Ternak ruminansia, termasuk sapi perah, memang rawan serangan cacing. Cacing pengganggu ini beragam jenisnya seperti cacing gilig, cacing pita, cacing pipih misalnya cacing hati dan trematoda, yang biasa terdapat di organ pencernaan.
Secara alami, jenis cacing ini pasti ada dalam tubuh sapi. Namun, selama populasinya belum mencapai ambang tertentu, cacing tersebut tidak mempengaruhi pertumbuhan sapi. Tiap jenis cacing berbeda ambang serangannya. Ada yang dalam jumlah sedikit sudah menyebabkan sapi sakit parah.
Ciri-ciri Cacingan
Tanda sapi perah terserang cacingan biasanya bisa tampak dari kondisi fisik, seperti lemah, kurang sehat, bulunya kusam, dan paling mudah bisa dilihat dari kotorannya yang terdapat larva cacing.
Bila tidak segera dilakukan pengobatan, kondisi fisik sapi akan menurun karena cacing ikut menyerap sari makanan dari dalam tubuh sapi. Bahkan serangan cacing pita dan cacing hati yang parah akan menyebabkan kematian.
“Pencegahan paling mudah adalah pemberian obat cacing secara rutin,” saran drh. Rositawati Indrati, MP, pakar penyakit ternak dari Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya Malang, Jatim, kepada AGRINA. Karena di Indonesia serangan tidak spesifik satu jenis cacing saja, Rosita menganjurkan penggunaan obat cacing berspektrum luas.
Sanitasi kandang penting dilakukan untuk menghindari kontak kotoran mengandung larva cacing dengan sapi sehat. Pakan yang berupa hijauan sebaiknya dilayukan dahulu guna menghindari larva cacing termakan oleh ternak bila diberikan dalam kondisi segar. Rosita menyarankan pula cara pemutusan siklus hidup cacing melalui penggembalaan ternak di luar kandang dalam waktu tertentu.
Pengalaman Eko, peternak sapi perah di Blitar, Jatim, dalam mencegah serangan cacing cukup dapat diandalkan. Dia mewaspadai sapi-sapi yang kelihatan kurus, bulunya kusam, napsu makannya besar tetapi produksinya rendah, dan sapi yang bau kotorannya amis.
Sapi-sapi dengan tanda seperti itulah yang diyakininya terkena cacingan. Untuk mencegah cacingan, dia memberikan obat cacing secara teratur, 1—2 bulan sekali, tergantung umur sapi.
Sementara untuk mengantisipasi adanya telur cacing dalam rumput gajah, dia meminumkan temulawak kepada sapi-sapinya sebulan sekali. Kecuali itu, sanitasi juga dilakukannya baik pada kandang maupun alat-alat pemberi pakannya.
Beberapa peternak sapi perah lain memberikan jamu-jamuan yang sifatnya juga mencegah serangan cacing. Misalnya, temu ireng dan ekstrak jambe untuk mengatasi serangan cacing pita, biji waluh/labu dalam pengobatan serangan cacing.
Pemberian bahan obat tradisional tersebut, berdasarkan pengalaman mereka, memberikan manfaat yang nyata. Kini studi tentang pemberian jamu-jamuan ini sudah mulai dilakukan beberapa lembaga penelitian.
Cacing Taxocara
Umumnya serangan cacing dapat terlihat dari kondisi fisik sapi dan kotorannya. Namun ternyata ada jenis cacing yang tidak terlacak dari keadaan fisik sapi maupun penampakan kotorannya.
“Jenis cacing Taxocara vitulorum tidak bisa dilihat larvanya pada kotoron. Malah saat susunya disaring baru diketahui serangannya,” ungkap Rositawati yang telah melakukan penelitian pelacakan Taxocara ini.
Taxocara termasuk larva viseral, baru bisa lihat larva pada kotoran pedet (anak sapi) yang menyusu induk terserang. Bila tidak terdeteksi sejak dini, dikhawatirkan induk sapi perah yang terserang cacing jenis ini akan menularkan pada anaknya.
Untuk pencegahan, pedet harus rutin diberi obat cacing sampai berumur 6 bulan.
Sapi perah dewasa yang terserang Taxocara tidak terlihat sakit, tetapi kualitas susunya akan menurun. Bila diperiksa secara teliti, pada susunya jelas akan mengandung larva Taxocara.
Meskipun sekarang paparan Taxocara pada susu belum masuk standar susu yang dikirim ke industri susu (malcodex /SNI ternak), pada masa mendatang dimungkinkan penolakan dari pihak industri susu karena cemaran cacing tersebut.
“Untuk itu telah dilakukan penelitian serodiagnotik, yaitu pemeriksaan serum sapi terserang dengan mengambil larva untuk dihasilkan antigen sehingga keberadaannya bisa dilacak,” jelas Rositawati.
Proses serodiagnotik tersebut, menurut Rosita, sudah dipatenkan oleh Fakultas Peternakan Unibraw. Melalui serodiagnotik dengan cepat, sapi yang terserang masih bisa diobati. Diharapkan, dengan penelitian lanjutan didapatkan hiperimun serum untuk pengobatan sapi terserang Taxocara.
Tri Pranowo