Industri Pengolahan Susu (IPS) kini harus pintar-pintar ambil langkah bila tak ingin ditinggal konsumen dan pemasok susu segar.
Sampai saat ini susu bubuk impor masih mendominasi hingga 70% terhadap kebutuhan susu nasional. Sisanya dipasok peternakan sapi perah dalam negeri. Karena itu lonjakan harga susu impor hingga US$200 per ton memberatkan Industri Pengolahan Susu (IPS) yang beroperasi di dalam negeri.
Efisiensi
Agar tidak terlalu menggoncang kantong konsumen, IPS dituntut memperkecil dampak kenaikan harga susu di pasaran dunia itu. Nestlé Indonesia memilih cara terus meningkatkan efisiensi operasional perusahaan dan mengontrol ketat semua biaya tanpa mengorbankan kualitas produk yang dipasarkan. Menurut Brata T. Hardjosubroto, Head of Public Relations Nestlé Indonesia, melalui jawaban tertulisnya mengatakan, pada semester pertama 2007, dari Januari hingga Juni, pihaknya menaikkan harga jual produk-produk berbasis susu hanya 4—10%. Ini ditempuh walaupun kenyataannya ongkos bahan bakunya telah naik jauh lebih tinggi dari itu. “Nestle Indonesia akan terus berupaya agar keputusan-keputusannya sekecil-mungkin mempengaruhi pengeluaran konsumen,” ujarnya.
Efisiensi juga dijalankan PT Frisian Flag Indonesia (FFI). “Kami tidak mungkin menaikkan harga jual 100% seperti kenaikan harga bahan baku. Kenaikan tentu akan bertahap, paling tinggi kami hanya menaikan 3—5%. Jika terlalu tinggi, tidak akan terserap oleh masyarakat. Hingga akhir tahun target kami kenaikan hanya 10—15% saja,” papar Hendro H. Poedjono, Human Resources & Corporate Affairs Director Frisian Flag Indonesia kepada AGRINA di kantornya. Kecuali itu, lanjut dia, FFI juga melakukan efisiensi dan mencari alternatif sarana produksi lebih diotomatiskan sehingga mengurangi ongkos produksi.
Dalam kondisi pasokan yang seret, Hendro mengkhawatirkan terjadinya rebutan dalam pembelian susu segar dalam negeri di antara IPS karena selisih harga susu domestik dan impor cukup jauh. FFI misalnya, menyerap susu lokal sebanyak 350 ton per hari dengan harga berkisar Rp3.400—Rp3.500 per liter. Sementara susu bubuk impor dibelinya seharga US$4.800 per ton.
Kesenjangan tersebut, menurut Hendro, dapat merusak kualitas susu yang terserap dan harga. Pasalnya, kualitas seperti apapun akan diterima semua IPS sehingga menganggu produsen yang konsisten meningkatkan kualitas susunya. Karena itu pihaknya, juga IPS lain, menjalankan kemitraan dengan peternak untuk mengamankan pasokan bahan baku susu segar melalui berbagai mekanisme.
Bangun Peternakan Domestik
Meski IPS telah berupaya menekan dampak kenaikan susu impor, Asosiasi Peternak Sapi Perah Indonesia (APSPI) tetap berharap IPS tidak mengerek lebih tinggi lagi harga susu olahannya dengan cara mengurangi keuntungannya.
H. Masngut Imam Santosa, Ketua Umum APSPI, berpendapat, sebenarnya harga susu impor sudah mahal sekali. Jadi, semestinya IPS menerima susu segar peternak dengan selisih 10—20% di bawah harga susu impor. Bukan seperti sekarang, harga susu diterima peternak kurang lebih Rp3.000 per liter. Sementara harga susu impor sekitar Rp5.000 per kilo. Jadi, selisihnya 60%.
Sementara itu, terkait dengan bea impor, Masngut mengusulkan tetap diberlakukan atau malah dinaikkan. Bea itu nantinya digunakan untuk membangun peternakan sapi perah di dalam negeri karena sejauh ini baru PT Greenfields Indonesia, perusahaan susu yang memiliki sapi perah sendiri. Selain itu juga untuk membangun daya saing peternak dalam negeri.
Yan Suhendar, Ike Dian Puspita