Hampir dua tahun ini, pabrik-pabrik tapioka di Lampung kesulitan bahan baku akibat menurunnya produksi singkong petani. Bahkan kini pabrikan kian kesulitan menyusul melambungnya harga singkong dan makin banyaknya peralihan ke jagung.
“Pabrik saya sudah sejak dua tahun ini undercapacity karena kesulitan bahan baku. Dari 300 ton kebutuhan pabrik per hari, paling banyak hanya dapat singkong 80 ton sehingga pabrik sehari jalan sehari berhenti,” beber Suherman Harsono, pemilik pabrik tapioka skala menengah di Lampung Utara. Sementara biaya tenaga kerja, listrik dan ongkos-ongkos lainnya tetap. Jadi, secara keseluruhan biaya produksi meningkat.
Harga Makin Tinggi
Kondisi tersebut diperparah dengan kenaikan harga singkong yang akhir Mei lalu sudah mencapai Rp420/kg dari sebelumnya Rp100—Rp200/kg di tingkat petani. Akibatnya banyak pabrik tapioka terancam bangkrut karena rugi berkepanjangan.
Suherman mengakui, memang lonjakan harga singkong dibarengi dengan kenaikan harga tepung tapioka akibat turunnya produksi tapioka Thailand dan China. Kedua negara itu mengalami kekeringan sejak beberapa waktu lalu yang berdampak terhadap produksi tapiokanya dan mendongkrak harga tapioka di pasar internasional. Selain itu, di Thailand singkong banyak diolah menjadi bioetanol. Saat ini harga tapioka di Lampung sudah naik menjadi Rp3.150/kg, dari sebelumnya Rp2.400/kg.
Namun, saat sejumlah pabrik bioetanol di Lampung mulai beroperasi tahun depan, kebutuhan singkong bakal melonjak. Ini akan memicu kenaikan harga lebih tinggi lagi. Harga singkong diperkirakan di atas Rp500/kg mengingat harga jual etanol saat ini mencapai Rp6.000/kg, hampir dua kali lipat harga tapioka. “Bagi pabrik bioetanol tidak masalah harga singkong di atas Rp500 karena harga jual produk mereka jauh lebih mahal,” jelas Suherman yang juga Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Lampung.
Pada 2005 dan 2006, pabrik tapioka merugi gara-gara tidak mampu bersaing dengan tapioka impor yang lebih murah. Ke depan tampaknya akan lebih banyak pabrik gulung tikar akibat kalah bersaing dengan pabrik bioetanol. Lonceng kematian pabrik tapioka pun tinggal menghitung hari jika pemerintah terus memfokuskan pembangunan pabrik bioetanol berbahan baku singkong.
Singkong Lebih Diminati
Masih menurut Suherman, sekarang kebanyakan investor bioetanol lebih tertarik membangun pabrik berbahan baku singkong ketimbang jarak, tebu, dan jagung. Pasalnya untuk singkong sudah ada jaminan pasokan bahan baku, terutama di Lampung yang selama ini dikenal sentra singkong nasional. Padahal, melimpahnya singkong terbatas saat musim panen yang serentak. Sementara jika sedang paceklik, banyak pabrik tapioka istirahat lantaran seretnya pasokan bahan baku.
Pabrik bioetanol berbahan baku tebu membutuhkan investasi lebih besar karena harus membangun pabrik gula. Padahal, yang diolah menjadi bioetanol hanya molases yang merupakan limbah pabrik gula. Sedangkan yang berbahan baku jagung, Suherman meyakini tidak ada investor tertarik mengingat harga jagung lebih mahal lagi. Kini harga jagung di Lampung sekitar Rp1.350/kg, lebih tiga kali lipat harga singkong.
Membaiknya harga jagung itu pula yang mendorong petani lebih tertarik menanam jagung ketimbang singkong. Diperkirakan, usai panen singkong sekitar Juli—Agustus mendatang, makin banyak petani menanam jagung sehingga total produksi singkong tidak akan jauh berbeda dengan tahun ini. Jika harga singkong benar-benar di atas Rp500/kg tahun depan, barulah petani ramai-ramai tanam singkong. Dengan demikian produksi singkong Lampung baru akan melonjak pada 2009 seiring kian banyaknya pabrik bioetanol yang beroperasi.
Syafnijal, Kontributor Lampung