Sugih Prakoso, Produsen Kecap Samyu
Bertahan dengan Fermentasi
Eksis selama 70 tahun dibisnis bumbu masakan asal China menjadi prestasi tersendiri bagi produsen kecap Samyu. Kecap buatan Sukabumi, Jabar, ini dikenal dengan varian kecap asinnya yang khas, bersifat aromatik alias mengeluarkan bau harum saat dimasak. Hal inilah yang menjadi salah satu daya tarik kecap tersebut dalam mengikat konsumennya agar tetap loyal.
Kiatnya, “Kami selalu menggunakan kedelai hitam dan membuat kecap dengan metode fermentasi,” ujar Sugih Prakoso, Manajer Utama PT Alam Aneka Aroma, produsen kecap Samyu. Menurut Sugih, kedelai hitam menghasilkan taste yang cocok dengan keinginan konsumennya, sedangkan proses fermentasi menghasilkan aroma kecap yang lebih wangi dibanding dengan kecap yang dibuat dengan proses hidrolisis.
Walaupun diuntungkan dengan singkatnya waktu produksi, aroma kecap yang dibuat dengan metode hidrolisis tidak seharum kecap fermentasi. Itulah sebabnya, meskipun agak ribet, Samyu bertahan dengan metode yang diterapkan sejak pertama kali pabrik kecap tersebut didirikan pada 1937. Prinsipnya, “Makin lama proses fermentasinya, semakin wangi kecap yang dihasilkan,” tambah Sugih.
Selain jenis kedelai dan proses memasak, gula merah punya andil besar dalam menentukan mutu kecap yang dihasilkan. Pasalnya, komposisi gula merah pada kecap manis bisa mencapai 90% dan 20% pada kecap asin. Jadi, kualitas gula yang digunakan harus dijaga dari waktu ke waktu. “Itu bukan pekerjaan mudah karena gula merah dihasilkan oleh industri rumah tangga yang standarnya berbeda-beda,” ujar alumnus Fakultas Peternakan UGM 1992 ini.
Yang jelas, sampai sekarang kecap asin Samyu masih bertahan di segmen rumah tangga dan varian manisnya menguasai pasar pedagang perantara di wilayah Sukabumi, seperti pedagang bakso, sate, dan bubur ayam.
Ny. Jamburi, Produsen Kecap Cemara
Lebih Legit dan Kental
Berawal dari industri rumah tangga yang mengolah 20 kg gula merah dan beberapa kilo kedelai per hari, Ny. Jamburi yang memproduksi kecap Cemara di Blitar, Jatim, kini mampu menghasilkan rata-rata 13.500 botol kecap per bulan. Kecap bervolume 650 ml per botol ini dijual dengan harga Rp5.700 sehingga pendapatan ibu empat putera ini mencapai Rp77 juta per bulan.
Meningkatnya pasar kecap lokal tersebut tak lepas rasanya yang cocok dengan selera masyarakat Blitar dan sekitarnya, yaitu manis dan legit. Menurut Ny. Jamburi, rasa kecap yang khas tersebut terbentuk dari cara pembuatannya yang tradisional dan manual, pemanfaatan bahan baku alami, serta pemasakannya menggunakan kayu bakar.
Tak banyak berbeda dengan kecap lainnya, bahan baku kecap Cemara adalah kedelai kuning, sedikit kedelai hitam, gula merah, dan rempah-rempah tradisional. Untuk proses pembuatannya, kecap Cemara sedikit lain. “Pada penyaringan terakhir, separuh dari hasil penyaringan tersebut masih direbus lagi sehingga kecap menjadi lebih kental. Setelah itu, baru dicampur dan dikemas,” ujar Ny. Jamburi.
Meskipun telah berusaha mati-matian mempertahankan mutu produk, ibu dua anak ini mengakui terkadang mengalami kendala. Antara lain, adanya endapan kristal gula di dasar botol akibat bahan baku gula merah yang bercampur dengan gula pasir. “Ini sering terjadi pada bulan Juni, Juli, dan Agustus,” terangnya.
Pada musim kemarau tersebut, produksi nira merosot sehingga produsen gula banyak yang tergoda menambahkan bahan pencampur. Demi menjaga hubungan baik dengan pelanggan dan agen, tak ada pilihan lain kecuali mengganti seluruh produknya yang telah sampai di tangan konsumen.
Seperti halnya kecap lokal lainnya, kecap Cemara membidik konsumen di pedesaan. Tak heran jika kecap ini lebih banyak beredar di pasar-pasar tradisional. Dengan tujuan memperbesar omzet produksi, Ny. Jamburi kini membuat diversifikasi produk, di antaranya saus tomat dan petis udang dengan target pasar sama dengan kecap Cemara.
Ova Indriani