Selasa, 29 Mei 2007

Untung Lebih dari Rumah Plastik

Hasil panen tomat budidaya di rumah plastik berkualitas lebih tinggi sehingga harganya pun selalu lebih tinggi Rp500 per kilo dibandingkan tomat biasa.

 

Menanam tomat ternyata lebih untung dengan rumah plastik (greenhouse). Paling tidak hal ini dialami Paguyuban Petani Merbabu (PPM), Derpowangsan, Tejosari, Ngablak, Magelang, Jateng. Surame Hadi Sutikno, Ketua PPM menyatakan, dengan rumah plastik, petani menghemat pestisida dan pupuk kimia serta lebih bisa mengatasi problem alam, seperti curah hujan yang tinggi dan musim pancaroba.

Tomat hasil budidaya di rumah plastik lebih tahan simpan, warnanya merah cerah, dan tidak mudah busuk karena kulit buahnya tidak gampang pecah. Bahkan semakin lama disimpan, rasanya pun semakin manis. Tomat ini dapat bertahan 15 hari, sementara tomat di lahan terbuka paling hanya tahan selama satu minggu. “Kalaupun sudah lama kulitnya hanya berkerut, tidak sampai busuk,” terang Surame.

Jumlah panen per tanaman memang sama banyak. Namun yang dari rumah plastik bisa terjual semua dengan harga tinggi. Sedangkan tomat di lahan terbuka pasti ada buah yang tidak layak jual, terutama karena pecah kulit dan ukuran terlalu kecil. Tomat sortiran tersebut dapat dilego dengan harga 50% dari harga normal.  Sementara sortiran dari rumah plastik masih dihargai 80% dari harga normal.

Tomat sortiran dari rumah plastik biasanya berukuran 20-40 buah/kg. “Meskipun kecil, harganya hanya selisih 20% dari yang besar karena tidak pecah dan tidak busuk. Dari yang ukuran kecil hingga yang besar semua bisa masuk supermarket,” papar Surame lebih jauh. Harga tomat rumah plastik ukuran normal pun selalu lebih tinggi Rp500/kg dibandingkan tomat biasa.

 

Lebih Untung

Surame yang bertani tomat sejak 1989 ini baru mencoba bertanam di rumah plastik awal Januari 2006. Alasannya, ingin melakukan budidaya dengan pestisida dan pupuk dalam jumlah terukur sebagai bentuk tanggung jawab produsen kepada kesehatan konsumen. Dia juga menerapkan sistem budidaya yang alami dengan memanfaatkan pupuk kandang dan pestisida nabati. Sehingga produk tomatnya dapat dikatakan sebagai komoditas semi-organik.

“Permintaan tomat organik masih sangat sedikit di Jawa Tengah ini. Pasar saya baru di Salatiga saja. Jumlahnya baru 20 kg/minggu,” ungkap Surame. Namun, permintaan tomat di paguyubannya cukup tinggi, 2 ton/hari. “Tetapi, baru bisa dipenuhi 10% saja karena sekarang musim tidak bisa diprediksi,” jelasnya lebih jauh. Saat ini tomat produksi PPM laku dijual Rp5.000,00/kg. Padahal titik impasnya dapat dicapai pada angka Rp1.000,00/kg.

Bertanam di rumah plastik lebih terlindung dari hujan, hama, dan penyakit sehingga kebutuhan pestisida kimia pun jauh berkurang hingga 75%. “Kalau di luar greenhouse kita nyemprot pestisida 2—3 hari sekali. Dosisnya pun 3 kali lebih tinggi dari standar pemakaian. Dengan greenhouse kita nyemprot hanya 10 hari sekali. Yang pertama dengan pestisida kimia, kemudian 10 hari lagi dengan pestisida nabati buatan sendiri. Sepuluh hari lagi juga dengan pestisida nabati,” bebernya.

Pemanfaatan pupuk kimia juga lebih hemat sampai 50% karena pupuk tidak terbawa pergi oleh air hujan. Jika pada lahan biasa setiap 1.000 m2 membutuhkan pupuk ZA, KCL dan TSP sejumlah 50—75 kg, maka dengan rumah plastik cukup 25 kg. “Sebenarnya jumlah kebutuhan sama, tapi di greenhouse ‘kan pupuknya semua terserap tanaman,” tegasnya. Selain pupuk kimia, Surame juga memberikan pupuk kandang sebanyak 1 kg per tanaman.

Dengan jarak tanam 60 cm x 60 cm atau 70 cm, setiap tanaman dapat menghasilkan 5 kg yang dipanen 12 kali bila cuaca bagus. Sementara jika musim kurang mendukung, panen hanya bisa dilakukan 5—6 kali.

 

Imam (Yogyakarta)

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain