 ekor per kg. Kolam baru ini bisa berukuran lebih besar daripada kolam asal, atau jumlah kolam lebih dari satu petak. 

Supaya sukses, sebelum dipindah udang dipuasakan selama satu hari dan kolam yang baru dipersiapkan lebih dulu. Untuk memastikan kualitas air kolam sesuai dengan kebutuhan udang, ”Bisa kita masukkan 20 ekor udang sebagai uji coba,” jelas Jeefasak. Jika udang tersebut tetap hidup, esok paginya udang yang lain dapat dijaring dan ditebarkan ke kolam tersebut.

Inovasi itu tentu mengundang keheranan bagi petambak di tanah air, terutama risiko kematian yang diakibatkan oleh tindakan “pindah rumah” tersebut. Namun berdasarkan pengalaman Jeefasak, kematian yang diakibatkan oleh perpindahan tersebut tidak banyak asal prosesnya ditangani dengan cermat. 

Enny Purbani T., Syahnijal D. Sinaro.

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain