Rabu, 24 Januari 2007

Swasembada Beras Lestari Mungkinkah Tercapai?

Pada 1984 Indonesia mencapai swasembada beras dan 20 tahun berikutnya status itu baru dapat dicapai kembali. Dan sejak itulah Indonesia mencanangkan program swasembada beras lestari.

Bila dikaji lebih jauh, keberhasilan swasembada 1984 banyak ditentukan oleh adanya introduksi varietas padi produksi tinggi dan kebijakan pemerintah yang memihak. Pada era itu, manajemen digerakkan dengan pola Bimbingan Masyarakat (Bimas) yang bersifat sentralistik dan komando dari pusat.

Sedangkan keberhasilan pencapaian swasembada tahap kedua lebih didorong oleh kepentingan bersama para stakeholders yang dikoordinasi melalui Program Aksi Masyarakat Agribisnis Tanaman Pangan (Proksi Mantap). Saat itu otonomi Badan Pengendali BIMAS sudah tidak ada.

Belakangan ini tingkat pertumbuhan produksi beras melandai dan pola gerakan “hampir tidak ada”. Dalam kondisi seperti itu, mungkinkah Indonesia dapat melestarikan swasembada beras seperti tercantum pada roadmap yang dikeluarkan Deptan?

Kenyataannya, setelah dua tahun program tersebut diluncurkan, Indonesia justru melakukan impor beras, meskipun 95% kebutuhan beras dapat dipenuhi dari dalam negeri. 

Namun, setelah beras impor masuk suasana perberasan dalam negeri tidak serta merta menjadi kondusif. Malah terjadi kenaikan harga di luar perhitungan, Rp600/kg dalam waktu 11 hari saja. Ini belum pernah terjadi dalam 30 tahun terakhir.

Situasi ini sampai menyebabkan Presiden SBY menginstruksikan operasi pasar kepada Bulog.  Pertanyaannya, bagaimana dengan program swasembada beras lestari tersebut?

 

Hibridisasi

Program swasembada lestari tersebut sebenarnya bukanlah program yang tidak bisa dicapai atau tidak realistis. Asalkan, Indonesia mencontoh yang  dilakukan  China,  India, Vietnam, Thailand, dan Filipina dengan mengembangkan program padi hibrida secara besar-besaran. Di Filipina pencanangan hibridisasi padi dilakukan Presiden Fidel Ramos dan dilanjutkan sampai Arroyo.

Negara-negara tersebut mengganti varietas yang ada sekarang (inbrida) dengan padi hibrida karena produktivitas rata-ratanya lebih tinggi 30% daripada potensi inbrida. Produktivitas rata-rata padi inbrida sekitar 4,5 ton/ha, sedangkan potensi hasil hibrida di atas 8 ton/ha.

Peluang yang sama sebenarnya juga dimiliki Indonesia karena Deptan sudah melepas 31 varietas padi hibrida. Jumlah tersebut lebih banyak dibandingkan dengan Filipina, misalnya dengan areal mencapai 400.000 hektar.

Pengembangan padi hibrida di China telah mencakup 50% dari seluruh areal tanaman padi dengan rata-rata produksi nasional 7 ton/ha. Keberhasilan pengembangan padi hibrida di negara-negara itu sangat berkaitan dengan dukungan  kuat dari pemerintah masing-masing.

Akankah swasembada beras lestari bisa tercapai di negeri tercinta ini? Secara teknis jawabannya bisa, jika Indonesia melakukan gerakan pengembangan padi hibrida.

Hal senada juga dikatakan Dr. Kurst, pemulia padi penghasil varietas IR64 yang sangat populer di dunia, pada forum International Rice Congres di India 10—13 Oktober 2006. Di samping itu, perlu juga dilakukan pola gerakan seperti pada era orde baru yang disesuaikan dengan kondisi saat ini (era otonomi daerah).


Ir. Maxdeyul Sola, MM, Sekjen Dewan Beras Nasional

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain