Dengan mengubah cara pemeliharaan dari sistem tradisional ke semiintensif dan berkelompok, peternak ayam kampung bisa mendapat kepastian harga. Pada peternakan tradisional ayam kampung, satu siklus produksi untuk mencapai bobot satu kilo butuh waktu 6—8 bulan. Padahal dengan teknik semiintensif hanya perlu waktu 70 hari. Karena itu H. Ade M. Zulkarnaen mempelopori berdirinya kelompok peternak ayam kampung Sukabumi (KEPRAKS) di Kp. Sadamukti, Desa Tenjolaya, Cicurug, Sukabumi. Menurut H. Ade, pendirian Kepraks bertujuan mendidik peternak-peternak baru yang berminat pada peternakan ayam kampung. Pasalnya, selama ini masyarakat belum banyak menaruh minat pada aktivitas beternak lantaran tidak mengetahui potensi nilai ekonomi cukup tinggi dan teknis budidaya yang tepat. Potensi dan peluang pasar ayam kampung sangat besar, terutama untuk konsumsi masyarakat menengah atas di kota-kota besar. “Ada ketimpangan antara permintaan dan pasokan,” ungkap H. Mahmud Daud, peternak dengan populasi 3.000-an ekor. Ditambahkan Mahmud, nilai jual ayam kampung sangat tinggi. Harga di tingkat petani cenderung stabil pada kisaran Rp18.000—Rp20.000/kg. Pada saat waktu tertentu, seperti lebaran, harga melonjak hingga Rp30.000—Rp40.000/kg. Harga penjualan ini bagi anggota Kepraks dipatok sebagai harga kesepakatan dengan harga standar minimal Rp17.000—Rp18.000/kg di atas harga BEP, Rp12.000—Rp12.500/ekor. Ubah Pola “Kebiasaan masyarakat memelihara ayam kampung dilepas begitu saja tanpa dikandangkan. Ini perlu diubah dengan budidaya semiintensif,” ujar H. Ade yang menjabat Ketua Umum Kepraks. Pada budidaya pola semiintensif, seluruh ayam dikandangkan dan dipelihara seperti memelihara ayam ras. Praktiknya, pemeliharaan semiintensif dilakukan dengan empat prinsip, yaitu kandang sehat, pakan teratur, vaksinasi berkala, dan biosekuriti. H. Ade lalu melakukan sosialisasi dan pendekatan kepada masyarakat di Desa Tenjolaya dan Desa Pesawahan, Cicurug untuk beternak ayam kampung pola semiintensif. Saat itulah peternak kampung bertambah tiga orang dengan kapasitas 6.000 ekor. “Namun perkembangannya tidak sesuai yang diharapkan karena memang masih sulit mendapatkan bibit secara kontinu dan jumlah besar,” papar pemilik 4.000 ekor ayam ini. Setelah setahun berdiri, jumlah anggota Kepraks bertambah menjadi 12 orang yang tersebar di enam desa, yakni Tenjolaya, Pesawahan, Kutajaya, Bangbayang, Cidadap, dan Babakan Pari. Populasi ayam mereka sebanyak 9.000 ekor/periode (70 hari). Tahun lalu jumlah peternak menjadi 30 peternak dengan populasi 20.000—25.000 ekor/periode. Pada 2007 ini sudah tercatat sekitar 45 peternak yang tersebar di enam desa, Tenjolaya, Benda, Pasawahan, Nangrang, Cisaat, Bangbayang, dan Kuta Jaya dengan populasi 30.000—35.000 ekor/periode. “Anggota Kepraks sudah merasakan manfaatnya dengan mendapatkan penghasilan dari usaha ini,” ucap Ade menutup obrolan dengan AGRINA. Yan Suhendar Analisis Usaha Tani Sederhana Skala 100 ekor Modal Investasi Kandang bambu 2 x 5 m (1 m2 = 10 ekor) Rp 1.000.000 (dapat bertahan untuk 3 periode, sehingga biaya penyusutannya Rp333.300) Modal Operasional DOC/Bibit @ Rp4.000 Rp 400.000 Pakan @ Rp3.500/kg x 2 kg/ekor Rp 700.000 Obat-obatan @ Rp500/ekor Rp 100.000 Rp.1.200.000 Jika harga Rp20.000/ekor dengan tingkat kematian 10%, maka Pendapatan = (Rp20.000 x 90 ekor) – Rp333.300 = Rp1.466.700 Untuk mendapat penghasilan lebih memadai, skala usaha paling tidak 500 ekor. Sumber : H. Mahmud Daud, Anggota Kepraks, Mei 2007Pendapatan kotor tiap 70 hari