Senin, 13 Nopember 2006

Bagaimana model pengembangan agribisnis susu di China?

Mei 2006 lalu saya mengunjungi Republik Rakyat China, khususnya Inner Mongolia Autonomous Region. Salah satu yang saya kunjungi di sana adalah industri susu segar. Yang menarik perhatian adalah keseimbangan pengembangannya.
China mengembangkan kerjasama yang harmonis antara industri susu segar skala besar dan industri susu rakyat, serta mendapat dukungan dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat. 

Dukungan pemerintah diarahkan untuk memungkinkan kemitraan antara pengusaha besar (industri pengolahan susu/IPS) dengan peternak sapi perah. Keduanya tunduk kepada mekanisme pasar, sedangkan peran fasilitasi pemerintah agar keduanya memperoleh keuntungan yang memadai. Namun, untuk mendapat keuntungan, baik peternak maupun IPS harus menangkap skala usaha ekonomi dan mempraktikkan prinsip bisnis yang mengandalkan pada efisiensi dan biaya rendah.

 

Apa yang menarik dari kerjasama tersebut?

Membuat organisasi yang efisien dan efektif dengan menangkap skala usaha ekonomi. Melalui skala usaha yang ekonomis, maka biaya menjadi minimum dan layanan pun efisien. Dengan demikian keuntungan para pelaku cukup tinggi.

Yang dimaksud pelaku di sini mulai dari pemerintah sebagai penyedia infrastruktur dan lokasi, serta fasilitator. Pengusaha terdiri dari pengusaha jasa kontruksi, bibit sapi,  pakan, obat-obat ternak, pengusaha industri pengolahan susu, serta peternak dan keluarganya. 

 

Bagaimana contoh konkretnya?

Pada areal yang telah ditentukan untuk pengembangan peternakan sapi perah, pengusaha jasa kontruksi membangun perkampungan peternakan. Dalam areal sekitar 20�30 ha itu disiapkan rumah tempat tinggal dan areal peternakan untuk 20�30 keluarga peternak. Proses kepemilikan lahan peternakan itu sama seperti kita memproses kredit pemilikan rumah (KPR) di Indonesia. Bedanya, kredit dari pemerintah di sana suku bunganya hanya 5%.

Setelah  memperoleh rumah dan kandang, peternak membeli sapi perah dengan cara kredit masing-masing 20�30 ekor. Jumlah kepemilikan sapi tersebut untuk menangkap skala ekonomi. Selain itu, juga tergantung pada jumlah anggota keluarga yang terlibat mengelola peternakan ditambah tenaga kerja setempat yang bisa direkrut. Tak kalah menariknya, sapi di China bisa diagunkan ke bank untuk mendapatkan kredit.

Model ini mengumpulkan peternak dalam suatu perkampungan peternakan sapi perah yang cukup besar dan tertutup sehingga biaya produksi menjadi efisien. Misalnya, biaya transportasi pakan karena dilakukan bersama-sama menjadi efisien. Penggunaan tenaga kesehatan hewan yang disediakan pemerintah dan tenaga quality control (QC) yang disediakan oleh IPS pun efisien. 

Untuk menjamin konsistensi kuantitas dan kualitas produksi, di tengah kampung disediakan pusat pemerahan susu modern. Semua peternak dapat menggunakan mesin pemerah itu secara bergantian dengan membayar fee. Selain mesin pemerah susu, tersedia juga prosesing sederhana, yaitu alat pendingin sebelum susu diangkut ke IPS yang jaraknya sekitar 50 km dari perkampungan ini.

Yang menarik lagi, pembangunan jalan, aliran listrik, dan saluran air minum  ke lokasi itu menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Wajar saja jika banyak pengusaha dari luar China datang untuk berinvestasi, di antaranya dari Australia, Eropa, dan Amerika Serikat, tak ketinggalan pengusaha dari Indonesia.

 

Pelajaran apa yang bisa ditarik dari sini?

Pelajaran yang bisa ditarik adalah pengembangan agribisnis harus diorganisir sedemikian rupa agar dapat menangkap skala usaha yang tepat dalam bidang produksi, layanan, dan pemasaran. Para peternak pun harus diorganisir sedemikian rupa agar dapat menangkap layanan-layanan yang efisien. Sekalipun berskala keluarga harus memenuhi standar usaha yang efisien. Hal tersebut dapat diperhitungkan dari besarnya keluarga dan tenaga kerja yang bisa direkrut dari sekitar situ.

Contoh tersebut menunjukkan skala usaha yang tepat bagi mereka berkisar 20�30 ekor sapi per keluarga. Sedangkan di Indonesia kepemilikan sapi perah jauh di bawah angka tersebut, sehingga tidak tercapai skala ekonomi. Sisa hasil usahanya hanya dapat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sehingga tidak mungkin mengembangkan usaha agribisnisnya.

Hal penting lainnya, layanan yang efisien dan efektif dari pemerintah pusat, provinsi, sampai ke kabupaten dengan pembagian tugas yang jelas. Juga perlu dikembangkan sistem layanan perbankan yang khusus melayani keunikan dari agribisnis ini. Serta efisiensi layanan pemasaran bagi peternak sehingga susu yang dihasilkan ternaknya tidak mengalami degradasi kualitas.

Tak kalah pentingnya dalam suatu kawasan ini adalah organisasi, manajemen, dan kepemimpinan. Bila hal tersebut berjalan dengan baik, maka disiplin bisa diterapkan, sehingga kualitas bisa dikontrol dan biaya bisa ditekan. Itulah model pengembangan agribisnis, terjadi kerjasama yang harmonis antara pemerintah, pengusaha, dan peternak.

Bedanya dengan di Indonesia, kita memiliki peternak yang hebat-hebat tapi jika membentuk suatu organisasi sering kali tidak menemukan kesepahaman. Akibatnya, organisasi yang bertujuan mengorganisasikan para peternak justru tidak bisa jalan karena masing-masing peternak memiliki kepentingan sendiri-sendiri.

Untung Jaya

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +