Intelijen bisnis petani propinsi Gorontalo memang oke. Nasir Potale, memperoleh info bahwa 24.000 ton beras impor, sudah masuk ke Manado, Sulawesi Utara. Akibatnya, bisa dirasakan petani dari Pulubala, Kota Tengah, Kota Gorontalo, itu. Harga beras bakal terganggu. “Kami, petani, punya ide ekspor beras,’’ kata Nasir.
Sejatinya, Oktober—Nopember ini pemerintah membuka keran impor beras 210.000 ton. Sebagian masuk ke Manado. Padahal, biasanya, surplus beras di Gorontalo dilempar ke Manado. Tapi, dengan adanya beras impor, beras dari Gorontalo mendapat tekanan dari beras impor. “Kami meminta bantuan gubernur untuk memasarkan beras kami ke luar negeri,’’ kata Nasir.
Tentu saja Ir H. Fadel Muhammad tidak bisa menolak keinginan rakyatnya. “Rakyat atau petani yang mau ekspor, dan menolak impor beras. Bukan Gubernur,’’ tandas Gubernur Gorontalo itu pada acara penanaman padi hibrida Hibrindo R-1 di Gorontalo. Menurut Fadel, dengan menanam padi hibrida, Gorontalo bisa mengekspor beras ke mancanegara.
Bukan hal yang sulit bagi Fadel untuk menembus pasar luar negeri. Apalagi pada acara penanaman padi hibrida itu, ia mengundang Suherman Dinata, Presiden Direktur PT Alam Makmur Sembada, yang antara lain memasarkan beras merek Nona Holland, Cap Jago, dan Rojolele Dumbo. “Kita bisa pasarkan ke Filipina atau Brunei,’’ ungkap Ayong, sapaan akrab Suherman Dinata.
Gaya Hun Sen
Pagi itu, Rabu, 20 September 2006, Fadel bersama pejabat setempat turun ke sawah di Pulubala, Kota Tengah, Kota Gorontalo, propinsi Gorontalo. Fadel meniru gaya Hun Sen, Perdana Menteri Kamboja, yang langsung turun ke sawah menanam padi. “Cara ini untuk mendorong semangat rakyat Gorontalo meningkatkan produksi beras,’’ kata Fadel.
Ir Yusuf Hamidun, Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan, Gorontalo, bangga karena acara penanaman padi hibrida itu, antara lain dihadiri Ir Rahman Pinem, MM, Direktur Perbenihan, Ditjen Tanaman Pangan, Deptan, International Rice Research Institute (IRRI) yang bermarkas di Filipina, dan Dr Benni H. Sormin, Assistant FAO Representative. ”Apresiasi sangat tinggi,’’ ujar Yusuf.
Mengapa menggunakan benih padi hibrida Arize Hibrindo R-1, yang dipasarkan Divisi Bayer CropScience, PT Bayer Indonesia? ”Kita tidak memilih. Perusahaan itu sendiri yang aktif. Petani yang meminta itu. Kita menerima saja,’’ kata Yusuf. Tentu saja Sidi Asmono, Manajer Divisi Bayer CropScience, PT Bayer Indonesia bangga. ”Gorontalo sebagai oase yang bisa menerima kami sebagai penyedia teknologi,’’ jelasnya.
Dengan menggunakan benih padi hibrida, maka benih yang diperlukan cuma 15 kg/hektar atau setara Rp450.000,-. Termasuk benih, total biaya produksinya sekitar Rp8,69 juta. Namun, produksinya sekitar 10 ton GKP (gabah kering panen)/hektar atau setara Rp17 juta. Dengan demikian, rasio pendapatan terhadap biaya untuk padi hibrida adalah 1,96 kali.
Bandingkan dengan padi inbrida (non-hibrida). Benih yang diperlukan 45 kg/hektar atau setara Rp135.000,-. Termasuk benih, total biaya produksinya sekitar Rp8,16 juta. Tapi produksinya sekitar 6 ton GKP/hektar atau setara Rp10,2 juta. Berarti rasio pendapatan terhadap biaya untuk padi inbrida 1,25 kali. Karena itu, bagi petani yang berjiwa wirausaha, wajar memilih benih padi hibrida. Sebab, hasilnya jauh lebih menguntungkan.
Nah, untuk mendorong petani menggunakan benih padi hibrida, menurut Fadel, pihaknya memberikan subsidi 50% harga benih. Grontalo, lanjut dia, sudah menganggarkan subsidi benih sekitar Rp1 milyar. ”Supaya mereka mau hibrida, kita subsidi benihnya,’’ paparnya.
Brigade Proteksi
Untuk melindungi tanaman dari serangan hama dan penyakit, Pemda Gorontalo menyediakan Mobil Operasional Brigade Proteksi Tanaman. ”Unit kendaraan khusus untuk mencegah serangan hama dan penyakit. Supaya gerakannya cepat,’’ kata Fadel.
Di dalam unit mobil Mitsubishi Colt Diesel 100 PS Direct Injection itu, antara lain bisa ditemukan Spontan 400 WSC (insektisida yang dipasarkan PT Agricon), sprayer (produksi Maspion Mfg. Co. Inc.) dan mist duster merk Maruyama MD 150. ”Kayak pemadam kebakaran,’’ tambah anggota Ikatan Cendekiwan Muslim Indonesia (ICMI) itu.
Fadel, yang sudah berhasil meningkatkan produksi jagung dengan menggunakan benih lokal, komposit, dan hibrida, dari 60.000 ton menjadi 600.000 ton pada 2006, memang serius dengan padi hibrida ini. Di Gorontalo terdapat sekitar 24.000 hektar lahan sawah (padi) yang bisa ditanami 1—2 kali/tahun dengan produktivitas sekitar 4,7 ton GKP/hektar.
Saat ini, produksi padi di Gorontalo sekitar 260.700 ton GKP atau setara 130.350 ton beras. Dengan jumlah penduduk 950.000 jiwa, jumlah konsumsi berasnya sekitar 128.250 ton. Berarti surplus 2.100 ton. Jika 3.000—5.000 ha lahan sawah ditanami dengan padi hibrida, maka Gorontalo akan surplus beras 20.000—30.000 ton.
Dengan kelebihan produksi itu, wajar bila petani di propinsi Gorontalo ingin mengekspor berasnya. ”Kami menolak impor dengan cara meningkatkan produksi beras,’’ tandas Fadel.
Syatrya Utama