Dibandingkan budidaya, usaha bandeng olahan lebih menjanjikan. Keuntungannya bisa dua sampai empat kali lipat.
Bandeng merupakan komoditas perikanan yang pangsa pasarnya cukup terbuka, baik untuk lokal maupun ekspor, berbentuk segar atau olahan. Bandeng juga digunakan sebagai umpan di kapal penangkap tuna. Dibandingkan jenis ikan lainnya, produksi bandeng nasional menduduki urutan pertama, disusul ikan mas dan nila. Data Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) menunjukkan produksi bandeng 2005 mencapai angka 254.018 ton, sedangkan ikan mas 216.924 ton, dan nila 151.363 ton.
Produksi Meningkat, Harga Tetap
Sejumlah daerah yang menjadi sentra bandeng adalah Provinsi Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Masing-masing menghasilkan 83.889 ton, 58.715 ton, 33.645 ton, dan 24.073 ton pada 2005. Daerah lain yang berpotensi untuk pengembangan bandeng antara lain Nusa Tenggara Barat, Lampung, Nangroe Aceh Darussalam, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Barat.
Produksi bandeng terus meningkat, “Pada 2002, produksi bandeng nasional hanya 222.228 ton, meningkat 14,3% dibandingkan 2005,” ujar Iskandar Ismanadji, Direktur Produksi, Ditjen Perikanan Budidaya, DKP. Bandeng konsumsi pada umumnya dipasarkan dalam bentuk segar. Salah satu pasar bandeng terbesar adalah Jakarta yang menyerap sedikitnya 40 ton bandeng per hari.
Kebutuhan bandeng di wilayah Jakarta dipasok dari Sidoarjo, Gresik, dan Lamongan (Jatim), Lampung Selatan dan Labuhan Maringgai (Lampung), dan Jawa Barat, khususnya Karawang dan Indramayu. Kabupaten penghasil mangga di wilayah pantai utara Jawa tersebut memproduksi 10.000 ton bandeng per tahun, sebagian besar dikirim dalam bentuk bandeng segar ke Muara Baru (Jakarta).
Bandeng yang dikenal sebagai milkfish ini biasanya dibudidayakan petani secara tradisional atau semi intensif selama 6—7 bulan dengan produktivitas berkisar 800 – 2.000 kg per hektar. Di tingkat petani, bandeng dihargai Rp7.000—Rp11.000 per kg, bergantung pada ukuran. Ketika produksi bandeng turun saat musim kemarau, harga bisa menyentuh angka Rp11.000 per kg. Sebaliknya, sewaktu produksi bandeng melimpah pada musim penghujan, “Cari harga Rp8.000 per kg aja susahnya bukan main,” ujar Ali Sodikin, petani bandeng di Desa Karangsong, Kec. Indramayu, Indramayu (Jabar).
Masalahnya, harga ikan air payau ini tak jauh bergeser dari angka tersebut sejak lima tahun ke belakang ini, padahal biaya operasional terus meningkat. Masih menurut Ali, biaya produksi satu kilo bandeng berkisar Rp5.500—Rp6.000. Alhasil, ”Jika usaha tani bandeng dihitung ala anak sekolahan, petani bandeng itu hampir nggak ada gajinya,” ujar Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan (Diskan) Kab. Indramayu, Abdurrosyid Hakim.
Menuju Bandeng Olahan
Tanpa banyak membuang waktu, awal 2006 Diskan Indramayu meluncurkan pelatihan bandeng tanpa duri (tandu) melalui Program Pendanaan Kompetisi untuk Peningkatan Dayabeli Masyarakat/Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (PPK IPM). Dana APBD sebesar Rp220 juta tersebut kemudian digunakan untuk melatih 30 kelompok tani, membeli alat produksi, dan promosi.
“Saya ingin Kab. Indramayu bukan hanya sekedar penghasil komoditas (bandeng), tapi menghasilkan produk (bandeng olahan),” ujar Hakim, demikian sapaan akrabnya. Selama 2006 pihaknya telah melatih 300 orang, dan sekitar 100 orang lagi tahun ini. Di luar kegiatan PPK IPM, Hakim yakin di Kabupaten Indramayu telah tersedia 1.000 orang terlatih untuk memproduksi bandeng tandu. Meskipun ia mengakui daya serap bandeng segar ke industri olahan masih kecil, sekitar 5% dari total produksi bandeng segar di kabupaten tersebut.
Berbeda dengan Kab. Indramayu yang baru seumur jagung terjun ke kancah bandeng olahan, Provinsi Jawa Tengah, khususnya Kab. Semarang yang tersohor dengan industri bandeng duri lunak (presto). “Coba lihat saja di sepanjang jalan Pandanaran, Pasar Johar, dan Simongan yang sudah lama menjadi sentra ikan olahan,” ujar Subagyo, Kasubdin Pengelolaan Budidaya Ikan, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Tengah.
Subagyo mengaku, pihaknya terus berupaya agar produksi ikan olahan terus meningkat dengan melakukan pendampingan sekaligus memberi solusi untuk mendapat bantuan permodalan. Di antaranya melalui dana penguatan modal (DPM) bagi petani bandeng. Dengan dana ini diharapkan petani bandeng mampu membuat produk olahan. Produksi ikan olahan yang berasal dari air payau (termasuk bandeng) dari Jawa Tengah 2005 sebesar 52 ribu ton lebih atau senilai Rp671 miliar.
Wilayah lain yang telah menjadi sentra ikan olahan adalah Kab. Sidoarjo (Jatim). Selain bandeng presto dan bandeng tandu, bandeng asap telah lama menjadi industri ikan olahan di daerah ini. Sentra olahan bandeng di Kab. Sidoarjo berpusat di Kec. Sidoarjo dengan tujuan pasar di sekitar wilayah Jawa Timur, Jakarta, dan Jawa Barat. Industri bandeng olahan ini mendapat pasokan bahan baku dari tambak-tambak di wilayah Sidoarjo, Gresik, dan Lamongan.
Buka Peluang Usaha
Di tingkat pelaku usaha, bandeng olahan cukup memberi peluang meraih keuntungan memadai. Tasari misalnya, produsen dan penjual bandeng presto di wilayah Pamulang, Tangerang, Banten, mampu meraup keuntungan kotor rata-rata Rp400 ribu per hari. Lelaki asal Pekalongan ini mampu menjual 150 kg (1.200 ekor) kg per dua hari kepada para produsen bandeng presto binaannya. Dengan modal sebesar Rp1,6 juta (terdiri dari bahan baku, bumbu, dan bahan bakar), ia menjual produk bandeng presto olahannya sebesar Rp2.000 per ekor atau Rp2,4 juta per produksi.
Di Serang, Provinsi Banten, sate bandeng merupakan penganan khas di wilayah ini yang juga membuka peluang usaha. Sukmaryani, pedagang sate bandeng di sana, sedikitnya mampu menjual 300 ekor sate bandeng per hari dan menjadi pemasok sejumlah supermarket dan hotel berbintang di kawasan wisata Anyer, misalnya Hotel Marbella. Dibantu lima orang karyawannya, omzet usahanya mencapai Rp15 juta per hari. Di wilayah Serang, saat ini sedikitnya terdapat 56 perajin sate bandeng dengan sentra di Desa Kaujon.
Di Indramayu, bandeng tanpa duri kini tengah menjadi primadona ikan olahan. Djoko Mulyono pun tak mau ketinggalan merasakan gurihnya bisnis ikan olahan ini. Dalam sebulan, produsen bandeng tandu ini mampu meraup keuntungan rata-rata Rp8 juta per bulan dari dua ton bandeng segar yang diolahnya. “Saya yakin bandeng tandu akan disukai konsumen karena produk olahan lanjutannya sangat bervariasi,” tandasnya.
Hal ini senada dengan pendapat Achmad Poernomo, Direktur Pengolahan Hasil, Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil (P2HP), DKP, yang menyatakan, produk bandeng tanpa duri mendapat sambutan bagus dari masayarakat setelah beberapa waktu lalu diluncurkan DKP.
Hanya saja, Achmad mengingatkan pada industri pengolahan bandeng olahan, terutama industri kecil agar memenuhi standar mutu dan standar pangan yang ditetapkan pemerintah. Untuk itu, persyaratan sanitasi harus diterapkan oleh industri pengolahan ikan, dari skala rumah tangga hingga industri besar.
Enny Purbani T., Selamet Riyanto, Rommy A. Wastaman, Agus Triyono.
ANALISIS USAHA BANDENG TANPA DURI
(Kapasitas 1.500 kg/Bulan)
A
Bahan Baku dan Bahan Pembantu
Rp
Rp/Bulan
1. Bandeng segar
21.450.000
2. Es, plastik, listrik, dan air
7.020.000
Sub Total A
28.470.000
B
Biaya Tenaga Kerja
7.312.500
C
Biaya Investasi
(Mesin vakum, freezer, pisau, dll)
20.500.000
Alokasi beban investasi/bulan
341.667
D
Total Biaya Produksi (A+B+C)
36.124.167
E
Penjualan (1.500 kg x Rp30.000)
45.000.000
F
Keuntungan (E-D)
8.875.833
Sumber : Djoko Mulyono, Bandeng Tanpa Duri Al Fath, Indramayu, Jawa Barat
Catatan : a. Rasio kebutuhan bahan baku bandeng segar : 130%
b. Harga bandeng segar di pasar Rp11.000/kg
c. Masa pakai alat investasi 60 bulan
ANALISIS USAHA BUDIDAYA BANDENG SECARA MONOKULTUR
(LUAS AREAL 15 HEKTAR)
A | Biaya Produksi di Budidaya | Rp/15Ha | Rp/Ha |
1. Pakan (1.000 kg x 15 Ha x Rp3.000) | 45.000.000 | ||
2. Nener (5.000 ekor x 15 Ha x Rp50) | 3.750.000 | ||
3. Perbaikan dan pengolahan tambak | 4.500.000 | ||
4. Pemupukan dan pemberantasan hama | 9.000.000 | ||
5. Gaji pegawai dan biaya panen | 46.750.000 | ||
Subtotal A | 109.000.000 | 7.266.667 | |
B | Biaya pascapanen | ||
1. Es (15 blok x 0,75 balok x Rp11.000 x 15) | 1.856.250 | ||
2. Transpor, bongkar muat, dan tol | 5.850.000 | ||
3. Tenaga pengepakan | 3.150.000 | ||
Subtotal B | 10.856.250 | 723.750 | |
C | Total Biaya Produksi (A+B) | 119.856.250 | 7.990.417 |
D | Penjualan (15 x 100 kg x Rp10.000) | 150.000.000 | 10.000.000 |
E | Kentungan (D-C) / 7bulan | 30.143.750 | 2.009.583 |
F | Keuntungan/Bulan (E dibagi 7) | 4.306.250 | 287.083 |
Sumber : Ali Sodikin, petani bandeng di Desa Karangsong, Indramayu, Jabar
Catatan : a. Periode budidaya bandeng : 7 bulan
b. Harga bandeng segar di tingkat petani Rp10.000/kg