Bisnis gurami bukan saja moncer di pasar lokal, naga-naganya ikan pemakan tanaman ini mulai mengintip pasar ekspor. Hal itu disampaikan Galih Adi Nugroho, putra H. Sujadi, pemilik Rindu Alam Farm (RAF) di Maos, Cilacap, yang pernah mengirim gurami ke Korea Selatan dan India, masing-masing 4 dan 3 ton/hari. Sayangnya, pengiriman gurami ke kedua negara itu tidak berlanjut lantaran kekurangan stok. Untung Hingga 100% Saat ini RAF hanya bermain di pasar lokal Bandung, Bogor, dan pasar swalayan Carrefour. Dalam waktu 10 hari, RAF mampu panen hingga 8 kali, masing-masing 300 kg dengan harga sekitar Rp16.000/kg. “Untuk Carrefour, kami memasok sebanyak 3—4 ton gurami/bulan dengan ukuran 500—1.000 gram/ekor,” terang Galih. Hal yang sama dilontarkan H. Radi Soerjadi, petani gurami di Pabuaran, Kecamatan Kemang, Bogor. Menurutnya, jangankan untuk ekspor, memasok kebutuhan pasar lokal pun masih keteteran. Petani dengan kolam seluas 5 ha ini hanya mampu memproduksi 100 kg gurami/hari yang dijual ke pasar Bogor dan Sukabumi. “Jumlah itu baru sekitar 30% dari permintaan,” ujar H. Radi Soerjadi. Pantas saja harga gurami mencapai Rp18.000/kg. Itu pun pembeli mengambil sendiri di kolam. Menurut Soerjadi, perbedaan harga gurami di Cilacap dan Bogor disebabkan selisih jarak yang harus ditempuh dari kolam sampai ke pasar. Di Cilacap jarak dari produsen ke konsumen akhir di Jakarta dan Bogor cukup jauh sehingga biaya transportasinya juga lebih tinggi. Pemeliharaan dari benih ukuran 250 gram/ekor sampai ukuran konsumsi berbobot 500—1.000 gram/ekor membutuhkan waktu 4—5 bulan. Menurut H. Budi Suyoto, petani gurami di Bantul, Yogyakarta, harga benih gurami di daerahnya sudah kelewat mahal, Rp17.500/kg, sehingga baginya lebih efisien menebar benih sendiri. Galih yang memiliki 100 ekor induk gurami menghitung, untuk mendapatkan 1 kg gurami biaya produksinya hanya sebesar Rp8.000. “Biaya pakan (pellet) Rp5.000, sedangkan sisanya untuk benih, hijauan, tenaga kerja, dan biaya operasional yang lain,” paparnya. Masih menurut Galih, 1 kg pellet menghasilkan 1 kg gurami, dengan demikian tingkat keuntungan bisa mencapai 100%. Syaratnya, “Pakan harus bagus dan kuantitasnya cukup,” pesan Galih. Pemberian pakan awal kira-kira sekitar 1% dari bobot badan dan selanjutnya dinaikkan menjadi 2%. Daun talas diberikan minimal sebulan sebelum panen agar waktu digoreng dagingnya tidak pecah. Hal yang tidak jauh berbeda juga dirasakan H. Soerjadi. Namun, ia memberi catatan, meskipun petani harus membeli benih gurami, usaha budidaya ini masih tetap untung. Perhitungannya, “Satu kuintal benih rata-rata menghasilkan 3 kuintal gurami konsumsi,” hitungnya. Beda Tempat, Beda Cara Umumnya gurami dapat berkembang baik jika dipelihara pada tempat berketinggian kurang dari 400 m di atas permukaan laut (dpl). Ketinggian berbeda menyebabkan perbedaan pula dalam tatacara pemeliharaan. Di RAF misalnya, ketinggiannya sekitar 100 m dpl, sedangkan di Parung kurang lebih 200 m dpl. “Jadi, kalau RAF memakai aerasi pada malam hari. Sebaliknya, penggunaan aerasi di tempat kami malah mengakibatkan gurami mati semua,” papar Soeryadi. Tekstur tanah yang berbeda juga harus ditangani dengan langkah berbeda. “Kolam tanah memungkinkan adanya proses biologi, sebaliknya pada kolam beton proses itu tidak akan terjadi,”ujar Galih mencontohkan. Hal ini mengharuskan petani memahami karakter wilayah masing-masing serta kreatif dalam mencari solusi, terutama pengendalian penyakit. RAF mengandalkan probiotik dan garam untuk menjaga kualitas air. Sementara Soerjadi dan Budi Suyoto menggunakan pembunuh jentik nyamuk Abate untuk menetralisir mikroorganisme patogen di kolam. Tujuan pemberian garam sebanyak 200 gram/m2 adalah untuk membunuh mikroorganisme patogen, meningkatkan salinitas air, dan mengurangi stres pada ikan. Sebelum ditebari garam, kolam dikeringkan terlebih dahulu dan diisi air yang didiamkan selama tiga hari. Setelah pemberian garam, kapur aktif sebanyak 200 gram/m2 ditebarkan. Saat air kolam berubah menjadi hijau muda atau tiga hari setelah pengapuran, benih gurami siap ditebar. Untuk menjaga kualitas air, RAF menggunakan probiotik pemusnah amonia dan probiotik untuk meningkatkan efektivitas penyerapan pakan oleh ikan. Dampak yang terlihat adalah tingkat kelangsungan hidup tinggi dan penggunaan pakan menjadi lebih efisien. Lain halnya dengan Soerjadi dan Budi Suyoto. Karena merasa tidak ada obat yang manjur untuk penyakit ikan, atas rekomendasi seorang ahli penyakit ikan, keduanya mencoba menggunakan abate dalam mengatasi penyakit gurami yang dipelihara. Hasilnya, Tubercolosis dan Heneguya sp. yang kerap menyerang gurami bisa diantisipasi. Dosis untuk pencegahan, 10 gram/m3 air, sedangkan dosis pengobatan 200 gram/m3. Kadar tersebut masih jauh lebih rendah dibandingkan dosis untuk membunuh jentik nyamuk. Imam (Yogyakarta)