Pasar belut (Monopterus albus) masih terbuka lebar.
Ruslan Roy, pemilik PT Daya Petani Indonesia (Dapetin) Jakarta, mengungkap, permintaan belut hidup di Asia mencapai 60 ton per hari, sedangkan dalam bentuk beku sebanyak 2—3 ton per hari. Ia juga mengaku mendapat permintaan belut asap dari Uni Eropa 2—4 ton per hari.
Sementara di pasar lokal, wilayah Jabotabek saja butuh sekitar 3—4 ton, Padang 4 ton, Manado 2,3 ton, Surabaya dan Yogyakarta masing-masing 1,5 ton per hari. Sementara pasar Solo dan Sukabumi masing-masing perlu satu ton per hari.
Terima Semua Ukuran
Tiap tujuan pasar menuntut standar ukuran tersendiri. Jepang misalnya, menghendaki belut berukuran 1—3 ekor per kg, Hongkong 10 ekor per kg, Korea 4—6 ekor per kg, dan China 20—30 ekor per kg. Namun, akibat cekaknya pasokan, belut ukuran berapa pun diterima eksportir. “Semua ukuran diterima, asalkan hidup dan tidak cacat,” tegas Roy yang mengaku baru bisa memasok 7—8% dari permintaan.
Meskipun bersaing ketat dengan belut Taiwan, menurut Roy, belut asal Indonesia lebih disukai karena lebih gurih dan kandungan proteinnya lebih tinggi. Sayangnya, produksi belut nasional, baik belut sawah maupun rawa, masih sangat rendah. Pada musim penghujan produksi mencapai 10—12 ton per hari, tapi saat kemarau cuma 2—3 ton per hari. Sebanyak 15% merupakan belut hasil budidaya dan sisanya tangkapan dari alam.
Untuk itu, PT Dapetin menggandeng para pembudidaya belut dalam wadah kemitraan. Perusahaan menyediakan benih dan melayani konsultasi serta menampung hasil produksi. Roy menetapkan harga pembelian belut dari petani mitra sekitar Rp10.000— Rp15.000 per kg, tergantung jumlah pasokan. Sedangkan PT Dapetin menjual benih ke petani mitra seharga Rp27.000 per kg. “Dari satu kilo benih, dapat dipanen 10—12 kg belut,” lanjutnya.
Ia tidak khawatir akan terjadi kelebihan produksi karena jumlah benih belut relatif terbatas. Ikan yang bersifat hermaprodit (berkelamin ganda) ini hanya sekali bertelur selama hidupnya. Menurut pengalaman Roy, jumlah telurnya yang mencapai seribu butir per induk tetapi daya tetasnya hanya sekitar 45%.
Pentingnya Media Belut
Berbeda dengan jenis ikan lain yang pakannya sudah tersedia dalam bentuk jadi, pakan belut harus dibuat sendiri oleh petani. Selain itu, ikan karnivora ini juga membutuhkan pakan segar dalam ransum hariannya. Belut dewasa makan larva serangga, benih ikan, cacing, keong mas, zooplankton, udang renik, dan binatang air berukuran kecil.
Penggunaan pakan alami membuka peluang bagi pembudidaya menekan biaya pembelian pakan. Kalau biaya produksi pakan sebesar Rp2.500 per kg, usaha budidaya belut masih menguntungkan. Selain sebagai lumbung pakan, media tempat hidup belut juga berfungsi sebagai rumahnya sehingga kondisinya harus benar-benar sesuai dengan habitat ikan lumpur ini.
Titik lemah budidaya belut biasanya pada saat menentukan kematangan media. Kalau sampai salah, benih belut yang ditebar muncul ke permukaan dan mati karena tingginya suhu dan derajat keasaman (pH) di dalam media yang belum sesuai. Media belut dibuat dari campuran jerami, cacahan batang pisang, dedak, pupuk kandang, dan sekam. Semua bahan selanjutnya difermentasi dengan probiotik yang ditambah molases dan air.
Pembuatan media hidup belut membutuhkan ketrampilan dan pengalaman tersendiri. Itulah sebabnya Roy menganjurkan pembudidaya tidak terburu nafsu membuka peternakan belut dengan skala besar sebelum mampu menguasai teknik pembuatan media belut dengan baik.
Kolam Tembok atau Jaring
Belut dapat dibudidayakan di kolam tembok, jaring, di dalam drum, tong plastik, bahkan terpal. Usaha pembesaran belut membutuhkan waktu sekitar 4—5 bulan dari benih yang berumur 2—4 bulan.
Biaya pembuatan satu unit kolam pembesaran yang terdiri dari 10 bak tembok berukuran 5 x 5 x1 m3 mencapai Rp16 juta. Kolam yang dapat dimanfaatkan hingga beberapa tahun ini dapat menampung 400 kg benih.
Pakan yang dibutuhkan sekitar 4.740 kg, berupa cacing, ikan, pellet, dan 10 botol probiotik. Jika ditambah biaya pembuatan media, maka biaya produksi keseluruhan, termasuk investasi kolam adalah Rp41,185 juta. Dengan hasil panen 4 ton belut dan harga jual Rp15.000 per kg, keuntungan yang diperoleh sekitar Rp18 juta per siklus. Siklus kedua, yang tidak lagi menanggung biaya investasi kolam, memberi keuntungan sekitar Rp35,34 juta.
Kalau menggunakan 10 kolam jaring, biaya investasinya sekitar Rp5,125 juta, biaya benih (400 kg), pakan, dan pembuatan media sebesar Rp24,66 juta. Jadi, biaya produksi belut untuk kolam sebanyak itu mencapai Rp29,785 juta. Apabila total produksinya 4 ton dan harga jual Rp15.000 per kg, pembudidaya bisa memperoleh keuntungan Rp30,2 juta.
Faiz Faza (Yogyakarta)