Arah pembangunan nasional ke depan harus berorientasi pada pembangunan sektor pertanian yang lebih mandiri.
Bicara keunggulan potensi agribisnis Indonesia, tentu sebagian besar masyarakat mafhum. Namun menjadi rahasia umum pula, dari waktu ke waktu, pembangunan pertanian belum mengalami kemajuan signifikan.
Meski begitu, Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec., Direktur Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis IPB, mengatakan, kinerja sektor pertanian pada 2007 sangat fantastis. Sektor ini menyumbang 4,3% terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, dan PDB pada tahun ini diramalkan tumbuh 6,5%.
Kinerja pertanian, lanjut dia, membuat sejarah baru yang tidak pernah terjadi selama 12 tahun terakhir. Dari 1994, sumbangan pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi tidak pernah mencapai 4%. Pada 2005 dan 2006, masing-masing hanya 0,12% serta 0,56%. “Pertumbuhan tahun ini disebabkan oleh melonjaknya produksi padi, jagung, dan naiknya harga komoditas ekspor,” tandas Arief.
Menyikapi hal itu, Mindo Sianipar yang wakilnya rakyat di Komisi IV DPR, mengatakan, tahun depan sudah sepantasnya pemerintah harus lebih fokus kepada pertanian. Hal ini diperlukan untuk meningkatkan pendapatan nasional. “Arah pembangunan nasional ke depan harus berorientasi pada pembangunan pertanian yang lebih mandiri,” jelasnya. Sebab, imbuh dia, sumber daya alam petanian sangat melimpah. Dan pertanian sudah menjadi basis ekonomi pedesaan.
Senada dengan Arief, Prof. Dr. Ir. Bustanul Arifin, Guru Besar Universitas Lampung, mengatakan, produksi bahan pangan penting tahun ini menunjukkan kecenderungan peningkatan yang cukup tinggi. Kecuali kedelai yang mengalami penurunan sejak dekade 1990-an. Produksi jagung diramalkan di atas 13 juta ton. “Peningkatan produksi jagung hibrida seharusnya mampu mendukung sektor peternakan, sehingga industri pakan ternak ikut tumbuh,” ungkapnya. Memang, lanjut dia, naiknya produksi jagung domestik sedikit mengurangi ketergantungan impor. Tapi, karena laju konsumsi jagung tumbuh lebih cepat, pabrik pakan masih harus mengandalkan jagung impor.
Bustanul memprediksi, 2008 mendatang, impor beras masih akan mewarnai agribisnis pangan di Indonesia. Walaupun Wakil Presiden Jusuf Kalla telah bertekad untuk tidak melakukan impor. Pun impor jagung juga masih akan dilakukan meski dengan jumlah yang tidak terlalu signifikan.
Peternakan
Di sektor peternakan, menurut Arief, tahun ini seolah diterpa badai dahsyat. Berbagai persoalan mewarnainya. Seperti flu burung, antraks, penyelundupan meat and bone meal (MBM) dan daging, serta terus meningkatnya harga bahan baku pakan. Walau begitu, ia memprediksi tahun ini peternakan tumbuh 4,51%. Tahun depan pun akan tumbuh karena peternakan mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan.
Freddie Hadiwibowo DMS, Dewan Pakar ASOHI, yakin, tahun depan industri perunggasan akan tumbuh 6,5—7%. Asalkan, harga minyak bumi masih di kisaran US$80—US$90/barrel, tidak ada gangguan keamanan yang berarti selama persiapan masa pemilu, serta adanya deregulasi dan debirokatisasi pemerintah.
Namun, Hartono, Ketua Umum PINSAR, menilai, pertumbuhan industri perunggasan tahun ini tidak terlampau menggembirakan. Sebab, sulit memperkirakan pertumbuhan hanya melalui data harga jual belaka. Sementara persepsi pasar cenderung melesu.
Industri perunggasan memang masih banyak kelemahan. Salah satunya, menurut Paulus Setiabudi, Ketua Umum GPPU, sarana pendukungnya masih sangat tergantung produk impor.
Di lain pihak, kurun 2005—2020, permintaan dunia khususnya di Asia terhadap pangan hewani seperti daging, telur, dan susu, diproyeksikan akan meningkat sangat cepat. Prediksi the International Food Policy Research Institute (IFPRI) dan International Model for Policy Analysis of Commodities and Trade (IMPACT), selama periode 2000—2020 konsumsi daging akan meningkat dari 233 juta ton menjadi 300 juta ton. Demikian pula susu, naik dari 568 juta ton menjadi 700 juta ton. Sedangkan telur akan meningkat 30%. “Konsumsi daging meningkat 3 kali lebih cepat di negara sedang berkembang, khususnya di Asia,” papar Dr. Ir. Ali Agus, DAA., DEA., pakar agribisnis dari UGM.
Sayang, Indonesia belum menangkap peluang besar tersebut. Tengok saja alokasi kredit masih kecil, dengan bunga masih tinggi di atas 18%/tahun, dan jangka waktu pengembalian pendek. Lain halnya dengan Thailand maupun Australia. Di Australia, alokasi untuk kredit sangat besar, bunga kurang dari 8%/tahun, dan lama kredit 15—20 tahun. Tak beda jauh di Thailand, bunga kredit untuk sapi perah 0%—8%/tahun. Jangka waktu kredit 8—14 tahun, dan grace period 3—8 tahun.
Sawit Primadona
Di sektor perkebunan, pada 2007 sawit masih mendominasi kontribusi bagi perekonomian republik ini. Menurut Dr. Ir. Angga Jatmika, MSi, Ketua Kelompok Peneliti Sosio Teknoekonomi, Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan, tahun ini ambisi Indonesia menjadi produsen minyak sawit nomor wahid di dunia telah tercapai. Laporan Oil World 2007, produksi CPO Indonesia lebih dari 16 juta ton. Sedangkan CPO Malaysia kurang dari 16 juta ton.
Kenaikan harga CPO telah mendorong pembukaan perkebunan kelapa sawit di tanah air. Pemicu lainnya adalah dimulainya program revitalisasi perkebunan.
Pada 2008, para analis memperkirakan harga CPO tetap tinggi. Sebab harga minyak bumi masih tinggi. Di samping itu, tingginya minat pembangunan pabrik biodiesel di luar negeri menguatkan keoptimisan harga CPO masih tetap melambung. “Bila menghitung target penggunaan biodiesel di berbagai negara, kebutuhan minyak sawit akan luar biasa,” tandas Angga. Yang dibutuhkan saat ini, lanjut dia, adalah keseriusan pemerintah dalam menjadikan agribisnis pertanian sebagai prioritas utama pembangunan nasional, melalui regulasi-regulasi yang tepat.
Yan Suhendar, Dadang WI, Ryan (Yogyakarta)