Untuk mengurangi ketergantungan dengan bibit sapi perah impor, PT Greenfields Indonesia (GFI) melaksanakan program pemenuhan bibit dari lokal. Selama ini PT Greenfields Indonesia (GFI), peternakan sapi perah terintegrasi di Gunung Kawi, Kab. Malang, Jatim, mengimpor bibit sapi perah unggul dari Australia dua kali setahun. Namun sejak dua tahun silam, menurut M. Endro Widoto, Manager Co-operational GFI, perusahaan ini membentuk unit-unit pembesaran pedet (rearing). Program rearing untuk memenuhi kebutuhan peremajaan sapi betina yang tidak produktif lagi (replacement) dan peningkatan populasi. Hasilnya, sekarang GFI tak perlu impor bibit lagi karena kebutuhannya sudah terpenuhi dari program tersebut. “Program ini sudah menjadi sebuah kebutuhan mutlak,” kata Endro kepada Heni Widiastuti dari TROBOS. Ditambahkan Yuliantoni Queen, General Manager GFI, pembesaran pedet menghemat biaya karena harga bibit impor belakangan saat ini mencapai Rp16 juta/ekor. Dengan tambahan bibit tersebut, produksi rata-rata 30.000 ton/hari dapat dipertahankan. Lebih jauh Yuliantoni menjelaskan, dalam program pembesaran, pedet dipelihara sampai siap kawin. Setelah itu, sapi dara ini diinseminasi buatan (kawin suntik), lalu siap menggantikan sapi yang tak produktif lagi. “Bahkan, bukan sekadar replacement tapi juga bila memungkinkan untuk meningkatkan populasi di tingkat peternak,” ungkapnya. Dalam program rearing, yang paling utama adalah menyangkut ketersediaan pedetnya. Karena itu, sapi induk yang efektif dalam reproduksi harus dipersiapkan terlebih dahulu. Teknis Program Dalam pelaksanaan rearing, pedet betina yang diambil dari peternakan Gunung Kawi dipelihara sampai umur 6 bulan. Betina muda ini kemudian dikirim ke Probolinggo dan dirawat hingga berumur 14 bulan dengan bobot sekitar 350 kg. Sapi dara ini siap dikawinkan. Setelah umur kebuntingan kira-kira 5 bulan, sapi ini dikembalikan lagi ke Gunung Kawi sampai 21 hari menjelang kelahiran. Ia kemudian dipindah ke farm dengan dimasukkan pada masa transisi. “Sapi-sapi betina adalah calon induk unggul,” jelas Endro. Lebih lanjut Endro menerangkan, prediksi dan kalkulasi dari program reproduksi GFI adalah 150 ekor pedet/bulan dilahirkan, 50% jantan, 50% betina. Persentase kematian pedet di bawah 5%. Semua yang betina dipelihara sampai jadi dara bunting. Kendati demikian, ada mekanisme seleksi dari semua kelahiran yang tidak memenuhi spesifikasi sebagai induk berkualitas. “Pedet yang tidak masuk kategori ini akan langsung dijual,” jelasnya. Pedet yang tidak masuk kualifikasi calon induk itu adalah pedet dengan bobot lahir di bawah standar (<32 kg untuk Frisian Holstein, <28 kg untuk Cross), terlahir mempunyai dua kelamin, pedet dari induk yang produksi susunya di bawah 6.000 liter/tahun, dan pedet yang sakit berkepanjangan. Dengan masa produksi sapi 305 hari, sapi dari lahir, pedet, dara, kemudian bunting diharapkan dapat mencapai target umur 24 bulan sudah melahirkan seekor pedet. Berdasar pengalaman, sapi yang melahirkan perdana pada umur 28 bulan, produksinya di bawah yang melahirkan perdana di umur lebih muda. Karena itu GFI mengupayakan pengawinan sapi pada umur 14 bulan atau berbobot 350 kg. Harapannya, 24 bulan kemudian ia sudah melahirkan. Saat melahirkan, bobot target 550 kg tercapai. Jarak kelahiran (calving interval) diharapkan selama setahun. Namun sejauh ini belum tercapai, calving interval GFI baru bisa 13,4 bulan. Diperkirakan sapi mampu melahirkan sampai 7 kali selama masa hidupnya yang 10 tahun. Produksi susunya optimal hanya sampai beranak yang kelima. Dalam upaya menyeleksi calon pejantan, GFI berencana melakukan uji Zuriat atau Progeny Test pada 64 ekor pejantan miliknya. Uji Zuriat merupakan serangkaian uji pada calon pejantan sapi perah untuk mengetahui kemampuan mewariskan sifat-sifat unggulnya kepada keturunannya. Yan Suhendar, Heni Widiastuti