Selasa, 24 Juli 2007

Mendongkrak Gairah Bisnis Udang di Lombok

Bertempat di rumah makan Carpio, Aikmel, Lombok Timur, (24/7), seminar bertajuk “Manajemen Budidaya Udang Menuju Keberhasilan yang Berkelanjutan” diikuti praktisi tambak di Lombok. Acara dilanjutkan kunjungan ke tambak Herman Wibisono (25/7) dan seminar dengan topik yang sama (26/7) di Hotel Cendrawasih, Sumbawa. Seminar bertujuan memberi kontribusi pada dunia perudangan di Indonesia sehingga bisnis ini di Lombok dan Sumbawa bergairah kembali.

                                                                                   

Biosekuriti dan Penyebaran Penyakit

Seminar hari kedua menampilkan pakar udang Balai Besar Budidaya Air Payau (BBPAP) Jepara, Dr. Coco Kokarkin yang menyampaikan materi Good Aquaculture Practices (GAP), biosekuriti, dan budidaya udang petambak di Australia. Menurutnya, GAP dan biosekuriti merupakan hal serius yang sebaiknya ditaati petambak. Ia menekankan pentingnya biosekuriti di seluruh mata rantai bisnis udang.

Biosekuriti di tambak terbagi dalam tiga intensitas: daerah SPF (Specific Pathogen Free) pada unit produksi reagen laboratorium serta vaksin; daerah bebas dari bahan hidup, segar, atau awetan terkontaminasi penyakit tertentu pada pusat breeding utama dan panti induk (broodstock centre); Dan daerah bebas dari hewan berpenyakit pada tambak komersial dan produksi tokolan (postlarva).

Praktisi tambak diharapkan memahami pola penyebaran penyakit dan mengevaluasi pendapat yang selama ini diyakini. Pertama, udang tahan penyakit (SPR) atau toleran  specific pathogen tolerant (SPT) adalah sejumlah kecil udang yang bertahan hidup dan  digunakan sebagai induk. Secara biologis, konsep ini benar tapi dari sudut  epidemologi salah karena udang ini tetap bisa membawa virus atau setara dengan carrier.

Kedua, benih udang yang pernah kena penyakit lebih tahan terhadap penyakit tersebut. Pendapat ini juga salah karena tubuh udang tidak mempunyai sistem daya ingat penyakit sehingga bisa diserang penyakit yang sama berkali-kali.

Dan yang ketiga, tidak ada antibiotik yang mampu memberantas bakteri secara total. Selalu ada sedikit bakteri yang hidup kemudian bermutasi dan lebih tahan terhadap antibiotika tersebut.

 

Waspadai Fenomena MPP

Pada hari yang sama, H. Hardi Pitoyo, Ketua Shrimp Club Indonesia (SCI) Banyuwangi, menyampaikan berbagai pemecahan masalah penyakit udang. Menurutnya, persoalan yang sering terjadi di tambak disebabkan turunnya kualitas lingkungan, jumlah dan jenis penyakit yang makin meningkat, serta kian ketatnya standar mutu dari negara tujuan.

Petambak kawakan itu juga mengungkapkan belum ada obat ampuh untuk mengobati penyakit udang. Ia lebih menekankan pentingnya pencegahan dan perbaikan sistem produksi yang meliputi penerapan konsep sistem budidaya yang sesuai kondisi wilayah, peningkatan kemampuan SDM, dan perbaikan sarana pendukung produksi.

Masih menurut Hardi Pitoyo, terdapat dua konsep sistem budidaya udang yaitu, sistem banyak ganti air (opened system) di daerah yang bagus perairannya dan sistem sedikit ganti air (less water exchanged) di daerah yang perairannya kurang baik atau sering terkena penyakit.

Fenomena yang menarik dan perlu diwaspadai adalah MPP alias mati pelan pelan akibat virus Infectious Myo Necrosis Virus atau lebih dikenal dengan istilah myo. MPP menyerang udang umur dua bulan dengan indikasi stagnasi konsumsi pakan dan  terdapatnya bercak merah di ujung ekor udang yang ganti kulit (moulting). Petambak sebaiknya segera mengevaluasi program pemberian pakannya agar konversi pakan (FCR) tidak membengkak. Komunikasi antarpetambak juga tak kalah penting sebagai sarana berbagi pengalaman dan diskusi tentang teknik budidaya udang.

 

Ir. H. Arianto, Praktisi

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain