Usaha agribisnis kelapa sawit telah memberikan kontribusi penting bagi perekonomian republik ini.
Kontribusi itu membawa kemakmuran besar bagi pengusaha serta memberi penghidupan ribuan karyawan dan petani yang terlibat di dalamnya. Pemerintah pun ikut menikmati meningkatnya pendapatan dari sektor pajak.
Meski angka tepatnya belum diketahui, tapi angka prediksi memperlihatkan, ambisi Indonesia menjadi produsen minyak sawit nomor wahid di dunia telah tercapai. Menurut Oil World 2007, tahun lalu Indonesia menghasilkan minyak sawit mentah (crude palm oil-CPO) lebih dari 16 juta ton. Saingan terdekatnya, Malaysia, memproduksi kurang dari 16 juta ton.
Peningkatan produksi CPO Indonesia terutama disebabkan perluasan areal yang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Banyak pihak tertarik menanamkan investasinya di perkebunan kelapa sawit seiring makin meningkatnya kesadaran betapa tingginya daya saing agribisnis ini.
Kesadaran itu sebenarnya sudah lama ada tetapi makin terlihat dan terasa lebih signifikan ketika terjadi krismon 1997. Saat itu, Sumatera sebagai daerah sentra perkebunan kelapa sawit di Indonesia seperti tak terkena imbas krisis. Mobil-mobil baru terus berjejal, seolah ingin menunjukkan betapa besarnya keuntungan yang dapat diraih dari agribisnis kelapa sawit.
Tak heran bila sejak itu luas areal sawit terus bertambah. Mula-mula perkembangan cukup fantastis tampak di Provinsi Riau. Namun akhir-akhir ini di hampir semua provinsi yang secara agroklimat sesuai untuk kelapa sawit dan masih tersedia lahan potensial cenderung mengikuti jejak Riau. Total luas kebun kelapa sawit di Sumatera sekarang sekitar 5 juta ha.
Gejala yang sama terlihat di Kalimantan dan Sulawesi. Papua mungkin tak lama lagi akan menyusul. Kalimantan terhitung sentra pengembangan kebun sawit yang baru. Setelah Kalbar lebih dahulu menggeliat, belakangan Kalteng, Kaltim, dan Kalsel ikut bergairah mengembangkan sawit.
Tahun ini gairah pembukaan kebun kelapa sawit makin meningkat terutama dipicu meroketnya harga CPO. Naiknya adrenalin investasi perkebunan kelapa sawit juga didorong oleh dimulainya program revitalisasi perkebunan.
Puncak Kenikmatan
Tahun 2007 bisa jadi titik puncak kenikmatan berkebun kelapa sawit. Menurut catatan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan, harga CPO di pasar dunia rata-rata melewati level US$750 per ton. Bahkan kalau difokuskan hanya pada semester kedua tahun ini, harganya selalu bertengger di atas US$800 per ton.
Harga tersebut amat menggembirakan bagi pengusaha dan petani penghasil tandan buah segar sawit (TBS), buah penghasil CPO. Harga saat ini memecahkan rekor tahun 1984 sebesar US$729 per ton. Kala itu, kenaikan harga CPO semata-mata lantaran lonjakan permintaan minyak nabati/hewani di dunia yang kurang diimbangi pasokannya, terutama untuk minyak kedelai, minyak sawit, minyak lobak (rapeseed), minyak kapas, minyak kacang tanah, dan minyak biji bunga matahari.
Pencapaian harga CPO yang terjadi sekarang bukan hanya karena ketidakseimbangan permintaan dan pasokan minyak nabati. Namun juga sangat dipengaruhi pemanfaatan minyak nabati di dunia untuk bahan baku biodiesel sebagai pengganti minyak bumi. Akibatnya, pasar minyak nabati/hewani menjadi terkait dengan pasar minyak bumi. Ketika harga minyak bumi mengalami kenaikan, imbasnya akan terasa pada harga minyak nabati termasuk minyak sawit.
Menurut Oil World 2007, pada 2006 Indonesia memproduksi CPO sebanyak 43,2% dari produksi dunia, diikuti Malaysia sebanyak 42,8%. Kedua negara ini menguasai 86% produksi minyak sawit dunia. Empat negara, yaitu Thailand, Nigeria, Kolombia, dan Ekuador menguasai 7,3%, sedangkan sisanya 6,7% dihasilkan beberapa negara lain.
Prediksi 2008
Sepanjang tahun ini senyum pengusaha dan petani kelapa sawit benar-benar merekah. Apakah senyum mereka masih terpancar pada tahun yang akan datang? Jawabannya cenderung, masih.
Beberapa pakar meramalkan, harga CPO di pasar internasional tetap tinggi. Faktor utamanya adalah masih tingginya harga minyak bumi dan semangat untuk mengurangi terjadinya pemanasan global. Meskipun ada berita sebagian negara Eropa berpikir ulang menggunakan minyak sawit untuk bahan baku biodiesel karena ada beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit kurang mengindahkan kelestarian lingkungan. Namun diperkirakan berita ini tidak akan mempengaruhi harga CPO.
Upaya produsen dan stakeholder minyak sawit lainnya yang mempromosikan masih banyak minyak sawit diproduksi dengan memenuhi kaidah kelestarian lingkungan diyakini akan membuat pabrikan biodiesel tersebut kembali ke minyak sawit.
Tingginya minat pembangunan pabrik biodiesel di negara bukan penghasil minyak nabati, misalnya Singapura, menguatkan keoptimisan harga CPO masih tetap tinggi. Kalau pabrik biodiesel di Singapura jadi dibangun tahun depan, kapasitas negara itu dalam menghasilkan biodiesel sebesar kira-kira 1,6 juta ton. Kebutuhan minyak sawitnya kira-kira 1,63 juta ton. Jika saat ini produktivitas di Indonesia anggaplah 3,7 ton CPO per ha, maka untuk pabrik itu saja sudah menyerap CPO dari 441.000 ha kebun.
Kalau perhitungan dilanjutkan dengan mengaitkan target-target penggunaan biodiesel di berbagai negara, angka kebutuhan minyak sawit untuk keperluan ini akan luar biasa besar.
Memang, daya saing minyak sawit untuk bahan baku biodiesel paling tinggi dibandingkan minyak nabati lain. Pasalnya, produktivitas tanaman kelapa sawit jauh lebih tinggi dibandingkan penghasil minyak nabati lainnya. Padahal Indonesia masih berpeluang untuk meningkatkan produktivitas TBS per hektar dari rata-rata saat ini sebesar 14,7 ton TBS/ha/tahun menjadi di atas 20 ton TBS/ha/tahun.
Minyak sawit juga dapat mengisi pasar minyak nabati lain yang sebagian dipergunakan untuk biodiesel. Berdasarkan dinamika pasar minyak nabati dunia tersebut, diperkirakan usaha agribisnis minyak sawit masih menjanjikan. Diperkirakan harga minyak sawit di pasar dunia tahun depan tak bergeser jauh dari rata-rata US$900 per ton CPO dan rata-rata harga TBS sekitar Rp1.475 per kg.
Dr. Ir. Angga Jatmika, M.Si, Ketua Kelompok Peneliti Sosio Teknoekonomi
Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan