Kamis, 11 Januari 2007

Gandeng Peternak Dengan Kepercayaan

Ketika orang sulit mencari pekerjaan lantaran imbas krisis ekonomi, Sigit Prabowo justru membangun usaha. Enam tahun lalu, pria asal Kebumen, Jawa Tengah, ini mendirikan Mitra Farm, peternakan ayam ras pedaging (broiler), di kawasan Cijeruk, Bogor, Jawa Barat.

Ia memilih jadi peternak broiler karena menurut analisis usaha yang ia ketahui saat bekerja di perusahaan pembibitan ayam, lebih cepat menghasilkan uang dan menguntungkan.

Dengan modal awal Rp40 juta, untuk membangun satu kandang, membeli anak ayam umur sehari (day old chick/DOC), pakan dan obat-obatan, Sigit mulai beternak. Modal sebesar itu ternyata cukup untuk memelihara 5.000 ekor.

Tiga bulan berselang, Sigit sudah menikmati hasilnya. Dengan harga jual Rp8.000/kg, kala itu, Sigit memperoleh keuntungan Rp10 juta/periode (30—40 hari). “Waktu itu enak dan untung besar, makanya banyak yang tertarik,” aku pria kelahiran 1954 itu.

 

Bermitra

Hanya dalam setahun, Sigit berhasil menambah satu kandang. Populasi ayam yang ia peliharapun bertambah menjadi 10.000—15.000 ekor/periode.

Terpacu oleh keuntungan yang besar, kurun 2001—2002, Sigit mencoba memperluas usaha melalui kerja sama dengan 8 peternak yang mempunyai kandang kosong.

Model kerja sama yang dikembangkan Mitra Farm adalah sistem sewa dan upah pengelolaan. Upah pengelolaan dihitung Rp150—Rp175/ekor. Bila hasil panennya bagus, kepada peternak mitranya, Sigit memberikan bonus. Sedangkan sistem sewa kandang dihitung Rp300/ekor.

Melalui sistem itu, jumlah ayam yang diusahakan Mitra Farm berkembang sampai 350.000 ekor. Dengan populasi sebanyak itu, Mitra Farm mampu menjaga keberlanjutan produksi, walaupun terjadi periode yang kurang menguntungkan.

Menurut Sigit, dalam memproduksi broiler selama satu tahun, terdapat 5 periode pemeliharaan yang bisa dijadikan prinsip usaha. Dalam 3 periode harus mampu mendapatkan untung, yaitu waktu Puasa dan Lebaran, musim liburan, dan satu periode lagi ketika ada bulan-bulan tertentu yang dianggap masih menguntungkan.

Dua periode yang tersisa, kemungkinannya impas atau bahkan merugi. “Yang jelas, kita harus mampu memprediksi periode pemeliharaan dengan tepat. Kalau meleset, otomatis akan rugi,” ucap lulusan D3, Akademi Peternakan, Yogyakarta, itu.

Untuk memperkecil kerugian, Sigit mencari informasi ke berbagai sumber. Selain itu, ia menerapkan cara tidak menunda panen, walaupun kondisi pasar kurang menguntungkan. “Jika panen ditahan, kerugian makin tinggi, akibat biaya produksi bertambah,” kilahnya.

Lantaran itu pula, selama budidaya, terkadang Sigit melakukan pemangkasan produksi, yang disesuaikan dengan prediksi pasar. Langkah ini bermanfaat, sebab kontinuitas pasokan bagi konsumen terjaga, meskipun dalam kondisi kurang menguntungkan.

“Cara ini pun berguna untuk mempertahankan pembeli tidak beralih ke peternakan lain,” urai Sigit.

Selama ini, Mitra Farm menjual hasil panen kepada pedagang besar (70%) dan pedagang eceran. Jual beli yang diterapkan kepada pedagang besar adalah pembayaran tunai. Sementara kepada pedagang eceran diberikan tempo pelunasan selama satu minggu sejak transaksi.

 

Jatuh Bangun

Seperti kata pepatah, mempertahankan lebih sulit dibandingkan membangun. Demikian pula yang dialami Mitra Farm.

Akibat wabah flu burung sejak 2003, ditambah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) tahun lalu, menyebabkan naiknya harga sarana produksi. Alhasil, biaya produksipun meningkat. Di lain pihak, daya beli masyarakat terhadap daging ayam cenderung turun. Dampaknya, Mitra Farm mengalami kerugian. “Saat itu populasi ayam di kandang sekitar 100.000—120.000 ekor,” kenang Sigit.

Sigit tidak patah arang. Ia tetap berupaya mempertahankan usahanya. Berkat hubungan baik dengan produsen sarana produksi, Mitra Farm memperoleh kepercayaan dari salah satu pabrik pakan. Bersyukur, Sigit mendapat kredit pakan yang tempo pengembaliannya satu tahun. Namun dalam 10 bulan ia mampu melunasinya.

Kini, Sigit dihadapkan kembali dengan naiknya harga pakan akibat melonjaknya harga jagung. Harga pakan naik rata-rata Rp300 menjadi Rp3.100—Rp3.200/kg. Begitu pula harga anak ayam, naik dari Rp.1.500—Rp2000/ekor menjadi Rp3.000—Rp3.500/ekor.

Setelah dihitung, biaya produksi seekor ayam naik menjadi Rp7.000—Rp8.000/ekor. Sementara, harga ayam di tingkat peternak hampir tidak berubah, berada pada kisaran Rp8.000—Rp.10.000/kg. Malah, dalam beberapa minggu terakhir anjlok menjadi Rp4.700/kg.

Memang, ketika sedang tinggi harganya bisa menembus Rp10.000—Rp12.000/kg. Namun ini tidak terjadi setiap saat. Hanya ketika Puasa, Lebaran, dan masa liburan panjang.

Fluktuasi harga yang tinggi tidak dijadikan alasan Sigit untuk meninggalkan peternakan broiler. Kesungguhan, keuletan, dan keyakinan kepada masa depan peternakan, mengokohkan niat Sigit untuk tetap berkiprah di usaha peternakan broiler.

Sekarang, walau tak sebanyak 4 tahun lalu, populasi broiler yang ia usahakan sekitar 150.000 ekor/periode, yang tersebar di 10 kandang di kawasan Bogor.


Yan Suhendar

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain