Tahun ini pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 6,1%, tingkat inflasi 7,5%, suku bunga Bank Indonesia 8,5%, dan nilai tukar rupiah stabil pada Rp9.300. Suatu kondisi yang cukup baik untuk menggerakkan sektor riil menjadi lebih bergairah dan akhirnya mendongkrak daya beli masyarakat.
Di ujung inilah industri unggas menaruh harapan besar. Pasalnya, dengan meningkatnya daya beli, konsumsi masyarakat akan daging dan telur ayam semakin tinggi. Bergeraklah “gerbong” industri unggas dan pendukungnya.
Daya beli saja tentu tak cukup. Masih banyak yang perlu mendapat perhatian agar harapan itu tak sekadar harapan. Perbaikan iklim investasi supaya pemodal datang dan merasa nyaman berbisnis. Peningkatan dan pembangunan infrastruktur yang ditekadkan pemerintah berjalan pada 2007 diharapkan mendatangkan efek positif beruntun terhadap bisnis.
Peningkatan pengetahuan masyarakat umum tentang gizi, terutama protein hewani, yang akan menaikkan konsumsi produk unggas. Lebih jauh soal peningkatan konsumsi produk unggas, pelaku bisnis menyerukan kepada pemerintah untuk mendorong pembangunan lebih banyak lagi fasilitas rumah potong unggas.
Tujuannya agar produk unggas yang dikonsumsi masyarakat lebih bersih dan higienis. Caranya dengan membebaskan pajak pertambahan nilai (PPN) bagi produk pertanian, termasuk unggas dan produknya.
Hal lain yang juga tak kalah penting adalah pengendalian penyakit flu burung pada unggas dan manusia dengan tindakan nyata dan segera secara lebih terkoordinasi. Bila masalah ini tak kunjung selesai, industri unggas akan terancam.
Begitulah harapan dan optimisme pelaku industri unggas seperti disampaikan Paulus Setiabudi, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU) mewakili industri unggas dalam seminar “Indonesian Poultry Outlook 2007” di Jakarta (2/12).
Tetap Tumbuh
Tahun ini, menurut Paulus Setiabudi, yang juga Senior Vice President PT Charoen Pokphand Indonesia, industri unggas memasang target produksi anak ayam umur sehari (day old chick-DOC) sebanyak 1,15 miliar (pedaging/broiler) dan 65 juta (petelur/layer).
Sebelumnya produksi anak ayam masing-masing 1,075 miliar dan 60 juta ekor. Ini berarti naik masing-masing 7% dan 8,3% dari angka tahun silam. Sementara produksi pakan unggas (tidak termasuk itik dan burung puyuh) diproyeksikan dari 6,56 juta ton menjadi 7,01 juta ton, atau naik 6,85%.
Berdasarkan target tersebut, industri unggas nasional dapat memproduksi daging ayam 1,122 juta ton dan telur 1,332 juta ton. Dengan produksi sebanyak ini, diharapkan jumlah konsumsi perkapita daging ayam broiler masyarakat Indonesia naik dari 4,62 kg menjadi 5,06 kg/orang/tahun. Sedangkan konsumsi telur perkapita membaik dari 5,62 kg menjadi 6 kg/orang/tahun.
Kalau hal itu tercapai sampai akhir tahun ini, posisi Indonesia masih terbilang rendah di antara negara-negara Asean. Hanya lebih baik daripada Vietnam yang angkanya sekitar 3,5 kg.
Namun mesti diingat, masyarakat negara itu juga mengonsumsi daging babi sebagai sumber protein hewani, sedangkan Indonesia relatif hanya mengandalkan unggas. Filipina, Thailand, Singapura, apalagi Malaysia sangat jauh meninggalkan kita sampai 38,5 kg.
Di satu sisi angka konsumsi ayam tersebut memprihatinkan karena mempengaruhi kualitas sumberdaya manusia yang juga rendah. Namun di sisi lain, itu jelas peluang bisnis sangat besar bagi industri perunggasan nasional seiring membaiknya pendapatan masyarakat meningkat kelak yang tentu berefek naiknya permintaan akan produk unggas.
Masih Banyak Kendala
Harapan memang selayaknya digantungkan cukup tinggi tetapi tetap masuk akal untuk dijangkau. Sepanjang 2006, industri unggas mengalami pukulan yang cukup berat.
Terutama industri pakannya yang dihadang lonjakan harga jagung sampai 50% terhitung dari awal tahun hingga akhir tahun. Hal ini karena seretnya pasokan jagung dalam negeri yang menyebabkan impor membengkak 4 kali lipat dalam kondisi suplai dunia makin seret pula.
Masih dalam industri pakan, pelaku bisnis mengalami hambatan dalam impor tepung daging dan tulang (meat & bone meal). Gara-garanya, Deptan tak ingin kecolongan pemasukan produk dari negara tak bebas penyakit mulut dan kuku serta sapi gila.
Belum lagi masalah penyakit avian influenza (AI) alias flu burung yang tak kunjung dapat terselesaikan sejak 2003. Malah peta penyakit makin menyebar. Meskipun demikian masyarakat tak lagi sepanik dulu ketika AI mula-mula berjangkit. Mereka mau mengonsumsi ayam kembali tetapi pemulihannya terganjal daya beli yang melemah.
Sementara itu industri pembibitan juga terkendala dalam mengimpor induk ayam dari negara-negara Eropa lantaran makin meluasnya sebaran penyakit AI di tataran dunia. Perusahaan pembibitan pun tidak dapat memenuhi harapan produksi yang mestinya 29 juta ekor DOC hanya tercapai 20 juta ekor per minggu. Kurangnya pasokan berimbas ke peternak, harga DOC tinggi ditambah harga pakan yang juga naik.
Dengan semua kendala yang telah terlewati itu, tahun ini industri unggas masih optimistis sembari menata diri. Mereka berharap pemerintah juga melakukan porsinya dengan baik.
Peni Sari Palupi