Senin, 9 Juli 2007

Rekomendasi Terkini Vaksinasi AI

Untuk peternak, pilihlah vaksin yang tepat dalam melakukan program vaksinasi pada unggas.

 

Gunakan vaksin Avian Influenza (AI) in-aktif (killed) dalam emulsi minyak, baik yang bersifat homolog (H5N1), ataupun heterolog (H5N2 dan H5N9) sesuai dengan virus lapang. Pilihan itulah yang paling mungkin dilakukan karena tidak ada satu pun vaksin yang bersifat universal untuk virus AI pada unggas.

Selain itu, vaksinasi juga harus selalu dikaitkan dan terintegrasi dengan program biosekuriti. Vaksin AI yang digunakan dan proses vaksinasi harus selalu dievaluasi sesuai perkembangan virus AI di lapangan. Vaksinasi hanya dilakukan pada unggas yang sehat dan vaksinasi harus dilakukan dengan cara yang tepat di bawah pengawasan dokter hewan.

Demikian sejumlah rekomendasi dalam menyusun program vaksinasi hasil pertemuan pakar-pakar penyakit unggas pada seminar vaksinasi AI internasional yang berlangsung di Hotel Gran Melia, Jakarta (11—14/6). Acara ini diselenggarakan Ditjen Peternakan-Deptan bekerja sama dengan Forum Masyarakat Perunggasan Indonesia (FMPI) dan Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA), serta Komnas Flu Burung (FBPI). Sebanyak 250 peserta  dari dalam negeri maupun dari luar negeri memadati ruangan seminar.

 

Tidak Tunggal

Dalam seminar itu, David E. Swayne dari Laboratorium Penelitian Flu Burung USDA mengungkap, virus flu burung atau H5N1 bukan merupakan virus tunggal, melainkan keluarga yang terdiri dari tiga keturunan dan sejumlah subketurunan. Padahal selama ini pemerintah mengizinkan pemanfaatan vaksin dengan virus tunggal untuk menanggulangi AI pada unggas.

Lebih jauh David mengatakan, virus AI beranak-pinak dengan jenis berbeda karena mengalami mutasi akibat kekebalan alami unggas serta tekanan vaksin. Oleh karena itu, tidak ada vaksin tunggal yang universal untuk virus AI. Efektivitas vaksin bergantung pada pemetaan virus di suatu negara sehingga bisa diproduksi vaksin yang sesuai jenis virus di negara tersebut.

Sementara, Musny Suatmodjo, Direktur Kesehatan Hewan-Deptan, menyatakan, saat ini Indonesia menggunakan vaksin berbahan dasar isolat virus AI lokal, yaitu strain Legok. Ia mengakui, vaksin itu hanya efektif melawan virus AI strain Legok, tetapi tidak untuk strain lain. Padahal di Indonesia ada banyak strain virus AI. Untuk itu peternak harus menggunakan vaksin AI yang telah lulus uji Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH) dan telah memperoleh nomor registrasi dari Deptan.

I  Wayan T. Wibawan, pakar AI dari Fakultas Kedokteran Hewan IPB sepakat dengan pernyataan Musny. Menurutnya, dalam menentukan jenis vaksin ini peran dan tanggung jawab BBPMSOH sangat besar agar semua vaksin yang akan beredar di Indonesia diperlakukan adil. Ditambahkannya, vaksin yang bagus itu harus mampu menghindarkan unggas dari risiko kematian, mampu menekan shedding  (pengeluaran virus dari kloaka dan trakhea) virus, dan tidak mengganggu produksi. “Normatifnya, apapun bentuk vaksinnya jika bisa memenuhi kriteria ini dan sudah melalui pengecekan di BBPMSOH, seharusnya diizinkan beredar,” tegas Wayan yang juga Wakil Dekan FKH IPB.

 

Pengendalian Terpadu

Menyoal pengendalian penyakit AI di Indonesia, Dr. C.A Nidom, MS, Drh., Kepala Laboratorium Avian Influenza, Tropical Disease Center, FKH UNAIR ketika dihubungi melalui surat elektronik mengatakan, kondisi dan pola penanganan AI sampai saat ini tidak mengalami perubahan. Padahal kondisi virus sudah tidak sama dengan yang sekian tahun lalu. Oleh karena itu, program vaksinasi yang sekarang dilakukan pemerintah untuk menangani virus AI perlu dihentikan dulu dan dikaji ulang.

Sementara itu Teguh Y. Prajitno, Head of Poultry Health Services, PT Multibreeder Adirama Indonesia mengharapkan agar seluruh sumber daya memusatkan diri untuk selalu meningkatkan mutu dan menerapkan pengetahuan dasar tentang penerapan biosekuriti ketat, mengaplikasikan program vaksinasi yang efektif, melaksanakan pemusnahan selektif terhadap unggas terinfeksi, melakukan pengontrolan terhadap lalulintas unggas, dan melakukan restrukturisasi sistem pemasaran unggas.

Masih menurut Teguh, supaya kasus HPAI dapat terdeteksi sejak awal sehingga depopulasi unggas di daerah terinfeksi atau berisiko tinggi dapat dilaksanakan dengan baik, maka program pengendalian terpadu harus selalu dikoordinasikan oleh unit manajemen yang menguasai area secara detail, protokol, pemantauan, dan memiliki standar aturan yang jelas untuk melakukan tindakan terhadap area terinfeksi. “Pelaksanan program juga harus meliputi teknologi dan informasi terkini serta didukung sistem laboratorium yang terakreditasi,” imbuhnya.

Yan Suhendar

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain