Selasa, 21 Agustus 2007

Saatnya Bangkitkan Revolusi Putih

Tren tingginya harga susu belakangan ini diprediksi bakal berlangsung lama sampai dua tahun mendatang.

 

Bisnis persusuan di dalam negeri sekarang ibarat kepingan mata uang. Bila harga susu di tingkat konsumen naik, konsumen marah tapi peternak tersenyum. Sebaliknya kalau harga beli susu segar dari peternak murah, konsumen senang, tapi peternak sedih. Semestinya hal ini dapat diatur agar kedua pihak sama-sama tidak terbebani.

Selama ini, profil konsumsi susu di Indonesia menunjukkan bahwa susu putih cair segar hanya memberikan kontribusi sebesar 17,9% dari total konsumsi susu putih. Sementara 81% lainnya merupakan konsumsi susu putih bubuk. Padahal, selama ini Industri Pengolahan Susu (IPS) masih sangat tergantung dengan bahan baku dari impor yang mencapai 70%.

Menurut Dedi Setiadi, Ketua Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang-Jabar, dalam 12 tahun terakhir perkembangan produksi susu nasional stagnan. Kebutuhan berjumlah 4,5 juta ton per tahun, sedangkan produksi baru mencapai 1—1,5 juta ton per tahun. “Artinya, pasokan untuk kebutuhan dalam negeri sangat kurang,” jelasnya.

Begitu ada kenaikan harga susu impor dari US$2.000 menjadi US$4.500 per ton, melonjaklah harga di tingkat konsumen sehingga ibu-ibu kelabakan, khususnya yang punya balita. Melambungnya susu impor antara lain terjadi akibat pemanasan global, kenaikan harga pakan ternak, dan pengurangan subsidi kepada petani di luar negeri.

M. Marpaung, pemerhati persusuan di dalam negeri mengatakan, kenaikan berkisar antara 5—15%, diprediksi sampai akhir tahun masih akan terus berlangsung. Kenaikan ini disebabkan harga bahan baku di luar negeri meningkat lebih dari 100%. “Kenaikan ini serta merta akan menaikkan harga susu dalam negeri karena jumlah impor untuk kebutuhan dalam negeri sudah sangat besar, dan sebagian besar dari Australia dan Selandia Baru yang menguras devisa kita,” terangnya.

Menanggapi paniknya konsumen, tampaknya mereka perlu mendengarkan saran dari Asosiasi Peternak Sapi Perah Indonesia (APSPI). Dalam pertemuan di Solo, 13 Juli lalu, APSPI mengimbau masyarakat untuk tidak panik dengan kenaikan harga susu pabrikan. Sebab, yang harganya naik adalah susu formula yang diperuntukkan bagi bayi dan anak-anak. Karena itu, berilah mereka susu yang harganya terjangkau seperti susu pasteurisasi, susu UHT, atau susu murni dari sapi.

Berdasarkan Data Ditjen Peternakan 2005 populasi sapi perah di Indonesia mencapai 361.300 ekor dan produksi susu 536 ribu ton dengan produktivitas rata-rata 8—9 liter/ekor/hari. Meningkat sedikit pada 2006 menjadi 382 ribu ekor, sedangkan  konsumsi susu sebanyak 3,03 juta ton pada 2005 dan meningkat menjadi 3,07 juta ton tahun silam.

 

Perlu Terobosan

Kondisi ini, menurut Nurendro Trikesowo, Ketua Umum Perhimpunan  Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) membuktikan peternakan sapi perah kita selama ini stagnan. Tidak ada terobosan untuk peningkatan produksi sehingga pasokan susu tidak mampu mengimbangi permintaan yang meningkat oleh konsumen. Namun, fenomena peningkatan ini kurang mendapatkan perhatian pemerintah. Peningkatan ini sendiri berawal dari pertumbuhan jumlah penduduk, pendidikan, gaya hidup, kesadaran masyarakat, dan membaiknya pendapatan masyarakat.

Diakui, Yoyok Sunaryo, Ketua Umum Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI), perkembangan peternakan sapi perah memang stagnan. Secara kualitas peternak sudah mampu menghasilkan susu yang bagus, tapi secara kuantitas memang masih sangat rendah. “Masih jauh di bawah negara yang lebih maju mencapai 25—30 liter/hari,” ungkapnya di Pasirsalam, Sukabumi.

Dikisahkan M. Marpaung, pada 1960, impor susu untuk kebutuhan dalam negeri masih sekitar 30%, tapi selama 40 tahun ini berkembang terbalik hingga melebihi 70%. “Kita sudah terperangkap pada impor susu dan ini sulit untuk dilepaskan tanpa adanya gerakan besar yang berarti,” ucapnya prihatin.

Hal tersebut ditangkap pemerintah sebagai momentum pengembangan peternakan sapi perah. Fauzi Luthan, Direktur Budidaya Ternak Ruminansia, Ditjen Peternakan, menyatakan, pemerintah akan mendorong pengembangan sapi perah dengan memberikan insentif kepada peternak sehingga tren harga yang bagus ini dapat terjaga.

Faizal N. Wirasasmita, Manager Milk Treatment, Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan-Jabar, mengungkap, harga saat ini telah meningkatkan animo peternak sehingga mereka beternak lebih baik, “Selama ini secara teknis peternak sudah menguasai, sudah bisa menghasilkan kualitas yang bagus, tapi memang selama ini di harga saja,“ komentarnya.

 

Nikmati Harga Bagus

Naiknya harga susu olahan di dalam negeri saat ini membuat peternak sapi perah tersenyum. Soalnya, selama 2000—2005, harga susu segar di tingkat peternak sapi perah hanya Rp1.500—Rp2.000 per liter. Bandingkan dengan harga pokoknya yang Rp1.500—Rp1.700 per liter. Boleh dikatakan, keuntungan yang dipetik petani sapi perah relatif tipis, bahkan nihil.

Dedi, yang juga Ketua GKSI Jabar menyatakan, saat ini peternak sedang merasakan angin segar dari dampak kenaikan tersebut. Harga susu merangkak naik sampai Rp2.500—Rp2.800 per liter. Bahkan, jika ditambah bonus dari kualitas susu yang dihasilkan, peternak dapat menikmati harga Rp3.000 per liter. “Peternak sapi perah sedang merasakan harga yang sangat menguntungkan,” ujarnya.

Sementara itu, Tatang Kurnia, peternak anggota KPSBU Lembang, membenarkan saat harga susu memang melonjak tajam. Harga di tingkat peternak sudah mencapai Rp.2.685 per liter, padahal saat dirinya mulai beternak harga susu masih di kisaran Rp.2000—Rp2.300/liter. Bahkan dua tiga tahun sebelumnya Rp1.500—Rp.2.000.

Hal senada diutarakan Ayi Rahmat, peternak anggota KPBSU Lembang lainnya. Harga bergerak naik dari tahun lalu yang Rp2.000—Rp2.200. Uu Suwarna, peternak di KPBS Pangalengan-Jabar, pun menikmati harga Rp2.250/liter di kandang. Jika ditambah bonus, ia mengantongi Rp2.900—Rp3.000 seliter. “Bonus ini keberhasilkan peternak, berdasarkan kualitas susu yang dihasilkan, TPC (total kuman) di bawah 1 juta dan TS (total padatan) mencapai 12%,” jelas Uu yang mampu menembus TPC 250 ribu dan TS mencapai 12%.

 

Dukung Pembiayaan

Selain soal harga yang masih rendah, peternak juga dihadapkan kendala lain, seperti terbatasnya pasokan bibit sapi perah unggul, lahan untuk tanaman rumput sebagai sumber bahan baku pakan, serta permodalan peternak. Selama ini rata-rata peternak hanya memiliki 3—5 ekor, padahal idealnya 5—10 ekor agar mampu mendapatkan keuntungan dalam usaha ini.

Menurut H. Masgnut Imam Santoso, Ketua Umum  Asosiasi Peternak Sapi Perah Indonesia (APSPI), hal ini bisa diatasi dengan mengimpor bibit sapi impor. Harganya rata-rata Rp15 juta—Rp16 juta per ekor. Tapi, untuk bibit yang bagus harganya bisa sampai Rp18 juta dengan umur bibit 6 bulan dalam kondisi bunting.

Meski demikian, APSPI menganjurkan peternak untuk mengembangkan bibit peranakan sendiri karena bibit sapi impor pun masih punya kendala untuk beradaptasi di lingkungan tropis Indonesia. “Hal ini sangat berpengaruh pada proses laktasi. Paling tidak satu ekor sapi bisa menghasilkan susu sebanyak 17 liter,” ungkap Masgnut.

Melihat ini, Anton Apriyantono, Menteri Pertanian di Lembang, mengatakan, pemerintah akan memberikan kebijakan khusus bagi industri pembibitan sapi baik potong maupun perah. Diharapkan pada lima tahun mendatang pasokannya dapat mencukupi kebutuhan dalam negeri.

Selama ini nyaris tidak ada perusahaan yang tertarik untuk berinvestasi membangun industri pembibitan karena perputaran modalnya lama. Rendahnya minat investor juga lantaran suku bunga bank yang masih tinggi, berkisar 14—16%. Padahal berdasarkan hitung para pelaku, suku bunga yang pas untuk pengembangan pembibitan sapi adalah 5% per tahun.

Dijelaskan Fauzi Luthan, pemerintah akan mendorong permodalan melalui Kredit Ketahanan Pangan (KKP) yang bunganya sudah turun dari 12% menjadi 10% per tahun. Lalu, ada Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian (SP3) dengan subsidi bunga 2--3% per tahun. Selain itu, Deptan sedang berusaha mengajukan ke Menteri Keuangan agar ada kemudahan untuk pembibitan sapi dengan bunga yang rendah sekitar 6% per tahun.

Kalau semua upaya itu berjalan baik, “revolusi putih” ala Indonesia yang akan mendongkrak produksi susu lokal diharapkan dapat bergulir.

 

Yan Suhendar, Dadang WI, Selamet Riyanto.

 

 

Perkembangan Harga Susu Segar di Tingkat Peternak, Tahun 2007

Bulan Harga Standar Keterangan
Januari   Rp2.250 B1 + B2           B1= TS 12%,  TPC (<250 ribu)
Februari Rp2.250                       B1 + B2                  B2= TS 11 %,TPC (<500 ribu) 
Maret  Rp2.250                      B1 + B2          
April  Rp2.265                      B1 + B2                 
Mei Rp2.265                      B1 + B2
Juni Rp2.800                      B1 + B2
Juli  Rp2.950                      B1 + B2
Agustus Rp2.950                      B1 + B2

  

Keterangan :

Tatang Kurnia, Peternak KPBSU-Lembang, Jabar.

 

Perkembangan Harga Susu Segar di Industri Pengolahan Susu (IPS) Tahun 2007

Bulan                    Harga Standar        Keterangan

Januari  

Rp3.000                     

 B1                   

TPC Great 1 (<250ribu),TS 12% keatas

Februari 

Rp3.050                     

 B1                   

 

Maret

Rp3.050                     

 B1                   

 

April 

Rp3.100                     

 B1                   

 

Mei 

 Rp3.150                     

 B1                   

 

Juni

Rp3.450                     

 B1                   

 

Juli

Rp3.450                     

 B1                   

 

Agustus 

Rp3.450                     

 B1                   

                     

Sumber : KPSBU Lembang,Jawa Barat.

 

 

 

Tembus ke Mancanegara

Agribisnis persusuan nasional secara umum memang masih menghadapi berbagai kendala. Namun bukan mustahil susu sapi made in Indonesia berkiprah di luar negeri.

Dengan bekal kualitas melampaui standar yang ditentukan, melakukan upaya pemasaran yang gencar, serta berkomitmen tinggi untuk melayani pelanggan, bisa juga produk pangan Indonesia ini  bersaing di pasar internasional. 

Buktinya, sejak 2003, Greendfields Indonesia mampu mendobrak pasar Singapura. Yang membanggakan, Grendfields sudah masuk dalam jajaran lima besar pemain susu cair di sana. Produk anak negeri ini bersaing dengan produk buatan Australia dan negara lainnya. 

Produk Greendfields yang saat ini dipasarkan di Negeri Singa berupa Fresh Milk (pasteurisasi) dan susu UHT (Ultra High Temperature), masing-masing terdiri dari empat varian (full cream, low fat, skim, choco malt), dan whipping cream.  Produk tersebut antara lain dijajakan  di Carrefour, Giant, NTUC, Isetan at Scotts, dan melayani seluruh jaringan Starbuck. Selain itu, produk Greenfields ini digunakan oleh katering penerbangan Singapore Airlines (SQ), kafe, dan hotel bergengsi.

Memanfaatkan Singapura sebagai pintu gerbang pasar internasional, Greenfields kemudian merambah ke negara lain. Patrick Lim, General Manager JAPFA Food Distributors PTE Ltd, menyebutkan, Greendfields telah berhasil masuk ke  pasar Hongkong. Bahkan, awal September nanti akan masuk ke  seluruh jaringan Starbuck Hongkong, dan menyusul Malaysia pada 1 Oktober tahun ini. “Melihat  pasar internasional yang besar, Greendfields  bertekad semakin melebarkan sayapnya ke mancanegara,” tandas Lim.

(fnp)

 

Tabel Konsumsi Susu Per kapita (liter/tahun)

Negara

2004

2005

2006

India

43.7

44.2

44.9

Indonesia

5.8

6.8

7.7

Malaysia

25.3

25

25

Singapura

19.9

20.3

20.8

Filipina

11.7

11.3

11

Thailand

23.6

24.9

25.1

Vietnam

6.4

7.6

8.5

China

8.5

10.9

13.2

Sumber : Internal Tetra-pack, 2007

 

 

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain