Selasa, 24 Juli 2007

Jalan Panjang Sepotong Puding

Dari pengimpor tepung agar-agar, PT Agarindo Bogatama kini mampu memproduksi sedikitnya 1.000 ton tepung asal rumput laut jenis Glacillaria sp. per tahun.

Siapa yang tak suka puding? Makanan pencuci mulut ini jadi favorit hampir seluruh anggota keluarga karena citarasanya yang khas, lembut, dan manis. Tapi, tahukah Anda sebelum 1991, tepung agar-agar yang merupakan bahan dasar pembuatan puding diimpor dari Jepang? Saat itu, rumput laut jenis Glacillaria sp., bahan baku pembuatan tepung agar-agar, belum banyak ditanam. Selain itu, teknologi pembuatan tepung agar-agar secara industrial juga belum dikuasai orang Indonesia.

 

Butuh 25—30 Ribu Ton

Untuk itulah PT Agarindo Bogatama (PT AB) kemudian menggandeng Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dalam memetakan potensi rumput laut di Indonesia. “Kita punya sekitar 30 spesies Glacillaria sp. kemudian dipilih yang terbaik untuk dibudidayakan,” ujar Prof. Jana T. Anggadireja, peneliti BPPT yang mendampingi PT AB membudidayakan rumput laut.

Ujicoba kemudian dilaksanakan di Kec. Paciran, Kab. Lamongan, Jatim. Metode budidaya tersebut selanjutnya diterapkan di Bali, Lombok, dan Sulawesi Selatan. Setelah yakin produksi rumput laut dari petani memadai, pada 1989 PT AB membangun instalasi pengolahan rumput laut di Pasar Kemis, Tangerang, Banten. Dan, pada pertengahan Agustus 1991, perusahaan tersebut memproduksi tepung agar-agar pertamanya sebanyak 450 kg/hari.

“Kapasitas produksi kami sekarang sekitar tiga ton per hari atau 1.000—1.100 ton per tahun,” ungkap Antonio Chong, Managing Director PT AB saat AGRINA berkunjung ke pabriknya. Sebanyak 70% dipasarkan di dalam negeri dan sisanya diekspor ke Jepang, Eropa, dan Amerika. Ia juga menyatakan, dengan bertambahnya instalasi pengolahan menjadi 14 lines, pada 2008, produksi tepung agar-agar mencapai 2.000—2.500 ton per tahun..

Untuk  kebutuhan produksi, PT AB  memerlukan 25 ribu—30 ribu ton rumput laut kering  per tahun. Saat ini, PT AB membina 200 kelompok tani yang beranggotakan sekitar 2.400 orang. Petani rumput laut binaan tersebut tersebar di wilayah pesisir Serang, Karawang, Bekasi, Lombok, Bali, Jatim, Jateng, dan Sulsel. Kerjasama antara PT AB dan petani binaan dtangani 50 koordinator menggunakan pola tanggung renteng.

Harga rumput laut kering terendah dipatok minimal Rp2.750 per kilo dengan kadar air 15—16%. Sebaliknya, jika harga bagus, mencapai Rp4.500 per kilo, maka harga mengikuti pasar. Menurut Antonio, hal itu biasanya terjadi saat China memasuki musim dingin. Pada saat itu petani mereka berhenti berproduksi sehingga pedagang dari negara tersebut mencari bahan baku dari luar China, termasuk Indonesia.

 

Tingkatkan Nilai Tambah

Para petani rumput laut di Kecamatan Babelan, Bekasi, Jabar adalah kelompok tani yang mendapat pembinaan dari PT AB. Setelah dibina PT Legina Lestari, koordinator di wilayah tersebut, para petani ini mampu memproduksi 15—45 ton rumput laut  kering per bulan.

Di Sulsel, para petani rumput laut mendapat binaan dari PT Kospermindo. Dengan produksi rata-rata 1 ton rumput laut kering per hektar, sedikitnya 700 ton rumput laut kering diserap PT AB. Menurut data Bank Indonesia 2007, penghasilan petani rumput laut di sana mencapai Rp1,5 juta—Rp4 juta per bulan dari satu hektar tambak.

Namun, bagi Departemen Kelautan dan Perikanan, meningkatnya produksi dan pendapatan bukan akhir dari upaya peningkatan kesejahteraan petani. Menurut Martani Huseini, Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP), “Industri agar-agar itu tidak hightech tapi fully technology, tapi tanpa sentuhan teknologi tidak ada nilai tambahnya,” katanya.

Dirjen mengusulkan agar PT AB  membeli rumput laut kering petani dalam kondisi sudah terproses, minimal telah tercuci (alkali treatment). Selain memberi nilai tambah pada petani rumput laut, pabrik juga terlepas dari beban pengadaan air bersih. Maklum, untuk satu kilogram rumput laut kering butuh 40—50 liter air bersih. Tak heran jika PT AB melengkapi pabriknya dengan instalasi penjernihan air untuk keperluan tersebut.

Antonio mencermati kondisi Pulau Jawa cenderung mengalami kekeringan. Karena itu  pada masa mendatang pencucian bahan baku akan dikerjakan di daerah asal yang potensi airnya lebih baik. Di sisi lain, produsen tepung agar-agar bisa terus berinovasi menghasilkan produk-produk berbahan baku agar-agar.

 

Enny Purbani T.

 

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain