Sampai sekarang, Indonesia masih mengimpor 35% dari total kebutuhan daging sapi. Demikian pula produksi susu masih cekak sehingga harus impor sebanyak 70% dari total kebutuhan.
Selama ini daging asal ruminansia besar paling banyak disumbangkan oleh sapi potong. Lalu diikuti kerbau dan sapi perah (jantan dan betina afkir). Sehingga jumlah sumbangannya sekitar 24% dari total konsumsi daging nasional. Sayangnya, sampai sekarang Indonesia belum bisa swasembada daging sapi. Untuk memenuhi kebutuhan, terpaksa setiap tahun harus mengimpor, baik dalam bentuk daging maupun sapi potong bakalan.
Prof. Dr. Ir. Tjeppy D. Sudjana, Dirjen Peternakan, Deptan, menyebutkan, Indonesia masih kekurangan daging sapi sebanyak 135,1 ribu ton dari permintaan sebesar 385 ribu ton. Karena itu, pihaknya akan melaksanakan percepatan program swasembada daging sapi (P2SDS) 2010. “Arti swasembada di sini adalah kemampuan penyediaan dalam negeri sebesar 90%—95%. Sisanya yang 5%—10% dapat dipenuhi dari importasi,” ucapnya.
Percepatan, lanjut dia, akan dimulai pada 2008—2010, melalui 7 langkah operasional. Kegiatannya meliputi optimalisasi akseptor dan kelahiran Inseminasi Buatan (IB) dan Kawin Alami (KA), pengembangan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dan pengendalian pemotongan sapi betina produktif, perbaikan mutu dan penyediaan bibit, penanganan gangguan reproduksi dan kesehatan hewan, intensifikasi kawin alam, pengembangan pakan lokal, serta pengembangan SDM dan kelembagaan.
Tjeppy menambahkan, pelaksanaan P2SDS ini difokuskan di 18 provinsi dan dikelompokkan dalam tiga daerah berdasarkan potensi sumberdayanya (lahan, ternak, SDM, teknologi, sarana pendukung, pola budidaya, dan pasar).
Namun, banyak pihak meragukan program tersebut akan tercapai dalam waktu singkat, dua tahun. Soalnya, pengembangan sapi potong masih menyimpan segudang persoalan. Yudi Guntara Noor, Ketua Umum Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI) mencontohkan, sampai sekarang keberhasilan IB tidak jelas. Sebab, pemerintah hanya menghitung jumlah dosis straw, bukan hasil dari IB. Sampai saat ini evaluasi program yang dilakukan Deptan hanya menyangkut anggaran, bukan pada hasil dari suatu program yang dijalankan.
Contoh lain diutarakan Rochadi Tawaf, Ketua Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Jabar. “Program tunda potong sapi betina produktif hanya bergaung di Deptan. Di daerah tidak ada yang melaksanakan. Sebab, program itu tidak diikuti oleh surat keputusan gubernur maupun bupati. Kontrolnya pun tidak ada,” tukasnya. Yudi menambahkan, setiap tahun 200 ribu ekor sapi betina produktif dipotong. Jika setengahnya saja dikembalikan kepada peternak, berarti butuh dana pengganti sekitar Rp700 miliar. “Siapa yang mau menyediakan dana sebesar itu?” tanyanya. Tak berlebihan, walaupun menguras devisa, importasi sapi bakalan bermanfaat juga bagi penundaan pemotongan sapi betina produktif atau sapi yang masih kecil. “Kebijakan impor sapi bakalan maupun daging terpaksa dilakukan karena tanpa impor dimungkinkan terjadi pengurasan sapi lokal yang akan berakibat buruk bagi ketahanan pangan nasional dan peternakan sapi rakyat,” jelas Teguh Boediyana, Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo).
Masalah lain, peternak rakyat maupun pengusaha penggemukan (feedlot), kini menghadapi melambungnya harga bahan baku pakan dan naiknya harga sapi bakalan. Selain itu, mereka juga dihadapkan kepada rendahnya tingkat pertambahan bobot badan sapi yang diusahakan. Dengan demikian perlu inovasi teknologi guna mengefisienkan konversi pakan sekaligus mampu meningkatkan produktivitas.
Perlu Insentif
Pelaku bisnis sapi potong setuju, semangat swasembada daging 2010 harus mampu mengurangi ketergantungan impor. Namun, jangan dibatasi soal waktu tercapainya karena P2SDS merupakan program jangka panjang. Untuk menuju swasembada daging harus mengacu pada dasar yang realistis dengan segala keterbatasan yang ada. “Bahwa menentukan waktu pencapaian 2010 sah-sah saja selama berdasarkan pada asumsi yang benar. Kita tidak perlu bicara kapan tercapai, yang penting apa yang harus kita lakukan,” tegas Yudi. Yang perlu diperhatikan, lanjut dia, 7 langkah operasional itu harus dilaksanakan secepatnya dan konsisten.
Di samping itu, menurut Rochadi, para peternak juga terbagi atas peternak komersial dalam berbagai skala usaha dan peternak tradisional. Peternak komersial (yang memelihara > 1.000 ekor/peternak per tahun) terdiri dari peternak penggemukan (feeder) dan peternak pembibitan (breeder).
Para peternak penggemukan umumnya mendapatkan ternak sapi bakalan melalui impor berupa sapi jantan/betina Brahman cross. Hanya sedikit peternak komersial tersebut yang menggunakan sapi bakalan dalam negeri, terutama karena alasan nilai ekonomis. “Dari pengalaman pada peternakan penggemukan, akhir-akhir ini berkembang peternakan sumber bibit (sebenarnya sumber bakalan),” katanya.
Pemilik perusahaan penggemukan sapi PT Agro Nandini Perdana itu menambahkan, peternak breeder murni belum ada di Indonesia. Yang ada adalah peternak komersial yang memanfaatkan sapi-sapi betina produktif eks impor untuk menghasilkan keturunan. Sapi-sapi betina tersebut diseleksi dengan seksama sifat-sifat reproduksinya, kemudian diinseminasi dan dijual sebagai ternak betina bunting. Namun cara ini diragukan menjadi model usaha perbibitan yang dapat dikembangkan pada sapi lokal.
Atas dasar itu, Yudi mengusulkan, kalau pemerintah mau mengembangkan pembibitan, para pelaku usaha sebaiknya diberi insentif. Walaupun sudah ada yang memulai dan berjalan sukses, seperti PT Lembu Jantan Perkasa (LJP), tentunya tetap harus diberikan insentif. “Pada saat berjuang, periode awalnya, siapa yang mau jalan tanpa ada insentif. Pembibitan yang betul, setelah saya hitung, jika anaknya sudah dapat beranak lagi, di situlah untungnya. Itu butuh waktu 2,5 tahun. Saya yakin kalau ada insentif program perbibitan bisa jalan,” tegasnya.
Toni M. Wibowo, Direktur Operasional LJP menandaskan, sapi indukan itu seperti mesin. Jadi, indukan jangan dipandang sebagai obyek jual beli. Induk inilah yang harus diperbanyak. Namun yang terjadi sekarang, justru indukan sering dijual karena banyak orang memandang program pembibitan itu sebagai proyek.
Sapi Perah
Sementara dalam rangka pemenuhan kebutuhan susu sapi, Fauzi Luthan, Direktur Budidaya Ternak Ruminansia, Ditjen Peternakan, mengatakan, usaha peternakan sapi perah selama ini telah memberikan sumbangan yang cukup besar dalam mendukung kegiatan perekonomian nasional.
Masih banyaknya kendala dalam pengembangan usaha budidaya sapi perah skala kecil dan menengah ternyata tidak menghalangi berkembangnya sentra-sentra baru peternakan sapi perah di luar Pulau Jawa. ”Saat ini tercatat ada 7 sentra baru produksi susu antara lain Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali,” papar Fauzi.
Namun, hasilnya saat ini masih belum mampu memenuhi kebutuhan produksi susu segar dalam negeri. Kenyataannya produksi dalam negeri baru mampu menyuplai 30 persen dari total kebutuhan susu segar nasional. Sementara 70 persennya disuplai dari impor berupa susu bubuk.
Itu diakui Dedi Setiadi, Ketua Umum Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI). Kenyataan ini, lanjut dia, seharusnya menjadi cambuk bagi bangsa kita untuk lebih kongkret mengembangkan persusuan di tanah air. Selama ini masih banyak kendala yang dihadapi peternakan sapi perah, misalnya masalah kecukupan bibit, ketersediaan pakan, harga yang menguntungkan, dan kualitas susu.
Dedi menyarankan agar dalam situasi harga yang sedang bagus saat ini, pemerintah dapat membuat program konkret untuk meningkatkan populasi sapi perah sehingga mampu menaikkan produksi. ”Caranya, dengan memperbaiki mutu genetik bibit sapi dan memperluas sumber bahan baku pakan, serta meningkatkan pengolahan dan pemasaran susu segar,” terangnya.
Dedi lebih jauh mengungkapkan, perbaikan genetik sapi dan menjamin ketersediaan bahan baku pakan rumput harus dalam satu paket. Misalnya, jika menambah populasi 1.000 ekor sapi, maka harus disiapkan 10 ha lahan rumput baru karena pemberian pakan ini sangat berpengaruh terhadap produktivitas.
Dongkrak Pemasaran
Langkah berikutnya barulah meningkatkan pengolahan dan pemasaran dengan memulai meningkatkan daya serap pasar susu segar. Dari berbagai segmen pasar, kelompok anak sekolah menjadi sasaran utama untuk menyerap susu murni hasil pasteurisasi sebagai produk lebih sehat.
Langkah tersebut sudah dilakukan, misalnya oleh Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS) dan Koperasi Peternak Sapi Perah Bandung Utara (KPBSU), serta Gapoktan Goalpara-Sukabumi yang menjual langsung produknya dalam bentuk kemasan siap minum. Para pelaku tersebut mencoba lebih membentuk jaringan pasar sendiri dengan harga lebih bersaing, tetapi menguntungkan, ketimbang selama ini menjual ke industri pengolah susu (IPS).
Dedi Setiadi mengakui, melalui cara itu, harga susu menjadi lebih terjangkau konsumen umum dan peternak pun mengantongi pendapatan lebih tinggi. Soalnya, selama ini para peternak rakyat biasanya menjual ke IPS pada harga jual yang bersaing dengan susu produk impor.
Jika langsung ke konsumen, harga susu standar dapat mencapai Rp2.200—Rp2.500/liter, tetapi industri pengolah dengan standardisasi hanya Rp2.000/liter dan dijual lagi dalam berbagai ukuran kemasan dengan harga lebih tinggi. Keuntungannya, konsumen dapat memperoleh susu murni pasteurisasi dengan harga lebih murah, sedangkan peternak lebih layak memperoleh hasil usaha. "Cara ini diharapkan dapat lebih memasyarakatkan susu sehingga menjadi kebutuhan utama karena selama ini masih terkesan produk mewah," kata Dedi.
Terobosan Teknologi
Yang juga perlu disikapi dalam upaya swasembada daging sapi adalah semakin sulitnya memperoleh sumber bahan baku pakan. Sebut saja gaplek menjadi sulit lantaran lebih banyak diekspor. Demikian pula ampas singkong dan pollar (ampas gandum), lebih menguntungkan diekspor ketimbang dijual di dalam negeri. Kalau pun bisa diperoleh, tentu harganya melonjak.
Dengan naiknya harga bakalan dan sumber bahan baku pakan seperti sekarang, usaha feedlot menjadi tidak menarik bila kemampuan menghasilkan pertambahan bobot rata-rata harian (average daily gain-ADG) standar-standar saja. Rochadi pernah menghitung, feedlot akan untung bila ADG-nya minimal 1,4 kg (baca juga: Menggemukkan Sapi Butuh Inovasi Teknologi).
Agar usaha penggemukan menguntungkan, perlu ada inovasi teknologi untuk menghasilkan bahan-bahan tambahan pakan yang mampu menaikkan ADG secara optimal dan mempercepat pertumbuhan.
Yan Suhendar, Dadang WI
Ini Dia Hambatan Bisnis Sapi Secara umum Rochadi Tawaf menyimpulkan kelemahan pada peternakan sapi potong dan sapi perah, antara lain: 1. Sapi potong - Ketergantungan pada suplai sapi bakalan dan daging dalam jumlah besar (setara 600 ribu ekor/tahun), dan selalu meningkat dari tahun ke tahun. - Keterbatasan sumber bibit atau bakalan sapi impor, padahal pasokan dari dalam negeri butuh biaya cukup besar untuk pengadaannya. 2. Sapi perah - Ketergantungan terhadap susu impor dalam jumlah besar dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. - Keterbatasan sumber calon induk 3. Akses modal melalui perbankan untuk pengembangan peternakan komersial penggemukan maupun perbibitan skala kecil (10–50 ekor per periode 2–4 bulan) cukup sulit. 4. Keterbatasan SDM khususnya tenaga kerja dalam keluarga untuk mencari pakan hijauan membatasi jumlah kepemilikan ternak. Akibatnya sapi-sapi betina usia produktif terpaksa menjadi ternak konsumsi. Yan Suhendar