Selasa, 18 September 2007

Yang Makmur Karena Jamur

Walaupun bukan komoditas unggulan, bila ditekuni secara serius, usaha tani  jamur dapat memberikan keuntungan yang memadai. Berikut para pelaku yang sukses berbisnis jamur.

 

Misa Suwarsa

Belajar Sampai ke Negeri Cina

Sejak 1990, lelaki yang pernah menjadi dosen Teknik Kimia ITB ini memutuskan serius menekuni jamur merang. “Awalnya, saya pernah ketemu dosen tamu dari Uni Eropa. Dia bilang kenapa jerami harus dibakar, padahal jika dimanfaatkan sebagai media jamur, nilai ekonominya bisa enam kali lipat besarnya,”  cerita Misa.

Tersadar oleh kritik dosen tamu tersebut, Misa mulai mencoba mempelajari budidaya jamur merang. Setelah sekian lama, impiannya untuk mengenal lebih dalam tentang jamur terwujud karena pada 2004 dirinya mendapat undangan magang dari pemerintah China. Pada tahun yang sama, dia mendapatkan penghargaan Satya Lencana Wira Karya dari Presiden RI atas baktinya mengembangkan pertanian kususnya jamur merang.

Sekarang jumlah kumbungnya ada 20 unit. Rata-rata produksi jamur merangnya sekitar 400—500 kg per kumbung. Dengan harga jual saat ini yang berkisar Rp10.000—Rp12.000 per kilo, dalam satu siklus satu kumbungnya mampu menghasilkan Rp6 juta. Itu belum termasuk hasil yang masuk kelas BS.

Saat ditanya apa rahasianya, Misa hanya menjawab, kuncinya pada styrofoam, kelembapan, dan suhu. Memang bila diperhatikan, kumbungnya berbeda dari kumbung milik petani jamur merang pada umumnya. Kumbung jamur bapak satu anak ini terbuat dari styrofoam, bukan dari bambu. “Styrofoam dapat menahan panas sehingga suhu optimum kumbung pada kisaran 32o—34oC dengan kelembapan 95%--98% dapat tetap terjaga,” bebernya

Misa juga mengingatkan, saat proses fermentasi media, harus dipastikan kadar pH-nya dan jenis bahan yang digunakan. Fermentasi media yang sempurna menentukan 50% keberhasilan tumbuhnya jamur merang. Sedangkan 50% nya lagi ditentukan dari kualitas bibit yang digunakan.

Karena kesuksesannya di bidang jamur, sejak tahun 2000 pemerintah mempercayai Misa untuk menyelenggarakan pelatihan jamur merang. Setahun sekali, tiap daerah mengirimkan wakilnya untuk belajar di tempatnya. Selain itu lelaki 48 tahun ini juga memproduksi bibit jamur merang dan ia berani mengklaim bahwa bibitnya terbuat dari F nol.  

 

Jemy Susanto

Patahkan Teori

Lazimnya jamur tiram tumbuh subur pada daerah dataran tinggi. Namun Jemy Susanto mencoba membudidayakanya di Solo yang merupakan daerah panas. Mula-mula banyak yang tidak yakin dengan apa yang dilakukan Jemy, begitu biasa dia disapa. Tapi dengan tekat kuat dan rasa optimis, ia maju terus. “Semua daerah sebenarnya bisa, tinggal bagaimana pintar-pintar kita memodifikasi tempat tumbuh jamur, terutama dalam hal kelembapan,” terangnya

Selama ini daerah Solo mengandalkan pasokan jamur tiram dari daerah lain. Karena itu kalau ia bisa mengembangkan jamur ini di Solo, maka harganya bisa ditekan. Konsumen pun lebih banyak yang menjangkaunya.

Jemy memilih jamur tiram karena menurutnya jamur tiram mudah dibubidayakan. Perbandingan kelayakan usahanya pun tertinggi dibandingkan jenis jamur lain. Untuk itu sejak 2,5 tahun lalu, ia mendirikan PT Agro Jamur Lestari yang memfokuskan diri pada pembuatan bibit dan baglog. Kapasitas produksi bibitnya saat ini mencapai 1.000 botol per hari atau lebih bergantung pesanan.

Saat ditanya tentang kemampuan bibitnya, pria berkaca mata ini menuturkan, tiap botol bibitnya oleh petani biasanya diturunkan lagi menjadi 50 botol  F3, setelah itu baru dapat diaplikasikan ke 2.000 baglog. Sejauh ini bibit buatanya sudah banyak digunakan tidak hanya petani jamur tiram di Solo, tapi sudah merambah ke Palembang, Samarinda, Riau, Timika, dan kota–kota di Jawa.

Bapak satu anak ini menawarkan sistem kemitraan kepada petani dan membaginya menjadi tiga kategori kemitraan. Kemitraan Berdikari, yaitu petani hanya membeli bibit saja; Kemitraan Bagi Hasil 70 : 30 untuk pembelian baglog dengan harga spesial untuk petani di Jawa; Yang terakhir Jemy siap melakukan presentasi dan petihan di daerah mana saja.

 

Ir. NS Adiyuwono

Siasati Pasar Agar Tetap Bertahan

Walaupun baru empat tahun memulai usaha jamur di Ciwidey, tapi saat ini perusahaan jamur Sinapeul milik Adiyuwono mampu meraih omzet Rp20 jutaan per minggu. Perusahaan jamur yang berlokasi di Bandung Selatan ini, selain menghasilkan 600-700 kg jamur tiram dan kuping per hari, juga memproduksi sekitar 100 ribu baglog/bulan dan 30.000 botol bibit/bulan. Baglog buatannya sekarang banyak digunakan petani asal Bogor, Cikole, Cisarua, Banjaran dan daerah sekitar Bandung. Sedangkan pemasaran bibitnya kini telah menjangkau Aceh, Medan, Riau, Solo, dan Surabaya

Menurut Adi Yuwono, keberhasilannya itu karena ditunjang dengan komitmen untuk tetap membudidayakan jamur dalam kondisi organik. “Kalau organik ‘kan harganya tinggi, nah dari situ ‘kan marjin sudah terbayarkan,” terang pria yang mengaku bermodal awal Rp100 jutaan ini

Adi juga mengingatkan, masalah pengemasan yang sangat berkaitan dengan tingkat kesegaran jamur. Ia mencontohkan pada jamur tiram. Dahulu semua dikemas dalam ukuran 20 kg tapi sekarang hanya dibungkus dalam ukuran 5 kg atau 2 kg saja. Ternyata pengemasan dalam ukuran kecil dapat menjaga kesegaran dan kualitas jamur. Selain itu juga dapat menekan angka kehilangan saat pendistribusian yang mencapai 5%—20% jika menggunakan kemasan besar.

Hal lain yang menjadi penentu kesuksesannya bertahan di bisnis jamur adalah inovasi. Perusahaannya sekarang sedang mengembangkan pembuatan jamur kuping dalam bentuk serbuk, “Jadi selain segar dan kering, sekarang kita coba pasarkan dalam bentuk serbuk karena kalau dalam bentuk bubuk mereka lebih mudah mengolahnya,“ ungkap pengusaha yang kebunnya berada di 8 lokasi terpisah ini.

 

Selamet Riyanto, Dadang WI

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain