Jumat, 26 Oktober 2007

Menderes Rupiah dari Karet

Ingin usaha menguntungkan dan berkelanjutan? Coba tanam karet.

 

Membaiknya harga karet tentu memberikan harapan baik bagi para pelaku usaha. Naiknya harga karet alam merupakan akibat dari melambungnya permintaan yang tidak diimbangi dengan produksi.

Sejak awal tahun ini, harga karet terus melonjak. Harga bokar (bahan olahan karet) di tingkat petani pertengahan Oktober, menembus Rp18.000/kg. Padahal sebelumnya, harga bokar masih bertengger pada kisaran Rp16.000—Rp16.500/kg.

Tak berlebihan bila Pemkab Sukabumi giat mengembangkan karet. “Di luar sawit, karet menjadi komoditas yang kami unggulkan,” ungkap Drs. Wastaram, Kepala Dinas Perkebunan Sukabumi kepada AGRINA, awal Oktober lalu.

Berdasar data Dinas Perkebunan, sampai tahun lalu, perkebunan karet di kawasan Sukabumi baru ada 20.514 ha. Dari jumlah itu, perkebunan karet rakyat hanya 3.944 ha. Sisanya merupakan perkebunan milik swasta dan badan usaha milik negara (BUMN).

Dari ratusan ribu hektar lahan kering di wilayah Sukabumi, menurut Wastaram, masih ada sekitar 50.000 ha yang potensial untuk pengembangan karet. Memang, usaha tani karet mensyaratkan adanya jaminan pasar. Namun, di Jabar syarat ini terpenuhi lantaran selalu ada pihak pembeli.

 

Lebih lanjutnya mengenai liputan ini bisa dibaca di Tabloid AGRINA versi Cetak volume 3 Edisi No. 64 yang terbit pada Rabu, 31 Oktober 2007.

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain