Bertambak udang memang tidak lagi semudah dulu. Namun, tidak sedikit petambak yang terus bertahan, termasuk Hendra Sutanto.
Kondisi cuaca yang tidak menentu dan meningkatnya kadar cemaran membuat budidaya udang Vanname semakin sulit karena udang yang dipelihara rentan terhadap serangan penyakit. Kendati demikian hal ini tidak menyurutkan langkah Hendra untuk tetap menggeluti bisnis udang. Di tambaknya yang cukup modern, pria berusia 70 tahun ini mengawali usaha budidaya udangnya pada dua petak tambak pada 1980.
Seiring berjalannya waktu, ia pun sempat mencicipi manisnya keuntungan berbudidaya udang. Di bawah naungan PT Empang Kuningan, kini tambak yang berlokasi di Situbondo mencapai luas 8,5 ha dan mempekerjakan 50 orang karyawan Namun, saat ini ia harus berpikir lebih keras agar usahanya tetap berjalan “Kalau tidak ada terobosan dan perbaikan harga udang, petambak pasti mrotoli,” ujar Hendra dengan logat Jawa Timuran yang kental.
Gunakan UV dan Kaporit
Hendra punya cara tersendiri dalam mengatasi penyakit yang menyerang udangnya dengan menggunakan sinar ultra violet (UV). “Sudah puluhan tahun saya tidak memakai antibiotik. Kalau kena masalah, biasanya saya atasi dengan probiotik alami dan sejak lima tahun lalu saya menggunakan UV,” ujar Hendra. Ia mengakui, pemanfaatan UV meningkatkan biaya produksi. Namun hal itu sepadan dengan uang yang dikeluarkan karena umumnya udang bisa bertahan hingga akhir pemeliharaan.
Cara aplikasi UV terbilang sederhana dengan melewatkan air laut yang akan digunakan di tambak ke dalam jalur air yang sudah dipasangi lampu UV. Menurutnya, sinar UV dapat membunuh sebagian besar bakteri Vibrio di dalam air. Selanjutnya, air diberi kaporit 15 ppm dan dimasukkan ke dalam tandon I dan II. Setelah kandungan klorin habis, air kemudian dimasukkan ke dalam tandon III yang berisi ikan bandeng dan nila. “Setelah itu, air dicampur dengan air tawar sesuai kebutuhan, baru kemudian disedot masuk ke tambak,” paparnya.
Berdasarkan hasil penelitian mahasiswa Universitas Brawijaya, pemakaian UV di tambaknya menunjukkan penurunan jumlah vibrio yang sangat nyata. Air yang telah disinari UV tidak mengandung vibrio sama sekali. “Dalam waktu 4 x 24 jam penyinaran, tidak lagi ditemukan vibrio. Apalagi setelah itu saya tetesi 15 ppm kaporit,” ujar Hendra.
Namun belakangan ini kendala mulai muncul, sampel air laut yang diuji Balai Budidaya Air Payau (BPAP) Situbondo ternyata masih mengandung vibrio. “Saya tidak tahu, di mana kesalahannya. Mungkin umur pakai UV yang sudah terlalu lama jadi harus diperbaharui lagi,” duga Hendra.
Tebar Benur Lokal
Kendala dalam budidaya udang bukan hanya kualitas air tetapi juga pada benur yang ditebar. Menurut Hendra, kualitas benur sangat tidak menentu, terutama F-1. “Meskipun benur SPF atau SPR, tapi malah kena penyakit lebih dulu,” komentarnya bernada kecewa. Itulah sebabnya kini ia tidak menggunakan benur F-1, “Saya pakai benur lokalan Situbondo karena harganya lebih murah dan daya tahan tubuhnya lebih kuat,” dalihnya.
Namun benur F-1 memang diakui petambak kawakan itu memiliki kelebihan. Jika pemeliharaan berjalan lancar, udang tumbuh lebih cepat dan ketika dipanen jumlah udang ukuran kecil (under size) jauh lebih sedikit, bahkan tidak ada sama sekali. Untuk penyakit, Hendra masih berkutat pada white spot, taura, dan mio. “Kalau sudah kena white spot, wah itu sih kiamat. No way out, obatnya cuma es batu alias masuk coldstorage,” ucapnya setengah berkelakar.
Hendra menambahkan, petambak memang pernah mendapat bantuan dari BBAP Situbondo berupa pengecekan sampel udang yang berasal dari petambak. Namun, tindak lanjut untuk mengatasi mio, taura, atau white spot, belum ada. Padahal dirinya dulu paling giat mengecekkan benur BBAP sebelum di tebar ke tambak.
Tunggu Bantuan Pemerintah
Selain masalah teknis, petambak dihadapkan pada persoalan harga udang yang terus menurun. Untuk itulah petambak mengharapkan perhatian dari pemerintah terkait. “Kalau ada masalah seperti ini, pemerintah seharusnya membantu, terutama dalam mengendalikan harga,” papar Mardiat, Ketua Shrimp Club Indonesia (SCI) Situbondo.
Mardiat menambahkan, sampai saat ini harga udang sangat sensitif terhadap berbagai isu, terutama penggunaan antibiotik. “Jika nanti ditemukan standar budidaya udang yang baku dan bebas antibiotik, otomatis akan berpengaruh terhadap kualitas udang dan bisa diikuti kenaikan harga,” harap Mardiat.
Hal senada diungkapkan Putu, Manajer Pemasaran PT Matahari Sakti wilayah Situbondo. Ia menyatakan, udang Indonesia memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan negara lain. Jadi, jangan sampai semua tuntutan Uni Eropa diikuti oleh pemerintah Indonesia. Menurutnya, “Perlu tim pemerintah yang andal dalam melobi. Kalau masalah teknis budidaya udang, serahkan pada petambak,” ujar Putu.
Indah Retno Palupi (Situbondo)