Demikian ucap Sri Mulyatun, Ketua Kelompok Pembudidaya Rumput Laut Tunas Baru kepada AGRINA di Desa Buwun Mas, Kecamatan Sekotong, Lombok Timur, Nusatenggara Barat (NTB). Maklum saja, sebelum ada rumput laut, penduduk desa itu kebanyakan mengandalkan sawah tadah hujan yang hanya panen setahun sekali untuk bertahan hidup.
Hadirnya rumput laut pada 1998 di wilayah tersebut seolah memberi angin segar bagi perekonomian warga setempat. Apalagi, sejak Ditjen Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan, mengucurkan dana Rp2 miliar melalui program penguatan modal (DPM) pengembangan rumput laut di NTB.
Minimal Rp300.000/Bulan
Kelompok Pembudidaya Rumput Laut Tunas Baru adalah satu dari 34 kelompok yang mendapat penguatan modal usaha di NTB. Pertengahan Juli 2006, kelompok ini memperoleh kucuran dana sebesar Rp136 juta yang dibagikan kepada 28 anggotanya. “Tiap anggota kami, rata-rata mendapat Rp5 juta,” terang Sri Mulyatun.
Pinjaman modal itu digunakan untuk membeli sarana budidaya rumput laut dan membayar tenaga kerja usaha budidaya rumput laut. Dari penjualan hasil panen, dana berbunga rendah ini (6%) kemudian dikembalikan melalui BRI dalam jangka waktu 3 tahun.
Di Sekotong, sekarang terdapat sekitar 9 hektar (ha) areal rumput laut jenis Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum. Satu kilogram rumput laut kering jenis E. cottonii dijual dengan harga Rp4.300/kg, sedangkan jenis E. spinosum hanya Rp2.000/kg. “Rumput laut jenis cottonii dijual pada pengumpul, sedangkan yang spinosum dikonsumsi sebagai sayur,” ujar Atun, sapaan akrabnya.
Budidaya rumput laut di Sekotong menggunakan sistem patok agar terhindar dari sapuan ombak yang cukup besar di perairan ini. Tiap unit berukuran 1 are (10 x 10 m2). Tiap petani rata-rata memiliki 10 unit dengan produksi sekitar 150 kg rumput laut kering/unit/musim tanam atau 1.500 kg/petani/musim tanam.
Di sana budidaya rumput laut hanya berlangsung selama 6 bulan/tahun, yaitu mulai Mei hingga Oktober. Menurut Atun, di luar bulan-bulan tersebut curah hujan terlalu tinggi sehingga tumbuh ais-ais (hama). Hama ini menyebabkan rumput laut rontok.
“Dari usaha rumput laut yang bisa dikerjakan 3—4 jam/hari, kami bisa mendapat penghasilan minimal Rp300.000/bulan,” aku Atun. Sisa waktu mereka dihabiskan untuk bekerja di tempat lain, misalnya berdagang kecil-kecilan, mengembala sapi, atau ke ladang.
Kurangi Kemiskinan
Geliat bisnis rumput laut di NTB saat ini memang tengah marak. Setelah 12 tahun dikembangkan oleh petani rumput laut setempat, NTB sekarang mampu menghasilkan tak kurang dari 50.000 ton rumput laut basah atau 7.000 ton rumput laut kering per tahun. Menurut Lalu Wardi, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan NTB, produksi rumput laut didorong melalui penyediaan kredit murah dan pembinaan yang terus menerus.
Sosialisasi pengembangan rumput laut di wilayah ini cukup unik karena melibatkan ulama atau dalam bahasa setempat disebut Tuan Guru. Biasanya, para ulama tersebut menyelipkan “pesan-pesan sponsor” dinas setempat dalam khotbah Jumat.
Bahkan, ada juga pengurus pondok pesantren yang turut mengelola usaha budidaya rumput laut dengan melibatkan para santrinya. Salah satunya, pesantren di Lombok Timur yang dipimpin Tuan Guru Nuh. Pesantren tersebut, menurut Lalu Wardi, mendapat 4 unit kredit usaha budidaya rumput laut.
“Rumput laut sengaja dipilih sebagai salah satu program revitalisasi perikanan di NTB karena tidak membutuhkan modal besar sehingga diharapkan dapat cepat mengentaskan kemiskinan,” ujar Lalu Wardi. Menurutnya, sebelum ada pengembangan rumput laut, wilayah Sekotong sangat kumuh. Sekarang, rumah-rumah semi permanen mudah ditemukan di wilayah itu.
Saat ini tak kurang dari 10.000 petani rumput laut di NTB. Mereka tersebar di wilayah Sekotong, Gerupuk (Lombok Tengah), Selilit (Lombok Timur), Sumbawa, dan Bima. Produksi rumput laut dari wilayah ini diperdagangkan hingga ke Denpasar, Surabaya, dan Jakarta untuk selanjutnya diproses sabagai bahan baku makanan, kosmetik, dan farmasi.
Enny Purbani T.