Selasa, 13 Nopember 2007

Produksi Kedele Masih Memble

Kebutuhan kedelai secara nasional sekitar 2 juta ton. Namun, produksi kedelai dari petani hanya 750 ribu ton.

 

            Setiap tahun, produksi kedelai cenderung urun. Sedangkan konsumsi naik terus. Lantaran itu, dalam 15 tahun terakhir, Indonesia menjadi pengimpor utama kedelai dengan kecenderungan volume makin besar (lihat Tabel). Dari total kebutuhan kedelai yang 2 juta ton, hampir 90% diserap industri tahu tempe.

            Di luar itu, ada industri kecap yang semakin berkembang dengan ratusan merek beredar di pasaran. Berkembangnya industri kecap tersebut membutuhkan bahan baku di antaranya kedelai, gula kelapa, garam, dan sedikit rempah-rempah. Dalam komposisi pembuatan kecap, porsi kedelai sekitar 10%—15%. Meskipun sedikit, pengadaan kedelai untuk kecap cukup merepotkan bagi produsennya. Terutama produsen kecap yang menggunakan kedelai hitam, misalnya kecap Bango dan kecap Samyu di Sukabumi.

            “Sebelumnya kita pernah coba pakai kedelai lokal tapi taste yang dihasilkan tidak sesuai dengan yang diinginkan. Kita juga pernah coba kedelai lokal, tapi hasilnya pun beda. Yang paling mungkin adalah kedelai kuning impor karena waktu itu kedelai hitam impor susah, taste keduanya juga nggak begitu jauh. Nah, karena sekarang kedelai hitam impor mudah didapat, kita beralih ke kedelai hitam. Kita membeli melalui importir karena tidak terlalu banyak kebutuhannya,” papar Ir. Sugih Prakoso, Manajer Utama PT Alam Aneka Aroma, produsen kecap Samyu, yang membutuhkan 500 kg kedelai hitam per bulan itu.

              Lain halnya Unilever. Kendati tidak bersedia menyebut angka yang pasti, Dicky Saelan,  Marketing Manager SCC & Savoury PT Unilever Indonesia Tbk. yang menangani kecap Bango, mengaku pihaknya cukup serius menangani pasokan bahan baku kedelai hitam. “Meskipun kecil porsi kedelai itu tapi kontribusi terhadap rasa sangat besar,” ujar Dicky yang didampingi Memoria, Brand Manager Bango dan Maya F. Tamimi, SME Program Manager.

            Mereka sudah memprediksi, dengan pertumbuhan bisnis kecap Bango yang berpuluh lipat kali sejak 2003, jumlah kedelai hitam di pasaran, tidak akan mencukupi kebutuhan mereka. Karena itu melalui Yayasan Unilever Peduli, perusahaan multinasional ini membina petani kedelai dan menjalin kemitraan dengan mereka di Jateng dan Jatim. Sampai sekarang, menurut Maya F. Tamimi yang menangani kemitraan kedelai, luasan lahan kedelai binaan Unilever sekitar 1.000 ha dengan jumlah petani 6.000 orang.

 

Varietas Terbaru

            Sejak 2001 Unilever bekerja sama dengan Fakultas Pertanian UGM mengembangkan kedelai hitam. Tim peneliti Fakultas Pertanian UGM akhirnya menghasilkan varietas unggul dari seleksi tanaman asal Bantul, Yogyakarta, yang dinamai Mallika.

            Varietas kedelai terbaru yang dirilis Deptan pada 7 Februari 2007 itu, menurut Ir. Setyastuti Purwanti, MS, peneliti Mallika, mempunyai potensi produksi 3 ton/ha. “Di lapangan ada yang mencapai 2,7 ton/ha. Ini hasil riil, bukan ubinan,” jelas kandidat doktor bidang kedelai tersebut.

            Sementara itu, Prof. Dr. Ir. Mary Astuti, MS, Koordinator Program Pemberdayaan Petani Kedelai Hitam UGM yang juga memimpin kemitraan menyatakan, Mallika ditujukan untuk memproduksi kecap yang dalam proses pembuatannya tidak mempergunakan bumbu maupun penyedap rasa, seperti monosodium glutamat (MSG). Dengan demikian kecap yang dihasilkan benar-benar berkualitas tinggi. “Kecap yang diproduksi hanya dari ekstrak kedelai dan gula kelapa, tanpa tambahan bumbu dan MSG,” tandas Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM itu. Menurutnya, koji hasil fermentasi Mallika berkualitas bagus sehingga mampu menghasilkan kecap dengan flavour yang bagus pula.

            Di luar Mallika, seperti disampaikan Ir. M. Muchlis Adie, MS, pemulia kedelai di Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi), Malang, mempunyai lebih dari 64 varietas kedelai. Empat di antaranya kedelai hitam, empat kedelai kuning kehijauan, dan sebagian besar lainnya kuning. “Target Balitkabi tahun ini bisa melepas tiga varietas kedelai hitam unggul baru yang cocok untuk produksi kecap,” ungkap Mukhlis melalui telepon. Ketiga varietas tersebut menawarkan keunggulan berbeda-beda.

 

Banyak Faktor

            Kita boleh saja kaya akan varietas kedelai tetapi fakta di lapangan menunjukkan hanya beberapa saja yang ditanam petani. Rata-rata produktivitasnya pun rendah karena petani tidak menerapkan teknik budidaya yang benar. Akibat lanjutannya, produksi nasional rendah.

            Banyak faktor yang menjadi pemicu kedodorannya produksi nasional. Dari sisi bisnis, kedelai tidak menggairahkan bagi petani karena tertekan derasnya arus kedelai impor yang harganya lebih murah. Sampai sekarang pemerintah hanya memasang bea masuk impor 10%.  Di samping itu, lahan kedelai juga bersaing dengan jagung. Jadi, ketika harga jagung dalam tahun-tahun terakhir lebih menggiurkan ketimbang kedelai, petani pun beralih ke jagung. Padahal mereka umumnya bertanam jagung di lahan yang tadinya untuk kedelai.

            Kasus yang kurang lebih sama terjadi di Lampung. Kini banyak petani lebih suka menanam singkong ketimbang kedelai karena harga bahan baku etanol ini tengah membaik. Apalagi bila pabrik etanol baru nanti mulai berproduksi.

            Hal-hal itulah yang disinyalir Direktorat Budidaya Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Ditjen Tanaman Pangan, menjadi penyebab menurunnya luasan lahan kedelai. Sedangkan dari sisi budidaya, kedelai hanya sebagai komoditas penyeling padi dan tingkat penerapan teknologi budidayanya masih rendah.

            Untuk meningkatkan produksi kedelai nasional, pemerintah meluncurkan Program Bangkit Kedelai 2007-2011. Pada akhir 2011, diharapkan produksi nasional akan mencapai 2 juta ton dari luasan panen 988.703 ha.

Peni SP

 

Strategi Menuju Swasembada Kedelai 2007-2011

  1. Percepatan peningkatan produktivitas 6,45%/tahun, dari 1,3 ton/ha menjadi 2 ton/ha
  2. Peningkatan luas tanam 7,35%/tahun, dari 740.740 ha menjadi 1.170.740 ha
  3. Perbaikan sistem perbenihan melalui penyediaan varietas unggul
  4. Mencari inovasi teknologi produksi kedelai
  5. Mencari peluang perluasan areal di lahan tidur yang potensial
  6. Mencari sumber permodalan dan pengembangan pola kemitraan
  7. Memperbaiki tataniaga kedelai
  8. Pemantapan manajemen pembangunan

 

KIAT SUKSES MENANAM MALLIKA

""Jamhari bin Zubat merasa senang menanam kedelai varietas Mallika. “Produksi kedelai lain mungkin hanya sepertiganya,” ungkap Jamhari. Pada 2005 ia mampu mengeksploitasi potensi produktivitas Mallika hingga 2,76 ton/ha. Pencapaian ini membuahkan predikat petani kedelai hitam terbaik dari 2.670 petani kemitraan Unilever.

Selain mengikuti arahan pendamping, petani asal Dukuh Nangsri, Srihardono, Pundong, Bantul ini juga melakukan beberapa inovasi. Yang terpenting adalah penggunaan fungisida dan penyibakan kanopi tanaman. Pada standar budidaya Mallika, yang dianjurkan hanyalah penggunaan insektisida Matador. Namun, menilik rimbunnya tanaman dan tingginya kelembapan udara, Jamhari menambahkan fungisida Score. Karena tidak terserang jamur, hijau daun tanaman menjadi lebih lama sehingga proses pembentukan dan pemasakan buah menjadi lebih baik.

Penyibakan kanopi dilakukan seminggu sekali ketika polong mulai berbiji. Tujuannya, memperbaiki sirkulasi udara, mengurangi serangan serangga karat daun, dan memungkinkan sinar matahari diterima merata oleh daun-daun tanaman. “Jadi, intinya adalah membuat umur hijau daun lebih panjang dan cukup sinar matahari. Karena daun adalah tempat masak yang akan menjadi buah,” terang anggota Kelompok Tani (KT) Sido Drebolo tersebut. Penyibakan dihentikannya ketika polong sudah terisi penuh karena batang dan cabang sudah keras sehingga gampang patah.

 

Analisis Usaha

Biaya budidaya Mallika tergolong tidak mahal. “Kalau (kondisi) normal, satu hektar hanya Rp1 juta,” hitung Suwarjono, petani Mallika terbaik 2004. Anggota KT Ngremboko, Dukuh Paten, Srihardono, Pundong, Bantul, ini mampu mencapai produktivitas 2,4 ton/ha.

Biaya operasionalnya untuk satu ha meliputi 35 kg benih (dibayar kembali dengan benih kedelai hasil panen), 50 kg urea (Rp72 ribu), 100 kg TSP (Rp180 ribu), pupuk cair pelengkap (Rp100 ribu), penyiangan Rp200 ribu, penyemprotan Rp40 ribu, insektisida Rp54 ribu, sewa alat perontok Rp400 ribu. Jadi, total biaya produksi sekitar Rp1.046.000/ha. Rata-rata hasil panen Suwarjono adalah 2,4 ton/ha.

Setelah dikurangi 35 kg untuk pengembalian pinjaman benih, hasil panennya sebanyak 2.365 kg. Bila harga kedelai Rp4.000/kg, maka total pendapatannya mencapai Rp9,46 juta. Sesudah dikurangi biaya produksi, Suwarjono mengantongi keuntungan Rp8,414 juta per ha.

Faiz Faza

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain