Selasa, 13 Nopember 2007

Bisnis Kecap Segurih Rasanya

Setiap tahun konsumsi kecap terus meningkat. Tentu saja, bisnisnya pun semakin bergairah.Lantas, bagaimana ketersediaan kedelai sebagai bahan bakunya?

 

            Sedari dulu masyarakat telah mengenal kecap. Tengok saja, banyak ibu-ibu yang menyuapi anak-anaknya dengan makanan yang telah dicampur kecap. “Tanpa kecap, makan jadi kurang enak,” ungkap Rifa, murid kelas IV SDIT Al Muhajirin, Jakarta Timur. Terang saja, bagi para penikmat, kecap bisa berperan sebagai penyedap makanan yang akan meningkatkan selera makan.

          Di luar itu, kecap juga mengandung protein, vitamin, dan mineral. Tak berlebihan bila banyak orang menjadikan kecap sebagai bagian dari menu harian.

            Menurut Sugih Prakoso, Manajer Utama PT. Alam Aneka Aroma, produsen Kecap Samyu di Sukabumi, Jabar, kecap sangat disukai masyarakat. Sehingga setiap tahun kebutuhannya semakin meningkat. Wajar bila kecap mudah dijumpai mulai di warung kakilima, pasar swalayan, restoran, hotel berbintang, sampai di tengah-tengah keluarga.

            Masyarakat mengenal beberapa merek kecap di tingkat nasional seperti Kecap Indofood (PT Indofood Sukses Makmur), Bango (PT Unilever Indonesia), ABC (PT Heinz ABC Indonesia), dan Nasional (PD Sari Sedap Indonesia). Ada juga kecap lokal seperti Kecap Korma di Jakarta, Zebra (Bogor), Kunci (Karawang), Benteng (Tangerang), Maja Menjangan (Majalengka), Kenarie (Surabaya), dan Kecap Jamburi di Blitar.

            “Dengan populasi penduduk lebih dari 200 juta jiwa, membuat bisnis kecap di Indonesia cukup menggiurkan. Walaupun peningkatannya setiap tahun tidak tinggi,” papar Sugih yang lulusan Peternakan UGM ini.

            Namun menurut Dicky Saelan, Manajer Pemasaran PT. Unilever Indonesia, produsen Kecap Bango, pertumbuhan bisnis kecap luar biasa. Setiap tahunnya, secara nasional, terjadi peningkatan 10%—20%.  “Alhamdulillah, semenjak 2001, pertumbuhan Kecap Bango termasuk salah satu yang mendorong perkembangan pasar kecap,” ucapnya. Diperkirakan, nilai penjualan kecap secara nasional sekitar Rp3 triliun per tahun. Baik dari penjualan kecap manis maupun asin.

 

Kualitas dan Citarasa

            Menurut Euromonitor International, pada 2001, pemimpin pasar nasional produksi kecap manis masih dikuasai ABC dan Bango. Kecap ABC menguasai pangsa pasar sekitar 40%. Namun pada 2005, posisinya turun menjadi 33%. Sementara Kecap Bango pada posisi 32%, dan Kecap Nasional menguasai 30%.

Semakin melajunya perkembangan bisnis kecap, membuat persaingan usaha semakin gencar. Khususnya persaingan antara kecap produksi nasional dengan kecap lokal. Lihat saja, begitu banyaknya iklan promosi yang dilakukan. Walaupun demikian, kecap produksi lokal tidak merasa kalah, karena diyakini kecap produksi lokal telah lebih tertanam kualitas dan rasanya di konsumen.

            ”Kami yakin akan kualitas kecap yang kami buat. Karena pada prinsipnya orang butuh makan, dan selera makan setiap orang berbeda. Semakin banyak variasi produk dan citarasa (taste), semakin banyak pula yang bisa diterima oleh pasar,” kata Sugih. Jadi produk lokalan tidak perlu takut terhadap suatu produk nasional yang sudah meluas. Ia berpendapat ceruk pasar itu tetap ada walau tidak skala yang lebih luas.

            Prof. Dr. Ujang Sumarwan, M.Sc., Ahli Consumen Behavior dari IPB, membenarkan, produsen kecap lokal memang sudah mengenal dengan baik pasarnya. Tapi masih butuh pembinaan menyangkut safety dan higienitas. Ditambah lagi bantuan modal, akses terhadap perbankan, dan akses terhadap kualitas sumber day amanusia yang baik.

            Senada dengan Sugih, Bambang Haryanto, Marketing Manager Kecap Sukasari di Semarang, Jateng, mengatakan diperusahaannya selalu menjaga kualitas produk melalui kontrol yang sangat ketat dan laboratorium khusus. Serta, terus melakukan inovasi dengan memproduksi kecap yang lebih hitam, lebih manis, dan lebih kental. “Kami masih mampu memasarkan kecap Sukasari untuk pasar Jawa Tengah dan Yogyakarta, khususnya mengusai di pasar lokal Semarang dan sekitarnya,” akunya.

            Selain itu, untuk mensiasati persaingan dengan kecap nasional, pabrik kecap lokal lebih fokus mengarap segmen pasar. Kecap Samyu yang telah mengeluarkan 3 merek dagang kecap asin maupun manis misalnya, lebih menekankan pada pasar menengah-bawah.

             “Saya nggak takut persaingan, rezeki sudah ada yang ngatur. Resep kecap memang banyak yang tahu, tapi butuh modal yang besar untuk mendirikan industri kecap. Selain itu, untuk mengenalkan taste kecap baru pada masyarakat butuh waktu yang lama,” jelas Sugih.

 

Kedelai Hitam Dicari

            Pesatnya kemajuan industri kecap ternyata tidak diimbangi ketersedian kedelai lokal sebagai bahan baku. Salah satu jenis kedelai yang banyak digunakan adalah kedelai hitam. Namun pemenuhannya sebagain besar masih didatangkan dari luar negeri. “Kita memang pakai kedelai hitam impor. Pernah dicoba dengan kedelai lokal tapi taste yang dihasilkan beda. Mungkin saja untuk produk kecap lain taste-nya cocok, tapi untuk produk kita nggak pas,” ungkap Sugih.

            Sementara kecap Sukasari masih menggunakan jenis kedelai kuning. Meski terkadang menggunakan kedelai hitam. Alasannya, jenis kuning lebih mudah di dapat di pasar sehingga tidak mengalami kesulitan bahan baku. “Kedelai kuning ini dipasok dari Semarang dan sekitarnya,” kata Bambang.

            Dicky  menjelaskan, sesungguhnya kedelai bukan komponen utama dalam pembuatan kecap. Yang utama justru gula kelapa. Tapi, meskipun porsinya kecil, kedelai berperan besar terhadap enaknya rasa. “Oleh sebab itu, yang paling cocok memang kedelai hitam. Kedelai hitam ini sangat berpangaruh terhadap total rasa Kecap Bango,” akunya.

            Atas alasan itu pula, untuk menjamin ketersediaan bahan baku, PT Unilever Indonesia berkomitmen mengembangkan budidaya kedelai hitam di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya kerjasama antara Unilever, Universitas Gajah Mada (UGM), dan petani di Yogyakarta. Kerjasama dengan pola kemitraan itu telah berhasil menemukan varietas kedelai hitam lokal bernama Kedelai Mallika.

            Prof. Dr. Ir. Mary Astuti, MS., Koordinator Program Pemberdayaan Petani Kedelai Hitam UGM, yang juga memimpin kerjasama kemitraan itu mengatakan, Mallika ditujukan untuk memproduksi kecap. Dalam proses pembuatan kecapnya pun tidak perlu menggunakan bumbu maupun penyedap rasa seperti monosodium glutamate (MSG). Sehingga kecap yang dihasilkan benar-benar berkualitas tinggi. “Kecap yang diproduksi hanya dari ekstrak kedelai dan gula kelapa,” tandas Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM ini.

            Namun, untuk menutupi kekurangan pada sisi flavour, biasanya produsen akan menambahkan bumbu dan penyedap rasa pada proses produksi kecapnya. Hanya saja, menurut Astuti, koji (hasil fermentasi kedelai) Mallika berkualitas bagus. Sehingga akan mampu menghasilkan kecap dengan flavour yang bagus pula.

            Selain itu, kedelai Mallika juga menawarkan berbagai keunggulan yang bisa membuat petani untung berlipat. Varietas hasil riset Tim Peneliti Fakultas Pertanian UGM ini tahan simpan hingga enam bulan, produktivitas tinggi, tahan genangan, tahan kekeringan, mengandung antioksidan yang tinggi, dan bukan merupakan produk rekayasa genetika (GMO).

 

Kembangkan Kemitraan

            Saat ini benih Mallika telah dipergunakan petani yang mengikuti kemitraan dengan Unilever. Sejak program dirintis pada 2001, telah 5.000 petani dan 126 kelompok tani terlibat dalam kemitraan. Mereka tersebar di Bantul, Sleman, Nganjuk, Trenggalek, Madiun, Blitar, dan Jombang, serta beberapa daerah di Jawa Tengah. Pada 2005 total lahan mencapai 416,459 ha. Tahun lalu meningkat menjadi 650 ha, dan tahun ini sudah mencapai 1.800 ha. “Tahun depan ditargetkan naik lagi, dengan harapan benih yang terserap sebanyak 70 ton,” ucap Astuti.

            Maya F. Tamimi dari Yayasan Unilever Indonesia menambahkan, manajemen petani mitra harus independen, tapi masih  dalam pembinaan dengan UGM. Pembinaan ini dimaksudkan supaya hasilnya lebih bagus. Pembinaan dilakukan dengan menempatkan sarjana  pertanian untuk mendampingi petani. “Sekarang kami mempunyai tim 20 orang, 11 orang di antaranya tinggal di Yogya,” ungkap Maya.

            Bagi petani lain yang ingin mengikuti kemitraan itu, terlebih dahulu harus tergabung dalam kelompok dan berkoperasi. Pasalnya, dalam pengambilan hasil panen, Unilever hanya berurusan dengan koperasi. Selain itu, luas lahan pun ditentukan minimal 50 ha.

            Sebagai inti, Unilever akan memberikan pinjaman benih, sarana produksi, talangan biaya pembelian kedelai dari koperasi kepada petani, peralatan perontok kedelai, dan jaminan pasar. Biaya tersebut dikembalikan petani dalam bentuk kedelai. Harga kontrak pembelian kedelai oleh koperasi pada petani, tahun ini, Rp4.000/kg.

            Memoria, Brand Manager PT Unilever Indonesia,  menjelaskan upaya kemitraan diambil untuk mengimbangi Kecap Bango yang tumbuh pesat. “Hasil prediksi kami, suatu saat kedelai hitam yang ada di pasar tidak cukup memenuhi kebutuhan. Karena itu jauh-jauh hari sudah harus mulai membangun petani mitra,” jelasnya. Petani, lanjut dia, harus mulai dibina. Karena waktu petani diminta menanam, mereka bilang siapa yang mau beli?

            Langkah Unilever itu patut ditiru. Bila sudah banyak perusahaan yang melibatkan petani, diharapkan tercipta petani pemasok yang mampu menyediakan bahan baku sesuai kebutuhan pasar. Dengan begitu, perkembangan industri kecap tidak hanya dinikmati para pengusaha, melainkan bersama-sama dengan petani.

 

Yan Suhendar, Enny Purbani T., Peni SP, Faiz Faza, Agus Triono, Ova Indriana

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain