Untuk menjamin kehidupan keluarganya kelak, ia menggantungkan asap dapurnya dari usaha beternak ayam pedaging.
Sebagai seorang pegawai negeri sipil (PNS), Sugiyarto memaknai pekerjaan sehari-harinya suatu pengabdian kepada negara. Sedangkan sebagai peternak, itu pilihan baginya untuk mendapatkan keuntungan dari suatu bisnis.
Perputaran modal yang begitu cepat menjadi daya tarik bagi Sugiyarto untuk menekuni usaha peternakan ayam pedaging (broiler). Dalam menjalankan usahanya, pria yang pernah bekerja di industri perunggasan ini memilih menjalin kemitraan dengan perusahaan integrasi. Artinya, semua sarana produksi utama dipasok perusahaan inti dan hasil panennya juga dijual ke inti. Ia hanya menyediakan kandang, sarana produksi lain, dan tenaga kerja. Dalam 35 hari, peternakannya sudah mampu memberikan keuntungan. “Untuk itu, sebagai peternak, kita harus pandai-pandai menyikapi risiko penyakit pada ayam broiler,” ungkapnya tentang kunci keberhasilan selama ini.
PNS berlatarbelakang pendidikan sarjana peternakan ini memulai usahanya pada awal 2006 dengan memelihara 4.500 ekor. Pada produksi siklus pertama, ia memperoleh hasil penjualan Rp15,7 juta. Dipotong biaya operasional Rp4 juta, ia mengantungi laba bersih Rp11,7 juta.
Memang, ketika itu harga jual ayam sedang bagus, mencapai Rp9.000/kg untuk ukuran 1 kg/ekor. Sebagi mitra ia memperoleh harga kontrak Rp7.500/kg. “Ini jelas menggembirakan sekali. Hasil siklus pertama saya sangat menguntungkan,” ucap Sugiyarto penuh rasa syukur.
Investasi Lagi
Dengan keuntungannya itu, Sugiyarto meningkatkan jumlah populasi ayam yang diusahakan. Pada kandang yang memberikan keuntungan tadi, ia menambahkan 3.000 ekor sehingga populasinya mencapai 8.500 ekor. Tak puas sampai di situ, ia menyewa kandang di lokasi lain yang diisi 6.000 ekor. Total jumlah populasinya 3 kali lipat silklus produksi pertama.
Dengan memiliki dua kandang tersebut, biaya operasional yang dikeluarkannya per siklus mencapai Rp10 juta. Dalam ketentuan kemitraan, setiap peternak plasma diharuskan menabung ke inti sebanyak Rp1.000/ekor. Jadi, dengan tambahan populasi 9.000 ekor, lulusan UGM ini menabung atau diistilahkan biaya agunan, Rp9 juta.
Biaya agunan tersebut dianggap sebagai investasi. Kini Sugiyarto yang menjalankan siklus ke-7 memiliki populasi 30.000 ekor berarti total investasinya senilai Rp30 juta.. “Padahal, awalnya modal investasi usaha saya ini hanya Rp8,5 juta saja,” ujar bapak satu putra ini.
Populasi ayamnya tersebar di lima kandang yang terdapat di Desa Selagandong, Hegarmanah, Citiris, Parungkuda, dan Kebun Pedes, semuanya di Kabupaten Sukabumi. Kandang ini ada yang milik pribadi, sewa kandang saja, dan kerjasama dengan peternak lain. Sekarang ia sudah dapat mengatur siklus pengeluaran ayam dari kandang setiap minggu 6.000—7.000 ekor. “Pengaturan ini penting agar dapat memperoleh pendapatan mingguan,” jelasnya.
Dengan ikut pola kemitraan yang dikembangkan oleh perusahaan besar seperti Sierad Produce, Charoen Pokphand Indonesia, Japfa Comfeed Indonesia, telah memberikan harapan dan keuntungan baginya sebagai seorang peternak. Bagaimana tidak, dengan menyiapkan dana awal untuk membuka usaha ini, ia diberi segala fasilitas pemeliharaan dan suplai pakan. Sedangkan tugasnya sebagai peternak, menurut laki-laki kelahiran 1974 ini, hanyalah mengusahakan agar anak ayam (DOC) tetap sehat dan panen tepat waktu. “Semua fasilitas dipermudah, baik dalam pengadaan DOC, pakan, sampai pasar pun kita dibantu,” tegasnya saat menutup perbincangan.
Yan Suhendar