Kasus tersangka flu burung kembali bermunculan di beberapa daerah. Berbagai kalangan pun panik dan reaktif dalam menyikapi persoalan tersebut. “Pemerintah kebakaran jenggot, lalu mengambil tindakan memusnahkan ayam yang diduga terserang AI (avian influenza/flu burung).
Hal ini terkait korban flu burung pertama pada manusia tahun ini terjadi di Indonesia sehingga menjadi sorotan dunia,” ungkap Don P. Utoyo, Ketua Forum Masyarakat Perunggasan Indonesia (FMPI).
Kejanggalan muncul karena hampir semua pasien yang diduga terserang flu burung, bukan pekerja di peternakan unggas. Sementara kita menyaksikan, mereka bekerja tanpa memakai masker atau pun sarung tangan.
“Masyarakat masih beranggapan, ayam sebagai salah satu sumber penyakit flu burung yang menular pada manusia. Tetapi realitas di lapangan, para peternak tidak mengalaminya,” papar Paulus Setiabudi, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU).
Ketika disimpulkan unggas yang mati di peternakan lantaran flu burung, ternyata petugas peternakan juga tidak ikut-ikutan jatuh sakit. Sampai kini, kenyataan itu masih menjadi tanda tanya besar.
Beberapa korban flu burung justru mereka yang tinggal jauh dari peternakan unggas, bahkan tidak memelihara unggas.
Wajar dan masuk akal bila sebagian masyarakat bertanya, mengapa kalangan medis dengan mudah menyimpulkan kalau ada orang yang demam tinggi langsung diduga terkena flu burung? Bukankah demam tinggi itu banyak penyebabnya?.
Padahal, bisa jadi korban sedang dalam kondisi tubuh yang lemah dan terkena flu ringan. Secara diagnosa hal ini normal dalam dunia kedokteran. Tapi sangat disayangkan jika langsung disimpulkan tertular flu burung.
Flu burung akibat virus H5N1 menunjukkan persamaan gejala dengan penyakit lantaran virus influenza lainnya. Seperti demam, batuk, pilek, sakit tenggorokan, sakit kepala, dan nyeri otot. Bahkan, demam berdarah (akibat virus) dan tipus (akibat bakteri) pun menimbulkan panas badan yang tinggi.
Memang, virus flu burung, selain bergejala demam tinggi, juga dapat mengakibatkan infeksi paru-paru, terganggunya saluran pernapasan, rusaknya bermacam-macam organ tubuh, sampai pada kematian.
Biasakan Hidup Bersih
Menurut Hartono, Ketua Umum Pinsar Unggas Nasional, yang membuat panik itu adalah pemerintah. Sebab, pemerintah tidak menjelaskan ke publik tentang petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis pencegahan flu burung. Akhirnya masyarakat tidak mengerti mesti berbuat apa.
Sampai sekarang, pemerintah belum menemukan bagaimana kronologis korban yang meninggal bisa sampai tertular flu burung. Namun, menyikapi kembali merebaknya flu burung, sesungguhnya tak perlu panik.
Lupakan penularan lewat mengonsumsi daging unggas. Soalnya, virus flu burung menular melalui saluran pernapasan, bukan saluran pencernaan. Jelasnya, bukan lantaran makan daging ayam atau unggas lainnya. Sehingga tidak beralasan muncul ketakutan memilih menu daging ayam.
Oleh sebab itu, untuk mencegah penularan flu burung bukan dengan cara tidak mengonsumsi daging ayam, melainkan rajin menjaga kebersihan. Perhatikan selalu kebersihan diri dan lingkungan dengan baik setiap saat.
Pelihara kebersihan tangan dengan rajin mencuci menggunakan sabun, terutama sebelum makan, memegang hidung dan mulut. Tutup mulut dan hidung Anda dengan kertas tisu ketika batuk atau bersin. Buang kertas tisu kotor ke dalam tempat sampah yang bertutup, lalu cuci tangan dengan benar.
Selain itu, waspadai hewan peliharaan Anda, burung liar, dan lalat. Soalnya, menurut Prof. drh. HR. Wasito, M.Sc., Ph.D., peneliti virus AI dari UGM, lalat berperan dalam menularkan virus flu burung.
Sementara menurut Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, dari Fakultas Kedokteran Hewan IPB, virus AI juga dijumpai pada kucing.
Para peternak tetap mesti menjaga kebersihan sekitar kandang, atau melaksanakan biosekuriti. Seperti mensterilkan peralatan kandang dan kendaraan yang keluar masuk lokasi peternakan, menyeleksi pengunjung yang datang ke kandang, dan mencegah masuknya unggas atau burung liar.
Terus-menerus
Pengawasan teratur terhadap peternakan merupakan langkah yang harus terus dilakukan pemerintah, seiring munculnya kembali kasus flu burung. Soalnya, menurut Paulus, upaya pengendalian flu burung yang dilakukan pemerintah dalam 3 tahun terakhir masih jauh dari harapan.
Paling tidak, langkah besar yang ditempuh Pemda DKI bisa menjadi acuan. Pada 17 Januari 2007, Pemda DKI menerbitkan Peraturan Gubernur DKI No.5/2007.
Peraturan itu menyebutkan: mulai 17 Januari 2007 masyarakat agar meniadakan unggas di pemukiman secara sukarela; mulai 1 Februari 2007 dilarang memelihara unggas di pemukiman; unggas hias/hobi harus bersertifikat; tempat penampungan pemotongan dan penjualan unggas hidup direlokasi secara bertahap; dan lalulintas unggas hidup akan diatur kemudian.
Adanya aturan ini bagi DKI Jakarta, memang layak diberlakukan karena sebagai kota metropolitan dengan kepadatan penduduk yang cukup tinggi.
Sepatutnya, dapat memperbaiki kondisi pasar tradisional yang ada selama ini, dengan digantikan Tempat Pemotongan Ayam (TPA) dan Rumah Pemotongan Ayam (RPA) yang sehat.
Menurut Don P Utoyo, bagi daerah lainnya, aturan ini belum tentu tepat, karena akan berdampak pada peternakan ayam yang telah lama ada di daerah.
Maka jika ingin menerapkan, perlu dikaji lagi melalui Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) yang lebih jelas dan terbuka, sehingga tidak mematikan usaha ternak yang sudah menghidupi rakyat banyak.
Dadang WI, Yan Suhendar