Kemarau panjang yang segera berlalu tahun ini berdampak melambungnya harga bahan pakan dan akhirnya membengkakkan biaya produksi bagi peternak sapi potong di kawasan Yogyakarta.
Bila dihitung-hitung secara bisnis, menurut Ir. Iswanto, Manajer Farm PT Semesta Buana Surya Jaya, perusahaan penggemukan sapi (feedlot) di Desa Sumbermulyo, Kec. Bambanglipuro, Kab. Bantul, biaya penggemukan sapi mencapai Rp17.000/kg. Sekitar Rp8.000 tersedot dalam pembelian pakan, selebihnya untuk membayar tenaga kerja, listrik, penyusutan, air, dan sebagainya.
Di antara komponen pakan, harga bekatul melonjak cukup nyata. Harga bekatul berkualitas bagus dari Rp1.000/kg pada masa sebelum bencana gempa melanda Yogya, dan kini menjadi Rp1.300/kg. Sedangkan biaya pembelian hijauan, khususnya jenis kalanjana, mencapai Rp5.000/ikat atau Rp2.500—Rp3.000 dari total biaya produksi daging per kilo.
Peternak yang tidak melakukan kiat tertentu dipastikan bakal merugi. Pasalnya, harga sapi hidup pada minggu pertama Desember baru mencapai sekitar Rp17.000—Rp18.000/kg. Apalagi harga sapi bakalannya saja naik dari Rp16.800/kg menjadi Rp18.500/kg.
Hal berbeda diungkap Haryanto, SPt, Staf Produksi PT Lembu Perkasa Karya Mandiri, feedlot. Beliau mengatakan biaya penggemukan sapi blasteran lokal di perusahaan yang kini memelihara 33 ekor sapi tersebut sekitar Rp10.000—Rp11.000/kg hidup. Angka yang sama juga diungkap Reza Ferari, peternak sekaligus pemotong sapi di kawasan Menteri Supeno, Yogyakarta.
Kiat Khusus
Menghadapi situasi yang kurang menguntungkan bagi usahanya, Iswanto mengaku harus melakukan kiat khusus untuk menekan biaya produksi. “Yang saya lakukan, mengurangi jatah konsentrat yang biasanya 8 kilo menjadi 5—6 kilo, meramu sendiri pakan, menambah porsi rumput kalanjana sampai sekenyangnya sapi,” ungkapnya.
Lebih jauh dikatakan Iswanto, dalam hal bekatul, ia mengoplos bekatul, dari kualitas bagus 25%, sedang 50%, dan kurang bagus 25%. Untuk meningkatkan nafsu makan sapi, ia menambahkan jamu-jamuan. Sementara pasokan rumput kalanjananya diupayakan dengan memperluas kebun sendiri.
Dengan trik seperti itu, biaya produksi bisa ditekan hingga sekitar Rp10.000/kg. Kualitas daging cukup bagus karena kadar lemaknya rendah dan kondisi seratnya bagus.
“Kalau biaya pakan di bawah Rp10.000/ekor/hari, pertambahan berat badan harian sapi tidak sampai satu kilo. Padahal usaha penggemukan itu kalau pertambahan berat badannya itu tidak di atas satu kilo, maka tidak jalan,” terang Siswanto yang kini mengelola 107 ekor sapi blasteran dan 30 ekor sapi Jawa.
Upaya yang dijalankan Iswanto memang mampu menekan biaya produksi tetapi ada konsekuensinya. Dengan periode penggemukan yang sama, 4 bulan, penambahan bobot rata-rata harian (average daily gain-ADG) berkurang 0,1 kg.
Menurut pengalamannya, kalau komposisi dan jumlah pakan seperti biasanya, sapi keturunan Simmental dapat mencapai ADG 1—1,25 kg, Limousin 1 kg, dan sapi Jawa 0,8 kg.
Sapi Kurban
Menghadapi Hari Raya Kurban (Idul Adha) yang jatuh pada 31 Desember, Iswanto dan Haryanto sudah mempersiapkan diri. Keduanya memelihara sapi Jawa, istilah untuk sapi berkulit putih, dengan kualifikasi fisik yang bagus.
Sapi itu harus jantan, minimal berumur 2 tahun, tidak cacat, dan tidak dikebiri. Pemeliharaan sapi kurban tidak selama sapi untuk dikonsumsi. Kalau sapi konsumsi butuh waktu 4 bulan, sapi kurban cukup 3 bulan.
Harga sapi kurban berbeda dari sapi potong konsumsi. “Harga pasaran sapi kurban sekitar Rp20.000/kg,” ujar Haryanto yang menjual sapinya ke sekitar Yogya, Kebumen, dan Wonosobo. Sementara itu, Reza memperkirakan harga dapat menembus angka Rp21.000/kg.
Ketika ditanya mengenai peluang meraih penjualan menjelang Hari Raya Kurban nanti, baik Haryanto maupun Iswanto mengaku optimis dapat menghabiskan isi kandang masing-masing.
Apalagi, “Kami punya pelanggan yang sudah memesan,” ujar Iswanto. Ia menambahkan, penjualan sapi kurban lebih banyak menggunakan sistem per ekor, bukan kiloan. Pasarannya bisa sekitar Rp5,5 juta/ekor.
Berbicara soal pasar sapi potong, Iswanto sempat memaparkan kondisi beberapa bulan pascagempa yang cukup memprihatinkan. Waktu itu sempat akses pasar para peternak sangat sempit, hanya mengandalkan pasar lokal, yaitu di Kecamatan Pleret dan Prambanan.
Terlebih, perusahaannya telah menjalin kemitraan berupa penjualan sapi potong dan pengambilan sapi bakalan dari para pelaku bisnis sapi potong di kedua wilayah tersebut. “Sampai sekarang kita tidak mengirim sendiri ke Jakarta atau tempat lain karena risikonya tinggi,” jelasnya.
Syukurlah saat ini pasar sapi potong sudah lebih baik meskipun daya beli masyarakat, terutama sekitar wilayah bencana, belum bisa diharapkan karena mereka memprioritaskan dana untuk rehabilitasi pemukiman.
“Sekarang serapan pasar sudah pulih. Kita kembali bisa menjual 15-20 ekor sapi per bulan. Mudah-mudahan pada lebaran haji nanti harga akan naik,” harap Iswanto.
Imam