Dalam musim tanam dua tahun lalu misalnya, ia memperoleh tak kurang dari 700 ton cabai dari 35 hektar (ha) lahan yang panen. Dengan biaya produksi Rp3.000/kg dan harga cabai waktu itu mencapai Rp15.000/kg, dapat dihitung berapa keuntungan pria yang akrab dipanggil dengan Abah Muhid ini.
Petani asal Desa Wajak, Pasuruan, Jawa Timur ini, mengelola kebun cabai yang tersebar di Jawa Timur, yaitu Pasuruan (Semeru), Probolinggo (Bromo), serta Malang (Poncokusumo, Nongkojajar, Sumberejo, Bareng, dan Tumpang)
Untung Sampai 400%
Sebanyak 10% kebun cabainya merupakan milik Abah Muhid sendiri dan sisanya adalah lahan sewa. Ia juga menerapkan konsep kemitraan dalam menjalankan usaha tani cabainya. Dalam hal ini, ia memenuhi semua sarana produksi yang dibutuhkan petani mitranya. Selepas panen, petani mitra mendapat 20—30% dari keuntungan. “Siapa saja boleh ikut bermitra, asal jujur,” katanya.
Walaupun kerap meraup keuntungan, Abah Muhid juga tak lepas dari kerugian. Hal itu terjadi pada saat harga semua sayuran, termasuk cabai dan tomat jatuh. Namun, ia tak patah semangat dan tetap merawat tanamannya. Alasannya, “Karena harga sewaktu-waktu dapat naik dan kita tidak tahu kapan.”
Selain menjual di kebunnya, sejak 1999 pemasaran cabai produksinya sudah bisa menembus Pasar Induk Kramatjati, Jakarta dan Pasar Induk Cibitung, Bekasi. Setiap hari, rata-rata ia mengirim 5—10 ton cabai untuk mengisi lapaknya di pasar tersebut. “Alhamdulillah sekarang sudah memiliki delapan lapak yang saya beri nama MHM,” ungkapnya.
Harga cabai yang turun naik jelas mempengaruhi keuntungan Muhid dan petani cabai pada umumnya. Namun, “Dengan harga rata-rata Rp10.000—Rp12.000/kg, keuntungan bisa sampai 400%,” beber Muhid mantap.
Apalagi menjelang Lebaran atau hari-hari besar lain, harga cabai bisa melonjak hingga Rp20.000/kg, bahkan pernah Rp40.000/kg. Tak mengherankan bila menyongsong Lebaran, banyak orang ikut-ikutan bertanam cabai.
Bekas Tebu Paling OK
Melongok kebun cabainya, tepatlah jika ia dikatakan petani sukses. Selain luas, tanaman cabainya terlihat subur dan terawat baik. “Alhamdulillah tanaman saya bagus. Hampir semua merek bibit pernah saya pakai, tergantung dari kemantapan hati,” ujar Abah Muhid yang saat ditemui AGRINA.
Menurut Muhid, tidak ada rahasia dalam budidaya cabai, tetapi ia selalu teliti dalam penggunaan pupuk, pestisida, dan pengelolaan tanah. Selain pupuk kimia, ia memanfaatkan pupuk organik berupa kotoran ayam, kambing, dan sapi. Penggunaan pestisida juga ia perhitungkan benar dan disesuaikan dengan tingkat serangan hama atau penyakit.
Lain halnya dengan pemilihan jenis tanah untuk lahan budidaya cabai. Menurut Muhid, tanah yang cocok untuk bertanam cabai ada dua jenis, yaitu tanah berpasir dan tanah liat. “Keduanya tidak masalah asalkan belum pernah ditanami sayuran. Kalau tanah terus-terusan ditanami sayur, hasilnya tidak bagus,” terangnya.
Itulah sebabnya pergiliran tanaman menjadi penting. Ia selalu menanam palawija (jagung) usai panen cabai dan tomat. “Dulu usaha saya tidak berkembang karena tanah keseringan ditanami cabai dan tomat. Daunnya memang bagus daunnya tapi buahnya kurang,” katanya bercerita.
Namun, kalau boleh memilih, Abah Muhid akan menyewa atau membeli lahan bekas tanaman tebu untuk budidaya cabai. Pasalnya, “Cabai yang ditanam pada lahan bekas tebu hasilnya luar biasa,” lagi-lagi tak segan ia mengungkap pengalaman berharganya.
Indah Retno Palupi