Kendati menghadapi tahun yang cukup sulit, agribisnis peternakan tetap tumbuh dan akan tetap berpeluang dikembangkan.
Pada 2007, subsektor peternakan seolah-olah diterpa badai yang dahsyat. Berbagai persoalan seperti flu burung, antraks, penyelundupan meat and bone meal (MBM) dan daging, kasus paha ayam impor (CLQ), dan terus meningkatnya harga jagung dan kedelai yang menjadi bahan baku pakan di pasar internasional, mengganggu kinerja subsektor peternakan. Walaupun begitu subsektor ini pada 2007 diyakini tetap tumbuh sebesar 4,51%, sedikit turun dibandingkan tahun sebelumnya, 4,55%.
Tetap Berpeluang
Komoditas peternakan mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan. Hal ini didukung oleh karakteristik produk yang dapat diterima masyarakat Indonesia. Kondisi ini menunjukkan Indonesia merupakan pasar yang potensial bagi agribisnis peternakan.
Beberapa peluang dalam mengembangkan agribisnis peternakan di antaranya adalah pertama, jumlah penduduk Indonesia yang mencapai ± 220 juta jiwa merupakan konsumen yang sangat besar, dan masih tetap bertumbuh sekitar 1,4% per tahun. Kedua, kondisi geografis dan sumber daya alam yang mendukung usaha dan industri peternakan. Ketiga, meningkatnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang gizi. Keempat, jika pemulihan ekonomi berjalan baik, maka akan meningkatkan pendapatan per kapita yang kemudian akan menaikkan daya beli masyarakat.
Konsumsi pangan asal ternak yang memperlihatkan tren terus meningkat dari tahun ke tahun adalah daging dan telur. Hal ini berarti peluang bagi agribisnis peternakan. Dari beberapa produk daging yang dikonsumsi masyarakat, daging sapi dan daging ayam menempati urutan pertama. Beberapa alasan menyebabkan kebutuhan daging sapi dan daging ayam cenderung mengalami peningkatan tiap tahun. Antara lain, daging sapi dan daging ayam relatif mudah diperoleh, mengandung kadar protein tinggi, cita rasanya baik sehingga dapat diterima semua golongan masyarakat dan semua umur, cukup mudah diolah menjadi produk olahan bernilai tinggi, dan mudah dikonsumsi.
Agribisnis peternakan mempunyai prospek dan peluang yang baik untuk dikembangkan. Ini juga didukung kondisi Indonesia yang memiliki keunggulan kompetitif dalam komponen biaya input untuk tenaga kerja relatif lebih murah dibandingkan negara lain di ASEAN. Selain itu potensi pengembangan produksi jagung nasional dapat mengurangi ketergantungan impor dan menurunkan biaya produksi, sehingga mampu meningkatkan skala usaha yang optimal. Integrasi secara vertikal juga sudah mulai terlaksana dengan menerapkan pola-pola kemitraan. Skala usaha peternak mitra semakin meningkat dan mereka mampu menjaga kualitas hasil komoditas peternakan tersebut.
Pengembangan agribisnis peternakan menghadapi tantangan yang cukup besar akibat perubahan ekonomi ke depan. Adanya liberalisasi perdagangan dunia yang akan meminimumkan pembatasan perdagangan antarnegara menimbulkan persaingan ketat di pasar dalam negeri maupun pasar internasional. Salah satu cara untuk menang dalam persaingan adalah melalui peningkatan dayasaing baik dari sisi permintaan maupun penawaran.
Dari sisi permintaan, harus disadari bahwa permintaan konsumen terhadap suatu produk semakin kompleks yang menuntut berbagai atribut atau produk yang dipersepsikan bernilai tinggi oleh konsumen (consumer’s value perception). Jika pada masa lalu konsumen hanya mengevaluasi produk berdasarkan atribut utama, yaitu jenis dan harga, maka sekarang ini dan masa yang akan datang, konsumen sudah menuntut atribut yang lebih rinci lagi, seperti atribut keamanan produk, atribut nutrisi, atribut nilai, atribut pengepakan, atribut lingkungan, dan atribut kemanusiaan. Bahkan aspek animal welfare menjadi persyaratan baru.
Sedangkan dari sisi penawaran, produsen dituntut untuk dapat bersaing berkaitan dengan kemampuan merespon atribut produk yang diinginkan konsumen secara efisien.
Perlu Promosi
Agribisnis peternakan mempunyai peranan yang besar terhadap perekonomian nasional. Namun sayang komoditas ini sering mengalami permasalahan-permasalahan yang menghambat pengembangannya baik secara makro maupun mikro. Di antaranya pertama, kurang tersedianya bahan baku, sehingga masih harus mengimpor yang menyebabkan biaya produksi relatif tinggi. Kedua, iklim investasi (misalnya ekonomi biaya tinggi, proses perizinan yang lama dan berbelit, kurangnya sarana dan prasarana jalan dan transportasi, serta tidak adanya penegakan hukum) belum kondusif bagi para investor. Ketiga, kenaikan harga BBM yang menyebabkan meningkatnya biaya produksi hasil peternakan. Keempat, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) relatif rendah. Kelima, keterbatasan modal yang akhirnya menghambat pengembangan usaha. Keenam, mewabahnya penyakit di beberapa daerah.
Last but not the least, pola masyarakat Indonesia selama ini masih terlalu bersandar kepada pangan nabati, khususnya beras, yang diindikasikan oleh tingginya starchy staple ratio sebesar 63%. Disamping itu, kita masih punya ruang untuk memperbesar pangsa pasar produk-produk peternakan. Tingkat konsumsi protein hewani asal ternak masyarakat kita masih di bawah rekomendasi Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, yaitu sebesar 6 gr/kap/hari. Saat ini pencapaian untuk daging adalah 3,35 gr/kap/hari, telur 1,77 gr/kap/hari dan susu 0,6 gr/kap/hari, total 5,72 gr/kap/hari.
Upaya promosi yang sistematis perlu kita galakkan bersama. Di berbagai lokasi strategis perlu ada iklan-iklan mendidik (misalnya “Apakah Anda telah makan daging dan telur yang cukup hari ini?”) yang mengingatkan tentang pentingnya protein hewani untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia Indonesia ke depan. Jika tidak, Human Development Index (HDI) kita tetap saja di bawah negara-negara tetangga. HDI kita pada 2007/2008 berada pada urutan 107 dari 177 negara. Bahkan Vietnam pun berada pada peringkat yang lebih baik dari kita (105).
Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec., Direktur Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis IPB
Agrina Update +
Moment Update +
Cetak Update +