Untuk mendorong kinerja ekspor hasil perikanan, Indonesia perlu meningkatkan kemampuan di bidang market intelligence agar dapat mewaspadai pesaing-pesaing baru dan mencari pasar-pasar alternatif.
Beberapa pesaing yang perlu diwaspadai, yaitu Thailand, China dan Vietnam. Thailand menjadi pemasok udang segar dan olahan, terbesar di dunia. Upaya peningkatan ekspor dilakukan pula melalui jalur-jalur nontradisional seperti adanya jaringan rumah makan Thai di luar negeri, jaringan “primordial” warga Thai yang menikah dengan orang asing atau bekerja di luar negeri.
China juga mengembangkan budidaya udang secara modern dan agresif. Total areal tambak udang di sana pada 2003 saja sekitar 263,203 ha dengan total produksi 310.750 ton.
Luas tambak dan produksi udang masih akan terus bertambah apalagi dengan dikembangkannya sistem in-house shrimp production. Tujuan ekspor udang dari China terutama ke Jepang, Spanyol, Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Taiwan. China adalah pemasar yang handal terbukti dengan terus naiknya pangsa pasar udang dalam beberapa tahun terakhir.
Vietnam menunjukkan produksi dan ekspor hasil perikanannya meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir ini. Produksi udang budidayanya terus tumbuh hingga negara ini telah menggambil alih posisi Indonesia sebagai eksportir udang nomor satu ke Jepang pada 2004.
Pesaing lain yang perlu diwaspadai adalah Arab Saudi dan Iran. Arab Saudi telah mengembangkan industri tambak udang secara progresif dan modern. Negara ini menjadi pemasok utama udang di kawasan Timur Tengah dan secara agresif terus mengembangkan akses pasar ke negara lain.
Sementara itu, Iran juga terus gencar meningkatkan produksi udang tambak. Saat ini jumlah pengusaha udangnya sebanyak 42 orang dengan perkiraan akan bertambah menjadi 114 pengusaha pada lahan seluas 4.000—1.200 ha.
Efisiensi Biaya dan Diversifikasi
China adalah salah satu negara yang dapat menerapkan biaya rendah dalam membesarkan udang, yaitu sekitar US$2/kg dibandingkan Thailand sekitar US$3,2—US$3,7/kg atau 60—85% lebih tinggi dari China. Sementara biaya produksi udang di Indonesia rata-rata jauh lebih tinggi, US$6 dolar/kg.
Kecuali menekan biaya produksi, Indonesia perlu mengikuti langkah China dalam memproduksi udang organik. China memproduksi hairy shrimp, white hair rough shrimp, dan moixa. Dengan memproduksi berbagai jenis udang yang beragam, Cina mempunyai peluang lebih luas untuk mengekspor udang sesuai permintaan konsumen.
Indonesia harus menyikapi dengan sungguh-sungguh kebijakan Komisi Eropa yang menerapkan zero tolerance terhadap residu antibiotik pada udang. Thailand secara bersungguh-sungguh telah memperbaiki sistem jaminan mutu.
Penerapan self-regulatory yang terukur dan sanksi berat bagi perusahaan yang melanggar ketentuan telah dinilai sebagai upaya serius oleh pihak Komisi Eropa. Kerjasama yang erat antara pemerintah dengan asosiasi terus digalakkan untuk memecahkan masalah ini.
Promosi Pasar Domestik
Total produksi udang di Thailand yang diekspor mencapai 70—80%. Hanya 20—30% yang dikonsumsi sendiri. Hal tersebut dapat menimbulkan masalah khususnya pada saat harga udang menurun.
Karena itu pemerintah dan pelaku bisnis mendorong konsumsi udang dalam negeri melalui saluran pemasaran langsung dari petambak ke konsumen. Langkah semacam ini juga perlu untuk dilakukan di Indonesia mengingat potensi pasar dalam negeri sangat besar.
Kita juga mempunyai tingkat konsumsi ikan rata-rata per kapita masih sangat rendah. Departemen Kelautan dan Perikanan telah melakukan berbagai upaya antara lain melalui penciptaan pasar dengan kampanye dan promosi makan ikan.
Saat ini juga telah dikembangkan upaya untuk perbaikan sarana dan prasarana pemasaran hasil perikanan yang lebih higienis. Dengan adanya fasilitas pasar yang higienis ini diharapkan akan dapat menghilangkan keengganan konsumen untuk berbelanja berbagai produk perikanan.
Lobi Pemasaran
Untuk mengatasi persaingan di kancah internasional, promosi dan lobi pemasaran harus ditingkatkan mengingat persaingan ketat di pasar global terhadap produk yang sejenis. Keikutsertaan pada pameran internasional dan promosi secara aktif ke negara-negara baru yang potensial untuk meningkatkan akses pasar merupakan langkah konkret.
Lobi pemasaran ini sangat diperlukan untuk meningkatkan akses pasar dan memecahkan berbagai hambatan ekspor. Belajar dari pengalaman Filipina yang begitu gigih memperjuangkan penurunan tarif bea masuk bagi tuna kaleng.
Lobi secara intensif dilakukan mulai dari Presiden hingga beberapa Menteri dan diplomat senior di berbagai fora internasional dan bilateral. Thailand dan Malaysia juga aktif melakukan misi dagang ke calon pembeli yang potensial.
Citra mutu produk Indonesia penting terus menerus digaungkan dan dilaksanakan oleh semua pihak terkait. Hal ini mengingat bahwa persyaratan mutu dan sanitasi akan banyak dipakai sebagai hambatan non-tarif oleh negara-negara maju.
Indonesia boleh juga mencoba cara-cara penjualan atau sistem imbal beli. Karena itu, kerjasama antarsektor menjadi salah satu prasyarat yang perlu ditingkatkan.
Kemungkinan mengembangkan pemasaran melalui sistem future market dan pembentukan depo pemasaran di sentra-sentra produksi udang tampaknya perlu dikaji untuk kemungkinan penerapannya di lapangan.
Dr. Ir. Sumpeno Putro, Pemerhati Perudangan