Tertarik menjadi peternak ayam karena adanya kepastian ongkos produksi yang diusahakan dalam satu siklus produksi (35—40 hari). Ini dibandingkan, hanya sekadar menjadi pedagang ayam saja.
Demikian pemikiran Didiek Aris Hartanto, pemilik UD Broiler Arisa di Mangunharjo, Sleman, Yogyakarta. Dengan dasar itu, pada awal 2003, ia mencoba beternak ayam broiler (pedaging) sebanyak 2.000 ekor ayam pada satu kandang sewaan. Biaya sewanya jika dihitung per ekor Rp150.
Dengan modal Rp2 juta untuk pembelian anak ayam (DOC) dan pakan pinjaman dari salah satu perusahaan pakan, pria kelahiran 1966 ini yakin usahanya akan berhasil. Usai siklus produksi pertama, ayamnya laku dijual seharga Rp8.000/ekor. Hitung-hitung ia memperoleh keuntungan sekitar Rp7 juta—Rp8 juta.
Tersandung Flu Burung
Tertarik hasil pemeliharaan pertama, Aris, begitu ia biasa disapa, lalu menaikkan jumlah ayam yang dipeliharanya menjadi 3.000 ekor. Kali ini ia menggunakan kandang sendiri yang dibangun dari keuntungan pemeliharaan pertama. Periode selanjutnya populasi ayamnya terus dinaikkan sampai 30.000 ekor.
Untuk memudahkan mengetahui informasi harga anak ayam, jumlah anak ayam yang tersebar, dan strategi mengatasi berbagai penyakit, Aris bergabung dengan Asosiasi Peternak Ayam Yogyakarta (APAYO) dua tahun silam.
Sayang, keasyikan usaha budidaya ayam Aris terganggu serangan penyakit avian influenza (AI) alias flu burung pada 2004. Ditambah adanya kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) tahun berikutnya, UD Broiler Arisa pun mengalami kerugian. Populasi ayamnya pun anjlok sampai 10.000 ekor, jadi tinggal 20.000 ekor.
Ketika wabah flu burung mereda, jumlah ayam dipelihara Didiek secara bertahap ditingkatkan kembali. Saat ini jumlah populasinya kembali ke angka 30.000 ekor yang tersebar di 7 kandang di Sleman dan Klaten. Tiga dari tujuh kandang itu milik sendiri berkapasitas 18.000 ekor, selebihnya sewaan. “Target tahun 2007 ini, saya ingin mencapai 50.000 ekor,” ungkap Aris yang asli Yogkarta ini.
Subsidi Silang
Berkembangnya UD Broiler Arisa, tidak lepas dari pola manajemen yang telah diterapkan selama ini. Dengan bermodalkan Rp12 juta, Aris menjadi pedagang ayam pada 1999. Kegiatan berdagang ayam ini sampai sekarang masih dijalaninya. Hal ini pula yang membuat UD Broiler Arisa mampu melakukan subsidi silang antara usaha sebagai pedagang ayam dan beternak.
Dalam subsidi silang ini, ketika harga ayam yang jatuh seperti saat ini, keuntungan yang ia peroleh lebih banyak dari berdagang ayam. Sebaliknya, “Jika, harga ayam sedang bagus, tentunya keuntungan akan diperoleh lebih besar dari penjualan ayam hasil ternak sendiri,” ungkap Aris.
Sekarang Aris memperdagangkan ayam yang 70% merupakan produksi sendiri, dan sisanya disuplai peternak broiler lain. Berbeda sebelum terjun juga sebagai peternak, seluruh ayamnya hasil produksi peternak ayam di Yogyakarta dan sekitarnya.
Model transaksinya, ia memberikan modal ayam dulu kepada agen atau pengecer. Setelah 1—2 minggu baru dilakukan penagihan pembayaran ayam yang dititipkan.
Harga ayam saat ini di kandang masih rendah, berkisar Rp5000—Rp6000/ekor, masih rendah dari harga standarnya, Rp8.000—Rp10.000/ekor. Padahal harga pakan melambung sampai Rp.3.064/kg, lebih tinggi ketimbang harga sebelumnya Rp2.600—Rp2.800/kg karena kenaikan harga bahan baku. Sedangkan harga anak ayam Rp1.500—Rp2.000/ekor.
Jadi, ongkos produksi sudah mencapai Rp7.000—Rp8.000/ekor. Cukup merugikan memang. Untunglah, kegiatan jual beli ayamnya masih bisa diharapkannya sehingga dapurnya tetap ngebul.
Yan Suhendar