Pelaku budidaya di Pulau Tanjung Putus, Lampung, mengembangkan kerapu sejak enam tahun silam. Sebanyak 30 orang yang tergabung dalam Forum Komunikasi Kerapu Lampung (FOKKEL) membudidayakan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) dan kerapu tikus (Cromileptis altivelis ) di keramba jaring apung (KJA). Rata-rata anggota FOKKEL itu memiliki 100 petak KJA.
Selama ini mereka menjual kerapu konsumsi, minimal berukuran 500 gram/ekor, kepada pembeli dari Hongkong yang datang ke lokasi budidaya dengan kapal.
Pembeli ini memborong kerapu hidup untuk dibawa ke China dan sedikit Singapura.
Harganya memang cukup menggiurkan. Menurut Bangun Sitepu, Ketua FOKKEL, “Di Lampung, harga ikan kerapu tikus saat ini ambil di tempat mencapai US$45/kg, sedang kerapu macan hanya US$8—US$9/kg. Harga kerapu macan masih berubah-ubah sesuai permintaan pasar, sedang harga kerapu tikus relatif stabil,” kata Sitepu
Padat Modal
Untuk menikmati harga tersebut, tidak mudah bagi pembudidaya. Tantangannya antara lain, mampu menyediakan modal besar, rentang waktu budidaya yang lama, dan keterbatasan pasar karena pasar lokal masih belum banyak.
Modal pembuatan KJA berukuran 3 m x 3 m x 3 m mencapai Rp10 juta. Belum lagi pembelian 4 buah drum, balok, dan papan masing-masing 8 batang serta jaring. Modal benih tergantung ukuran yang akan ditebar. Harga benih per cm mencapai Rp1.250. Suplai benih bisa dari Balai Budidaya Laut Lampung atau hatchery milik Rudy Kobra dan Ayong, juga di Lampung.
“Budidaya ikan kerapu tidak mungkin hanya mengandalkan modal pas-pasan karena menunggu waktu panen cukup lama,” ungkap Sitepu. Pasalnya, dibutuhkan waktu pembesaran selama 8—10 bulan untuk kerapu macan, sedangkan kerapu tikus lebih lama lagi, 18—24 bulan sampai berukuran 500 gram.
Kerapu tikus termasuk tidak dipelihara sehingga hanya beberapa daerah saja termasuk Lampung yang bisa mengembangkannya. Dulu pada awal pembudidayaan kerapu tikus, tingkat kelangsungan hidupnya (survival rate-SR) cuma 30—40%, tapi sekarang sudah meningkat menjadi 60—70%. Namun untuk kerapu macan, SR-nya lebih tinggi.
Umumnya pembudidaya menebar benih berukuran 9—12 cm. Makin besar benih yang ditebar, semakin besar pula tingkat kelangsungan hidupnya. Risiko kematian cukup tinggi terjadi pada benih berukuran 5 cm karena benih masih rentan terhadap penyakit dan belum mampu beradaptasi dengan lingkungannya.
Lamanya proses pembesaran kerapu, menurut Sitepu, sangat dipengaruhi perkembangan ikan tersebut yang tidak sama. Selain itu, sering timbulnya penyakit pada musim penghujan maupun akibat perubahan musim serta pencemaran lingkungan juga menjadi tantangan tersendiri.
Pemeliharaan
Selama proses pembesaran, dilakukan pembersihan jaring dan pencelupan ikan ke dalam air tawar 5—10 menit seminggu sekali agar ikan tidak mudah terserang penyakit kulit. Pencelupan berguna untuk mematikan bakteri yang menempel di tubuh ikan.
Pemberian pakan dilakukan secara teratur pagi dan sore, berupa pellet dan rucah (ikan yang dipotong-potong). Pakan pellet cocok untuk pembesaran benih sampai berukuran 150 gram.
Di atas ukuran itu, pembudidaya memberikan pakan rucah dan pellet. Kalau hanya menggunakan pellet, kenaikan bobot ikan lambat, hanya 10 gram/bulan. Sedangkan dengan rucah kenaikannya sampai 40 gram/bulan.
Agar tingkat produksi kerapu dapat meningkat, perlu diupayakan sosialisasi budidaya kerapu secara konsisten, serta membangun sistem usaha yang tidak terlalu panjang dalam proses pembudidayaan untuk konsumsi.
Supriyanto, Lampung