Dengan warna kuning keemasan berbalut selendang hitam, botia layak menyandang ratunya ikan hias air tawar.
Botia juga mempunyai bentuk yang unik serta lincah gerakannya. Tak heran jika penggemar ikan berjuluk tiger fish ini di luar negeri makin bertambah. Sayangnya, ikan hias asli Indonesia ini makin terancam kelestariannya akibat penangkapan di alam yang terlalu intensif. Syukurlah, sejak beberapa tahun lalu, ikan yang banyak mendiami sungai-sungai di Sumatera dan Kalimantan ini mulai ditangkarkan.
Loka Riset Budidaya Ikan Hias Air Tawar, Depok adalah instansi yang memulai usaha pengembangan botia secara buatan. Di tingkat lapangan, botia dikaji terap oleh para peneliti di Balai Besar Budidaya Air Tawar Sukabumi. Dengan berhasilnya pengembangan botia secara buatan, diharapkan populasi ikan bernama ilmiah Chromobotia macracanthus ini akan terus lestari.
6 – 8 Bulan Matang Gonad
Meskipun rupawan, botia tergolong ikan yang sangat sensitif terhadap perubahan dan kondisi lingkungan sehingga ia mudah sakit, terutama oleh serangan white spot dan bakteri. Penelitian ikan ini dimulai dari tahap yang sangat dasar, yaitu domestikasi yang berpedoman pada sifat biologi dan ekologi botia di alam. Domestikasi botia meliputi aspek pembiakan, kebiasaan makan, perilaku pemijahan, dan karaktersitik habitatnya di alam.
Botia tergolong ikan yang aktif saat malam hari (nocturnal), tidak menyukai cahaya seperti ikan pada umumnya, suka bersembunyi. Untuk itulah botia dipelihara dalam wadah bersuasana temaram. Untuk menghindari stres, botia ditempatkan pada wadah yang jauh dari lalu-lalang manusia. Agar tak kabur dari tempat pemeliharaan, bagian atas wadah diberi tutup dan jarak air dengan permukaan air dibuat agak tinggi.
Botia yang baru datang tiba dari Sumatera atau Kalimantan, langsung diadaptasikan dengan cara dikarantina selama 14—21 hari dalam bak atau akuarium terpisah. Setelah itu, botia diberi perlakuan formalin 20 ppm selama 24 jam dan oksitetrasiklin 10 ppm kurang lebih 8 hari. Selama masa karantina, ikan diberi pakan berupa cacing sutera (blood worm) dan cacing tanah secukupnya.
Setelah melewati masa adaptasi, botia dipindahkan ke dalam wadah khusus untuk pemeliharan induk berupa akuarium, bak, atau kontainer ber penutup. Sesuai sifat hidupnya di alam, dalam media pemeliharaan sebaiknya diberi pelindung (shelter) berupa potongan paralon, genteng, atau kayu. Dalam wadah tersebut, botia dipelihara untuk mendapatkan calon induk matang telur.
Media air yang digunakan adalah air sumur atau air ledeng yang telah diendapkan selama 24 jam. Dalam media pemeliharaan setinggi lebih dari 40 cm, botia ditebar dengan kepadatan 6—8 ekor/m2 serta diberi pakan cacing sutera dan cacing tanah. Selain itu, ikan juga diberi pakan pellet dengan kandungan protein minimal 35%, lemak 6—7%, serta mengandung Vitamin C dan E. Dalam waktu 6—8 bulan, sekitar 40% dari calon induk yang dipelihara akan matang gonad.
Pembenihan Botia
Bobot induk betina yang disarankan untuk dipijahkan secara buatan lebih dari 80 gram, sedangkan yang jantan lebih dari 40 gram. Induk betina kemudian dirangsang kematangan dan pengeluaran telurnya dengan hormon ovaprim berkadar 1 mikroliter/kg sebanyak 2 kali (interval 6 jam). Sedangkan induk jantan cukup satu kali disuntik ovaprim berkadar 0,6 mikroliter/kg yang waktunya bersamaan dengan penyuntikan pertama ootia betina.
Dalam waktu 10—15 jam (suhu 26—29oC), ikan jantan dikeluarkan spermanya dengan cara diurut (stripping). Sperma lalu diencerkan menggunakan larutan fisiologis dengan perbandingan 1 : 4. Hal yang sama juga dilakukan pada botia betina tapi tanpa diencerkan dengan larutan fisiologis. Keduanya kemudian disatukan hingga merata agar terjadi pembuahan (fertilisasi).
Langkah selanjutnya, inkubasi telur dalam air mengalir (sirkulasi) bersuhu 26—27oC. Media inkubasi adalah air sumur, air ledeng, atau air mineral, yang sudah diaerasi selama 48 jam (air tua). Telur yang diaerasi akan menetas setelah 15—26 jam. Larva yang baru menetas kemudian dipelihara dalam akuarium dan diberi pakan setelah berumur tiga hari atau ketika kuning telur habis.
Larva yang berumur tiga hari akan tumbuh menjadi benih botia berukuran kurang lebih 2,5 cm setelah dipelihara selama 25—30 hari. Pakan larva botia bisa berupa zooplankton, artemia, atau infusoria (air alga). Berdasarkan hasil penelitian, kelangsungan hidup tertinggi terdapat pada larva yang diberi pakan zooplankton, yakni mencapai 85%. Sebaliknya, nauplii artemia dapat menurunkan tingkat kelangsungan hidup larva tapi mempercepat pertumbuhan larva botia.
Dari hasil penelitian juga dapat diketahui, tingkat kematian tertinggi larva terjadi selama kurun waktu 8 hari pemeliharaan. Terutama jika terjadi fluktuasi suhu yang cukup besar (26—31oC). Selain itu, pertumbuhan botia juga sangat lambat sampai umur 15 hari pemeliharaan.
Sudarto/Peneliti di Loka Riset Ikan Hias Air Tawar, Depok.