Kamis, 19 April 2007

Kampung Pedagang Ayam Arek Lamongan

Eratnya hubungan sesama perantau di Jakarta tak hanya melahirkan kumpulan arisan. Sejumlah warga Lamongan ternyata mampu membentuk kampung pedagang ayam yang menjadi salah satu sentra perdagangan ayam hidup di ibukota.

 

Dengan jumlah perputaran 15.000—20.000 ekor ayam hidup per hari yang diangkut dalam 20 truk, para pedagang ayam asal Lamongan, Jatim, tersebut telah menjadikan RT 01, RT 11 dan RT 12, Kelurahan Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, sebagai kampung pedagang ayam.

Dari 20 truk ayam itu, 70% di antaranya dijual dalam keadaan hidup. Sisanya dipotong untuk dipasok ke rumah-rumah makan serta pedagang pecel ayam dan lele. Sebagai gambaran, “Setiap hari seorang pedagang pecel ayam dan lele membutuhkan 20 ekor ayam yang telah dipotong,” jelas Mat Lai yang mampu menjual ayam 700—800 ekor/hari.

 

Hidup dari Ayam

Dengan kondisi harga saat ini, pedagang ayam rata-rata kebagian untung Rp1.000—Rp2.000/ekor. Pedagang mendapat pasokan ayam hidup dari pengepul. Pengepul menjual ayam broiler ukuran 1,1 kg dengan harga Rp11.000—Rp12.000/ekor. Sementara ayam afkir petelur ukuran 2,5 kg dijual sekitar Rp9.000—Rp10.000/ekor dan ayam afkir induk (parent stock) ukuran 4 kg berkisar  Rp10.000—Rp10.500/ekor.

Dari berdagang ayam, para pelaku bisnis unggas di sektor hilir ini menggulirkan ekonomi mereka dan menarik warga Lamongan lain untuk ikut berkiprah di bidang yang sama. Dulu para pedagang ayam ini masih kebanyakan mengontrak atau menyewa rumah, tapi sekarang sudah banyak yang mampu mendirikan rumah sendiri. “Saat ini, para pedagang sudah tersebar pada 3 RT di Kelurahan Cipulir, yang dulunya hanya pada RT 01 saja,” ujar Mat Lai yang terbilang dedengkot kampung pedagang ayam itu.

Menurut Mat Lai, mereka mulai merintis dagang ayam hidup sejak 1980 di Pasar Kebayoran Lama. Seiring berjalannya waktu, jumlah pedagang maupun ayam yang diperdagangkan makin meningkat. Pada 1993, mereka sepakat membentuk Koperasi Arek Lamongan (Arela) dengan anggota sebanyak 25 orang. Tiga tahun kemudian nama koperasi berganti Arela Jaya. Tahun ini jumlah anggota membengkak menjadi 344 orang ditambah 20 orang yang berperan sebagai pengepul.

 

Peran Koperasi

Keberadaan koperasi Arela Jaya, menurut Mat Lai, sang Ketua, sebagai wadah untuk memperkokoh antarsesama pedagang dan mempererat hubungan silaturahmi ke masyarakat sekitar serta memudahkan koordinasi dengan aparat pemerintah. Apalagi dalam situasi wabah flu burung yang dikaitkan dengan keberadaan unggas di sekitar pemukiman. Dengan begitu, arek Lamongan dapat diterima dalam bermasyarakat dan tenang menjalankan usaha, serta menghilangkan kesan kumuh pedagang ayam.

Selain itu, keberadaan koperasi juga menjamin kesehatan ayam hidup dan kualitas daging ayam yang diperdagangkan kepada konsumen. Pasalnya, setiap anggota koperasi diwajibkan menjaga kebersihan lingkungan dan kesehatan ayam hidup yang akan diperjualbelikan dengan menerapkan aturan sesuai anjuran pemda.

Sementara itu, Eko Hendry, dari Dinas Peternakan dan Perikanan Jakarta Selatan, mengungkap, aturan pemda menyangkut perdagangan ayam di antaranya, kebersihan kandang penampungan harus dijaga, ayam yang sakit segera dilaporkan dan diperiksa, serta proses pemotongan wajib dilakukan secara benar, baik di penampungan maupun di pasar. Pembuangan limbah ayam pun tidak boleh dibuang ke kali atau secara sembarangan.

Dengan pelaksanaan aturan itu, Mat Lai yakin, ayam dan daging ayam yang diperjualbelikan para anggota dijamin kualitasnya. Termasuk dalam hal penggunaan bahan pengawet, seperti formalin atau bahan pewarna yang dilarang. “Jika ada anggota yang melanggar, akan diberi sanksi berat,” tegasnya.

 

Yan Suhendar

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain