Eko Susanto Limantoro
Bertahan dengan Bandeng Asap
Sejak pertama kali membuka toko oleh-oleh makanan khas Sidoarjo pada 1973, Toko Majapahit milik Eko Susanto Limantoro tak pernah sepi dikunjungi tamu yang ingin membeli oleh-oleh berupa bandeng asap. “Meskipun tidak seramai dulu, tapi lumayan, ada saja pembeli yang datang ke sini,” kata Eko.
Pembeli itu umumnya berasal dari luar kota. Bahkan ada yang sengaja datang memesan bandeng asap buatan tangannya sendiri untuk dibawa ke luar negeri, seperti Hongkong, Singapura, Malaysia, dan beberapa negara Eropa.
Pada masa-masa keemasannya, Eko bisa menghabiskan lebih dari 100 ekor bandeng per hari. Kini, dengan semakin banyaknya persaingan dagang dari komoditas sejenis, Pak Eko, sapaan akrabnya, hanya bisa menghabiskan 30 ekor bandeng per hari atau setara 35—40 kg bandeng. Jumlah tersebut tidak termasuk jika ada pesanan bandeng asap untuk pesta yang rata-rata mencapai 100—800 ekor per pesanan.
Eko mengaku hanya mengandalkan kejujuran agar tetap bertahan sebagai salah satu pengusaha bandeng asap di Sidoarjo. “Jadi bondo jujur itu yang penting, sehingga pembeli nggak kecewa, mutu harus dijaga selalu baik atau baru. Tidak apa-apa banyak toko yang lebih besar. Kalau saya percaya barang saya itu bagus, pembeli pasti akan kembali,” jelasnya dengan logat Jawa Timuran.
Selain itu, agar pelanggannya tidak lari, Eko menjual seekor bandeng asap ukuran 600—800 gram pada kisaran harga stabil, Rp15.000—Rp25.000 komplet dengan sambalnya. Rentang harga tersebut sudah termasuk biaya untuk menutup gejolak harga bahan baku bandeng. “Biasanya pembeli akan senang dengan harga murah, bandeng besar, dan bermutu. Tapi kalau saya menjual bandeng dengan mengikuti naik-turunnya harga bahan baku, bisa-bisa pelanggan kecewa,” dalihnya.
Bahkan beberapa pelanggannya yang memesan bandeng asap buatannya tidak mau berpindah ke lain orang. Alasannya sederhana, Eko tidak pernah membatasi jumlah pesanan. Meski kapasitas oven yang digunakannya untuk mengasapi bandeng hanya mampu menampung 100 ekor bandeng. “Jangan pernah menolak rejeki dari Yang Maha Kuasa, ada yang pesan satu ekor bandeng pun akan saya layani,” katanya.
Indah Retno Palupi (Surabaya)
Tasari
Delapan Ratus Ribu Per Dua Hari
Sejak meninggalkan kota Pekalongan menuju Jakarta untuk mengubah nasib, hanya ada satu tekad di benak Tasari, yaitu membawa uang banyak untuk anak istrinya. Berbagai usaha dilakoninya selama merantau. Mulai dari menjadi pedagang bakso, mi ayam hingga penjual ayam potong. Namun tak satu pun usahanya itu berhasil sesuai harapan.
Kemudian, ayah satu anak ini pun banting setir menjadi pedagang bandeng presto keliling. Hasilnya pun lumayan dibandingkan sebelumnya. Bandeng presto buatannya tersebut digemari ibu-ibu di kompleks perumahan sekitar tempat tinggalnya. “Saya pasarkan di sekitar Pamulang dan Depok. Terus, saya coba ke daerah Cinere dan Tangerang ternyata di sana banyak juga yang suka,” terangnya.
Awalnya, Tasari hanya bisa memasarkan sekitar 50—100 ekor bandeng presto per dua hari. Usahanya yang dibangun sejak 1994 ini pun berkembang pesat. Bahkan dirinya kewalahan memenuhi permintaan yang semakin banyak.
Karena itu, Tasari mengajak sanak keluarganya untuk membantu memasarkan bandeng presto yang kini mencapai 1.200 ekor per dua hari, setara dengan 150 kg bandeng mentah.
Dalam menjalankan roda usahanya seringkali Tasari terkendala dengan pasokan bahan baku bandeng segar. Namun bukan Tasari jika tidak bisa menghadapi kendala tersebut. “Biasanya, saya mencari ke petambak di Rengasdengklok jika bandeng di Muara Baru tidak ada,” papar Ketua Paguyuban Perantau Bandar Baru ini.
Harga bahan baku ini dipatok Rp10.000 per kilo, berisi 8—9 ekor. Setelah diolah, bandeng presto tersebut dijual kepada anak buahnya seharga Rp 2.000 per ekor. Dengan biaya produksi Rp1,6 juta, Tasari mampu meraih keuntungan bersih Rp800 ribu per dua hari.
Selamet Riyanto
Sukmaryani
Hidupi Keluarga dengan Sate Bandeng
Bagi Sukmaryani, pembuatan sate bandeng adalah hal yang lazim dilakukan keluarganya pada saat perayaan-perayaan tertentu. ”Keahlian membuat sate bandeng ini diperoleh secara turun menurun dari orang tua saya,” aku ibu tiga anak ini.
Ia memulai usaha pembuatan sate bandeng sejak lima tahun lalu, tatkala sang suami tercinta diberhentikan dari tempatnya bekerja. Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya tersebut, mereka melakukan berbagai usaha, tetapi sayang selalu saja menemui jalan buntu.
Hal itulah yang membuatnya memutar otak. Ia pun lalu memilih sate bandeng sebagai usaha alternatif. Usaha keluarga ini awalnya hanya untuk memenuhi kebutuhan pesanan. Lewat promosi yang dilakukan suaminya di lingkungan kerjanya dulu dan lingkungan keluarganya, secara perlahan pesanan sate bandeng mengalir dan berkembang.
Mula-mula Sukmaryani rutin menerima pesanan 30 tusuk sate bandeng per hari. Kini ia mampu menjual 300 tusuk per hari yang dipasarkannya di 14 kios oleh-oleh di seputaran Serang dan Cilegon, Banten.
Selain itu pula, sate bandeng produksinya mulai memasok pasar swalayan di sekitar Serang dan salah satu pasar swalayan di Jakarta setiap minggu. Bahkan sate bandeng tersebut telah merambah Hotel Marbella dan The Banten, pantai Anyer. Sate bandeng Sukmaryani juga menjadi salah satu sajian khas provinsi paling barat di Pulau Jawa ini.
Untuk memenuhi kebutuhan pesanan yang terus meningkat, Sukmaryani butuh 600 kg bandeng segar. Dari usahanya ini omzet per hari yang diterimanya berkisar Rp15 juta. ”Alhamdulillah keluarga kami dapat memenuhi kebutuhan hidup serta menyekolahkan anak sampai tingkat perguruan tinggi dari sate bandeng ini,” ujarnya.
Rommy A. Wastaman (Kontributor)