Jakarta – Menteri Pertanian Anton Apriyantono memutuskan membuka keran impor bubur daging atau mechanically deboned meal/ MDM. Kebijakan baru impor MDM yang diputuskan 13 Austus 2007 ini tidak saja berlaku untuk bubur daging asal unggas, tetapi juga asal ruminansia besar, seperti sapi.
Keputusan dibukannya impor MDM tertuang dalam keputusan Menteri Pertanian (Kepmentan) Nomer 61 tahun 2007, yang merupakan perubahan Peraturan Mentan No. 64/2006 Jo Permentan No 27/2007 tentang pemasukan dan Pengawasan Peredaran Karkas, Daging dan Jeroan dari Luar Negeri.
Dalam Kepmentan disebutkan yang dimaksud MDM adalah jenis daging tanpa tulang yang diperoleh dengan cara memisahkan daging ruminansia besar dan ungga yang tersisa dari tulang. Orang kerap menyebut sisa daging pada tulang dengan istilah tetelan.
MDM yang diperdagangkan itu diproses menggunakan cara mekanis. Di Indoensia, MDM digunakan sebagai bahan baku makanan olahan, seperti sosis dan nuget.
Menurut Sekertaris Jenderal Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) Fenni Firman Gunadi, dilihat dari volumenya, impor MDM tergolong kecil atau 30-50 ton per bulan. “Tetapi impor MDM ini bagaikan mata bor, ujungnya kecil tetapi selanjutnya akan merusak industri perunggasan nasional,” kata Fenni, Minggu (2/9) di Jakarta.
Dengan masuknya MDM, akan ada peluang penetrasi pasar masuknya paha dan sayap ayam (chicken leg quarter/CLQ) asal Amerika Serikat ke Indonesia. “Kalau itu terjadi, siap-siap saja peternak kita terpuruk,” katanya.
Ketua Umum Pusat Informasi Pasar (Pinsar) Unggas Nasional Hartono mengungkapkan, para pengusaha dan peternak unggas sudah mengingatkan Mentan terkait resiko memasukan MDM. Namun, Mentan bergeming dan tetap memaksakan kebijakannya, meski akan berdampak buruk bagi peternak unggas di desa-desa.
Lokomotif Ekonomi
Hartono mengatakan, peranan unggas amat penting bagi lokomotif perekonomiam nasional mualai dari desa sampai ke kota. Jika lokomotif ini terganggu, roda perekonomian nasional juga akan terganggu. “Masuknya MDM yang disusul dengan CLQ memukul warga desa mulai petani jagung, padi hingga peternak sehingga akan merusak ekonomi pedesaan,” katanya.
Kekhawatiran ini muncul karena harga paha dan sayap ayam asal AS bisa dijual 30-50 sen dollar AS (sekitar Rp 2.500 hingga Rp 4.500 per kilogram). Dengan pilihan konsumen Indonesia yang tidak membedakan paha, sayap, dan dada ayam, bisa memukul produsen lokal karena harga daging ayam di dalam negeri di atas Rp. 7.000 per kilogram.
Fenni menjelaskan, biaya produksi ayam di Indonesia sebenanrnya lebih murah daripada AS. Hanya konsumen di AS lebih menyukai daging ayam bagian dada yang mereka sebut sebagai daging putih. Paha ayam yang dikategorikan sebagai daging merah sehingga tidak disukai karena itu harganya murah.
Sumber : Surat Kabar Harian Kompas