Selasa, 4 Desember 2007

Setelah “Digoreng” Harga Anthurium Melambung

Disinyalir harga Anthurium daun yang menggila diatur oleh segelintir orang. Benarkah harga yang spektakuler itu hanya gosip belaka?

 

            Banyak orang tentu terkaget-kaget ketika menyaksikan Anthurium indukan dalam pot, yang tingginya tidak lebih dari 2 m, dibanderol Rp500 juta oleh sebuah nurseri. Atau mendengar harga Anthurium super nova yang menembus Rp1 miliar. “Itu tidak masuk akal, dan omong kosong. Sekalipun ada orang yang mau beli, untuk apa tanaman hias semahal itu?” komentar Greg Hambali, pakar tanaman hias dari Bogor, Jabar.

            Ya, itulah Anthurium yang kini tengah menjadi buah bibir para pecandu tanaman hias. Bahkan, banyak pemula yang tadinya buta tanaman hias, ikut-ikutan bermain. Sepintas harga Anthurium yang diperbincangkan banyak kalangan memang spektakuler. “Tapi itu tidak logis dan ada pembodohan serta pembohongan terhadap publik,” ucap F. Rahardi, pemerhati agribisnis yang juga Ketua Forum Kerjasama Agribisnis, di Jakarta. “Memang kenaikan harga Anthurium, khususnya gelombang cinta, itu tidak wajar,” kata Sugianto, salah seorang pengusaha Anthurium di Kudus, Jateng.

            Hal senada diutarakan Kurniawan Junaedhie, pemilik Nurseri Toekang Keboen di Bumi Serpong Damai, Tangerang, Banten. Menurut dia, harga Anthurium hingga ratusan juta rupiah itu bombastis, tidak riil dan irasional. “Masa untuk Anthurium cobra saja bisa dihargai Rp25 juta per daun?” tanyanya keheranan. “Yang menentukan harga semahal itu jahat juga karena hanya membodohi konsumen,” timpal Sari Wahyuni, pemilik Nurseri Anggrek Solo, di Jakarta Timur. Propaganda semacam itu, lanjut dia, berdampak buruk terhadap perilaku konsumen Indonesia yang memang mudah tergiur. “Kalau di antara pedagang, ya silakan saling men-setting harga, tapi jangan merugikan konsumen,” harap Sari.

Namun, menurut Susiawan Tari, pemilik Nurseri Anthurium Omah Apik, di Jakarta, kalau menyangkut hobi, harga berapa pun orang akan beli. “Ketika saya berburu di pameran dan menemukan Anthurium yang cantik, saya beli walaupun harganya Rp20 juta,” tuturnya. “Bila harganya masih berkisar puluhan juta rupiah, orang masih ada yang mau beli. Itu pun paling kolektor yang jumlahnya hanya beberapa gelintir orang,” timpal Rahardi. Yang jelas, lanjut dia, sebenarnya pasar Anthurium daun itu semu. Tidak ada orang yang mau membeli dengan harga ratusan juta rupiah, apalagi dengan niat untuk dijual lagi dengan harga yang lebih tinggi.

           

Ulah Bandit?

            Lantas, bagaimana harga Anthurium itu bisa tiba-tiba meroket tidak terkendali? “Dalam perdagangan Anthurium itu ada penggorengan harga,” tandas Rahardi. Segelintir orang, lanjut dia, sudah lama tahu Anthurium bisa “digoreng”. Mereka lalu memborong di beberapa tempat. Setelah terkumpul banyak, kemudian mereka membeli lagi dengan harga tinggi. Kejadian itu menyebar dari mulut ke mulut dan akhirnya sampai ke media. Akhirnya harga Anthurium melonjak. Momentum itu dimanfaatkan si pemborong tadi untuk segera menjual dengan harga setinggi mungkin. “Padahal penampung akhir atau pembeli aslinya itu tidak ada, sehingga bisnis Anthurium itu tidak murni lantaran banyak dimainkan para spekulan,” katanya.

            Lebih jauh Rahardi mengungkap, yang menggoreng harga itu bukan mafia, tapi bandit. “Mafia itu masih punya etika, bandit tidak. Jumlahnya sedikit dan orangnya itu-itu juga,” imbuhnya sembari bertutur kepada AGRINA bahwa dia sudah tahu nama-nama orangnya. “Memang trend setting itu dikelola oleh mafia,” urai Sari membenarkan.

            Hal senada diutarakan Susiawan. “Dari beberapa pedagang saya tahu, benar ada beberapa orang yang melakukan spekulasi,” ucapnya. Irwansyah pun mengatakan hal serupa, bahwa harga Anthurium ada yang mengatur. Namun dia tidak berani menuding hal itu ulah mafia.

            Sementara Sugianto berpandangan lain. “Saya lebih percaya kepada hukum pasar lantaran peminatnya banyak tapi pasokannya kurang, sehingga harga naik,” urainya. Pun Kurniawan percaya bahwa yang mendongkrak harga lantaran pasokan dan permintaan tidak seimbang.

 

Ingin Cepat Kaya

            Merebaknya bisnis Anthurium tampaknya tidak lepas dari karakter masyarakat kita yang kolokan, suka disanjung, dipuji, dan lebih mengutamakan "wah" daripada akal sehat. “Di Indonesia Anthurium bisa gila-gilaan lantaran masyarakatnya tidak secerdas orang Thailand. Selain senang ditipu, sebagian masyarakat ingin cepat kaya dan ‘wah’ dalam waktu singkat dengan cara mudah. Akhirnya orang yang memakai akal sehat jadi terkucil,” jelas Rahardi.

            Trend setting di Anthurium adalah kolaborasi antara grower, trader, dan media. Hal ini muncul akibat konsumen belum dewasa,” Agus Wediyanto, Direktur Tanaman Hias, Ditjen Hortikultura, Deptan, berpendapat.

            Terlepas dari pro-kontra soal bisnis Anthurium, Rina Iriani Ratnaningsih, Bupati Karanganyar, Jateng, yang menetapkan wilayahnya sebangai sentra Anthurium di Indonesia, mengaku bisnis Anthurium di Karanganyar berhasil meningkatkan kesejahteraan warga secara sangat signifikan. “Sejak dikembangkan pada pertengahan 2006, bisnis Anthurium berhasil mendongkrak pendapatan per kapita masyarakat Karanganyar dari Rp3 juta/tahun menjadi Rp7,5 juta/tahun,” akunya. Di sana terdapat 1.300 petani yang tergabung dalam Komunitas Anthurium Karanganyar (KAK).

 

Dadang WI, Yan S., Tri Mardi., Selamet S., Faiz Faza

 

Gara-gara Anthurium

Heboh Anthurium menuai hasil, orang untung dan buntung. Sebut saja Rini Widyastuti, pemilik Maharani Garden di Yogyakarta. Dari penjualan beberapa indukan Anthurium hookeri, jenmanii, dan gelombang cinta di kebun seluas 100 m2, ia mampu membeli Toyota Avanza.

            Rini menang start. Pada 2005, ia memborong beberapa indukan jenmanii, gelombang cinta, dan hookeri, karena suka. “Waktu itu harga indukan jenmanii yang bertongkol hanya Rp400 ribu, gelombang cinta Rp525 ribu, dan hookeri Rp250 ribu. Hookeri tiga daun hanya Rp5.000,” kenangnya. Tak dinyana harga tanaman raja daun ini melonjak. Indukan jenmanii-nya laku Rp 50 juta per batang, gelombang cinta menjadi Rp32,5 juta, dan hookeri menjadi Rp6,5 juta.

            Lain lagi cerita Wied Setia Sanjaya, pemilik Sawah Hijau Nursery di Pasuruan, Jatim. Ia tidak selalu menjual secara tunai. Kadang barter dengan bunga, sepeda motor, mobil pick-up, sampai dengan soft drink. Yang terakhir terjadi lantaran seorang konsumen menginginkan bibit jenis hookeri berdaun satu—dua lembar seharga Rp300 ribu dua pot. ”Orangnya nawar, gimana kalau ditukar dengan 10 krat Coca Cola.  Karena ia sangat berminat, saya jawab monggo nggak apa-apa,” ujar Wied sambil tertawa.

            Ini cerita yang buntung. Seorang mantan menteri kehilangan satu pot Anthurium yang dilarikan tukang kebunnya. Gara-gara si tukang kebun mendengar kalau Anthurium bisa laku dijual Rp15 juta.

Faiz Faza, Tri Mardi, Indah RP

 

            

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain