Tahun 2007 ini ditandai oleh suatu fenomena eskalasi harga pangan dan produk pertanian yang mungkin pertama dalam sejarah.
Harga pangan dan produk pertanian dunia melonjak tidak terkendali, bahkan di luar dugaan para analis. Banyak yang menghubungkannya dengan kenaikan harga minyak mentah dunia sampai sekitar US$100 per barrel. Selain itu, pengembangan bahan bakar nabati memicu kenaikan harga komoditas bahan bakunya, seperti minyak sawit mentah, jagung, kedelai, tebu, dan rapeseed sampai dua kali lipat.
Namun kenaikan harga pangan kali ini juga terjadi di luar hukum permintaan dan penawaran. Bahkan, tidak mustahil jika dikategorikan sebagai “paradoks agflasi” karena kenaikan harga pangan terjadi ketika stok dunia relatif “berlimpah”. Menurut Dewan Biji-Bijian Internasional, produksi biji-bijian 2007 ini diperkirakan mencapai 1,66 miliar ton, atau sekitar 90 juta ton lebih banyak dari jumlah tahun lalu.
Berlimpah Tapi Harga Mahal
Paradoks agflasi dalam konteks tertentu juga dialami agribisnis Indonesia. Harga eceran beras sepanjang 2007 terus melambung bersamaan kenaikan harga minyak goreng, kelangkaan minyak tanah, dan biaya masuk sekolah, yang semuanya berkontribusi pada laju inflasi nasional.
Walaupun laju inflasi pada November hanya 0,18% per tahun, hal itu tidak berarti faktor harga pangan tidak penting lagi bagi pembentukan laju inflasi. Laju inflasi kumulatif Januari-November 2007 adalah 5,43% sehingga sedikit memberi harapan terhadap pencapaian target laju inflasi 2007 sebesar 6,1%. Namun, masih terdapat dua hari besar keagamaan, yaitu Idul Adha dan Hari Natal, yang mungkin saja mempengaruhi laju inflasi kumulatif Indonesia.
Namun demikian, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka ramalan kedua produksi beras 2007 mencapai 57,1 juta ton gabah kering giling (GKG) atau setara 32,4 juta ton beras, suatu rekor optimisme tersendiri. Bila jumlah penduduk Indonesia 220 juta orang dan perkiraan konsumsi beras oleh industri, kebutuhan untuk benih dan kegunaan lain tidak lebih dari 12%, maka total kebutuhan beras domestik seharusnya di bawah 31 juta ton.
Apabila semua perkiraan itu akurat dan dapat dipercaya, Indonesia seharusnya telah mencapai swasembada beras. Kebenaran yang hakiki tentu masih perlu dibuktikan di lapangan, apakah produksi beras kita benar-benar berlimpah atau terdapat miskalkulasi yang serius. Faktanya saat ini, harga eceran beras menembus Rp5.000 per kg di beberapa tempat di Indonesia.
Produksi bahan pangan lain menunjukkan kecenderungan peningkatan cukup tinggi, kecuali kedelai yang turun sejak dekade 1990-an.
Tahun ini, produksi jagung diramalkan di atas 13 juta ton, terutama karena peningkatan luas panen di Provinsi Sulawesi Selatan, Gorontalo, Sulawesi Utara, Lampung, dan Sumatera Utara. Membaiknya produksi jagung domestik sedikit membantu mengurangi ketergantungan sektor peternakan unggas terhadap bahan pakan impor. Akan tetapi, karena laju konsumsi jagung tumbuh lebih cepat, Indonesia masih harus mengandalkan jagung impor dalam jumlah cukup signifikan.
Kinerja produksi gula tebu pun tidak jauh berbeda, walaupun telah menunjukkan sedikit perbaikan pascakrisis ekonomi. Namun itu tidak akan cukup untuk mencapai target pencapaian swasembada gula pada 2008. Produksi gula domestik 2007 hanya 2,3 juta ton, sedangkan tingkat konsumsi rumah tangga dan konsumsi industri makanan telah mencapai 3,5 juta ton dengan laju yang semakin cepat. Kekurangan 1,2 juta ton rasanya agak mustahil dapat terkejar dalam sisa waktu ke depan, mengingat terlalu banyak masalah yang harus diselesaikan.
Usaha tani tebu cukup berat ditangani karena semakin tergeser oleh komoditas lain, terutama padi, palawija dan hortikultura yang nilai ekonominya berlipat. Di lain pihak, upaya menangkal serbuan gula impor dengan solusi kebijakan tataniaga gula nyaris mandul karena berbagai entry barriers justru menimbulkan “jalan pintas” para pemburu rente dan dikhawatirkan mengacaukan skenario swasembada gula 2008.
Produksi kedelai 2007 diperkirakan sedikit di atas 600 ribu ton biji kering, suatu penurunan permanen dari angka produksi di atas 1,5 juta ton pada awal 1990-an. Saat ini agak sulit meyakinkan petani Indonesia untuk kembali menanam kedelai ketika tingkat permintaan terhadap kebutuhan pokok seperti beras dan komoditas bernilai tambah tinggi lain semakin meningkat.
Produktivitas kedelai di sini hanya 1,28 ton/ha atau setengah dari produktivitas kedelai di luar negeri, seperti di Brasil, Argentina, dan Amerika. Target swasembada kedelai 2008 sulit tercapai, kecuali dengan perluasan areal tanam 2,02 juta ha, meningkatkan produktivitas menjadi 3,68 ton/ha pada 2008, dan insentif kebijakan memperbaiki harga jual kedelai lokal.
Prediksi 2008
Pada 2008 mendatang, impor beras masih akan mewarnai agribisnis pangan di Indonesia walaupun Wapres Jusuf Kalla telah bertekad untuk tidak melakukan impor beras.
Impor jagung juga masih akan dilakukan pada 2008 kendati jumlahnya tidak terlalu signifikan. Demikian pula, kedelai dan gula masih akan mengandalkan impor dalam jumlah yang sangat besar, di atas satu juta ton pada 2008 karena dukungan produksi tidak memadai.
Singkatnya, perubahan lingkungan ekonomi global yang membawa kenaikan harga pangan dan komoditas penting lain harus menjadi tantangan besar untuk meningkatkan produksi pangan di dalam negeri.
Fokus pembangunan agribisnis perlu secara sistematis, dan targetnya yang jelas untuk meningkatkan keterkaitan petani kecil dengan pasar lebih luas. Biaya sosial-politiknya sangat terlampau mahal apabila kelompok petani kecil yang jumlahnya mencapai 13,5 juta jiwa justru menjadi korban perubahan struktur perdagangan dunia.
Pemberdayaan petani dari kelompok kecil perlu lebih kompatibel dengan perubahan teknologi pertanian dan kebijakan sektor pertanian, dukungan kebijakan ekonomi makro dan sebagainya. Inilah sebenarnya esensi strategi revitalisasi pertanian yang seharusnya dijalankan pemerintah, jika memang ingin meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.
*Bustanul Arifin, Guru Besar UNILA, Visiting Scholar di University of Sydney, Australia