Meskipun sepakat dalam metode budidayanya, yaitu tumpangsari, pilihan varietas kapas menjadi masalah besar bagi petani di Indonesia.
Untuk wilayah yang kering seperti Gunung Kidul, misalnya, petani kapas di wilayah tersebut lebih memilih varietas ISA 205A yang tahan terhadap cuaca panas dan kekeringan. Meskipun penuh pro dan kontra, petani di Kabupaten Bantaeng dan Bulukumba mendambakan benih transgenik yang produksi rata-ratanya 1,5 ton per hektar. Kehadiran kapas hibrida dari China memberikan harapan baru bagi petani kapas di wilayah tersebut karena produktivitasnya hingga di atas 4 ton per hektar.
Tekat Mursito
Tak Pernah Gagal Panen
Keinginan Tekat Mursito untuk menjadi petani kapas sudah bulat. Anggota Kelompok Tani Manunggal Lestari, Grogol V, Bejiharjo, Karangmojo, Kab. Gunung Kidul, Yogyakarta ini berpendapat, kapas merupakan harapan baru untuk menambah penghasilan kala musim kering. Maklum, Gunung Kidul termasuk wilayah tandus yang keberhasilan panen hanya terjadi pada musim pertama. Pada musim tanam kedua, hampir 50% tanaman yang digarap petani tak mampu mencapai umur panen.
Lain halnya dengan kapas. Meskipun, pemupukannya hanya membonceng tanaman utama, misalnya kacang tanah dan jagung, kapas tidak pernah gagal panen. “Walaupun sedikit tetapi mesti panen. Tidak gambling seperti jagung atau kacang tanah,” ujar Tekat. Diakuinya, petani belum melakukan pemupukan tersendiri terhadap tanaman kapas. “Namun, produktivitas di Gunung Kidul mencapai lima kuintal per ha,” ungkap Maryono, rekan Tekat yang juga petani kapas.
Tahun ini Tekat menanam benih varietas ISA 205A yang lebih tahan kekeringan dibandingkan varietas Kanesia. Dari lahan seluas 1.500 m2 ia mampu mendapatkan 75 kg kapas. Dengan kebutuhan benih hanya 0,8 kg seharga Rp18.400 dan harga jual sebesar Rp2.500 per kg, Tekat meraih untung Rp169 ribu per musim tanam (4—5 bulan).
Sementara hasil penjualan kacang tanah di lahan tersebut rata-rata Rp750 ribu dan dari tanaman jagung berfungsi sebagai perangkap hama kapas sebesar Rp75.000. Dengan demikian tambahan penghasilan dari kapas yang tanpa pemupukan mencapai 20—25% dari harga jual produksi tanaman utama. “Saya akan mencoba menanam kapas dengan standar teknis yang benar. Paling tidak, produksi kapas meningkat 40 persen,” harap Tekat.
Menurut analisis Perusahaan Rokok (PR) Sukun, mitra petani kapas di Gunung Kidul, produktivitas kapas yang ditanam secara tumpang sari dengan kacang tanah dan ketela pohon seluas satu hektar mencapai 1,2 ton senilai Rp3 juta. Jika panen kacang tanah mencapai satu ton atau Rp3 juta dan panen ketela pohon sebanyak satu ton senilai Rp600 ribu, maka pendapatan petani Rp6,6 juta. Dikurangi biaya produksi Rp2,9 juta, maka keuntungan petani sekitar Rp3,7 juta. Faiz Faza (Yogyakarta)
Murdjani
Harus Disyukuri
Menurut Murdjani, dibandingkan varietas Kanesia, benih kapas transgenik lebih menguntungkan karena produktivitasnya yang tinggi. Namun, dengan gencarnya penolakan terhadap penggunaan benih kapas transgenik oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat, “Akhirnya membuat pemerintah mengabaikan benih kapas transgenik,” ujarnya. Pemerintah kini tengah giat mensosialisasikan kapas hibrida asal China yang mampu menghasilkan hingga 4,2 ton kapas per hektar.
Meskipun demikian, ia mengkhawatirkan kehadiran kapas hibrida di tanah air juga akan menuai masalah yang sama seperti pendahulunya, kapas transgenik. Menurutnya, “Mestinya kehadiran kapas baru ya harus disyukuri karena produktivitas tanaman tinggi sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani,” komentar Murdjani yang juga Ketua Asosiasi Petani Kapas Indonesia (Aspekindo).
Murdjani tidak sependapat dengan pandangan segelintir orang yang mengatakan penanaman kapas transgenik membawa dampak buruk terhadap lingkungan. “Sebagai mantan petani kapas transgenik, saya belum pernah melihat tanda-tanda apapun yang merusak lingkungan dari penggunaan benih kapas transgenik,” tegasnya.
Sebaliknya, kapas varietas Kanesia dianggapnya lebih rumit budidayanya karena relatif tidak tahan terhadap serangan hama. “Kalau kita tanam kapas jenis Kanesia, sama dengan bagi hasil dengan hama. Hamanya banyak, produksi kapasnya sedikit,” terang Murdjani. Menurut petani kapas sejak 1973 ini, produksi kapas transgenik tetap bagus meskipun ditanam di areal yang luas. Sebaliknya, kapas Kanesia tidak bisa ditanam di atas satu hektar karena akan diserang hama. Jika benih kapas hibrida tahan terhadap hama, “Maka jenis kapas inilah yang paling diandalkan petani,” ujarnya.
Muhammad Amir
Pilih Kapas Transgenik
Sebagai Ketua Kelompok Tani Kapas “Sumur Jaya”, Muhammad Amir mengakui sebagian besar petani di daerahnya, termasuk anggota kelompok taninya memilih kapas karena tidak mempunyai cukup modal untuk bertanam jagung atau tanaman lainnya. “Berbeda dengan kapas yang mendapat subsidi dari pemerintah berupa benih,” papar Amir.
Selain itu, petani kapas seperti dirinya juga mendapat bantuan pupuk dari PT Seco Fajar Cotton, perusahaan pengolah kapas yang terdapat di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Perusahaan ini pun membeli kapas yang dihasilkan para petani di Kabupaten Bantaeng, Jeneponto, dan Bulukumba.
Menurut Amin, sebagian besar petani lebih memilih kapas transgenik karena produktivitasnya yang tinggi serta lebih tahan terhadap cuaca panas. Bollgard (kapas transgenik) bisa menghasilkan paling kurang 1,5 ton kapas per hektar, sedangkan kapas varetas Kanesia hanya berkisar 700—800 kg. “Kanesia selalu diserang hama sehingga produktivitasnya rendah,” ujar Amin.
Sejak tahun 1975, mantan kepala desa ini selalu menggunakan benih kapas transgenik. Baru di tahun 2007, ia mencoba varietas Kanesia. Tapi, “Produksi kapas yang ditanam secara tumpangsari dengan jagung, tidak sampai satu ton,” ujar Amin. Dari segi harga, sebenarnya benih kapas varietas Kanesia dan benih kapas transgenik tak jauh berbeda, yakni sekitar Rp21.000 – Rp23.000 per kg, belum termasuk subsidi pemerintah.
Kapas petani dihargai Rp2.500 per kg. Meskipun cenderung naik, tapi tidak pernah terlalu besar peningkatannya. “Tahun 2006, harga kapas Rp2.300 per kg. Jadi, hanya ada kenaikan Rp200 per kg dibanding tahun ini,” ujar Amin. Marwan Azis (Kontributor Makassar)