Rabu, 28 Pebruari 2007

Ada Sapi Perah di Metropolitan

Integrasi manusia dan ternak bukan sesuatu hal yang aneh bila berada di pedesaan atau kawasan peternakan. Namun, itu menjadi luar biasa kalau terjadi di kota metropolitan Jakarta.

Di antara sesaknya penduduk ibukota, terselip 800 ekor sapi perah yang dapat berproduksi dengan baik. Demikian gambaran nyata sentra sapi perah di Pondok Rangon, Jakarta Timur.

Ratusan sapi perah tersebut menyatu dengan pemukiman peternaknya di suatu kawasan seluas 40 hektar. Sentra ini hasil relokasi usaha peternakan sapi perah dari daerah Kuningan Timur, Jakarta Selatan, yang sekarang menjadi salah satu pusat perkantoran megah.

 

Relokasi

Terbentuknya sentra sapi perah Pondok Rangon, menurut Haji Romli, diawali dengan kerelaan dirinya direlokasi ke kawasan itu pada permulaan 1992. Keputusannya berdasarkan perhitungan, “Hasil usaha akan lebih baik dibandingkan tetap bertahan karena di sini akan dikelola dengan lebih baik,” ungkapnya ketika ditemui AGRINA.

Setelah Romli, barulah rombongan besar peternak lainnya mengikuti pada awal tahun berikutnya.

Keputusan pindah tersebut ternyata tidak salah. Peternak mendapat kompensasi lahan 20 kali lipat. Untuk setiap 1 meter lahan di Kuningan Timur, peternak memperoleh ganti  menjadi 20 meter di Pondok Rangon.

Berbekal kemampuan beternak sebagian besar peternak sapi perah yang diperoleh secara turun-temurun serta dukungan nyata dari Pemda DKI Jakarta dan pemerintah pusat, peternakan sapi perah Pondok Rangon pun akhirnya berkembang dengan baik.

Bentuk dukungan itu antara lain berupa layanan Pos Kesehatan Hewan yang siap 24 jam. “Mereka (para pegawai pos, Red.) selalu melakukan kontrol ke kandang dan setiap 3 bulan sekali memvaksinasi sapi,” terang Haji Hasanudin, salah satu peternak kelompok Pondok Rangon.

Populasi sapi perah pun terus mengalami peningkatan, dari sekitar 200—300 ekor, sekarang telah berkembang menjadi 800 ekor. Usaha peternakan sapi perah ini dapat memberikan peningkatan kesejahteraan bagi 25 kepala keluarga pengelolanya.

Kesejahteraan itu dinikmati Hasanudin. Pada awalnya ia hanya memelihara 5 ekor sapi, kini bertambah jadi 35 ekor. Kesejahteraan hidup keluarganya pun ikut meningkat. “Anak saya yang pertama saja sudah lulus dari Universitas Indonesia karena sapi perah kok,” ungkap Pak Udin, demikian sapaan akrabnya, dengan nada bangga.

 

Produksi Tinggi

Selama ini para peternak Pondok Rangon mampu berproduksi cukup tinggi. H. Romli yang memiliki 150 ekor mampu menghasilkan sekitar 14—15 liter/ekor/hari. Jika produksi sedang optimal bisa mencapai 16—18 liter/ekor/hari. Begitu pula hasil perahan Udin yang berkisar 15—18 liter/hari/ekor.

Namun saat AGRINA mengunjunginya minggu lalu, produksi susu sapinya tengah mengalami penurunan, 10—12 liter/ekor/hari, karena banyak yang tengah bunting muda (4—6 bulan).

Produksi susu para peternak tersebut tidak sulit dipasarkan. Setiap peternak menjalin hubungan dengan agen penjualan atau loper yang setiap pagi dan sore hari mendatangi peternakan mereka.

Udin sebagai contoh, mempunyai jaringan pemasaran dengan 11 agen yang tersebar di Jabotabek. “Memang pasar terbesar berasal dari Bekasi. Mereka bisa datang jam 4 pagi ke mari,” cerita Udin, peternak generasi ketiga ini.

Susu segar tanpa kemasan dari peternak dijual sekitar Rp2.700 per liter. Jika dikemas, harganya sedikit lebih baik, Rp3.000. Pengecer menjual kepada konsumen dengan harga Rp6.000—Rp7.000/liter.


Yan Suhendar

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain