Senin, 25 September 2006

CERDIK ATAU CEROBOH?

Pro-kontra terhadap rencana pemerintah memperlonggar aturan impor daging sapi tampaknya bakal panjang. Setidaknya, itu terlihat dari riuhnya silang pendapat yang muncul pada dialog terbuka yang berlangsung di auditorium Deptan dua pekan lalu.

 

Bisa dibilang, dialog itu belum menghasilkan titik temu. Para stakeholder yang hadir di situ bersikukuh dengan cara pandang masing-masing. Kubu yang mendukung revisi antara lain berdalih, pembatasan impor daging sapi lewat SK Mentan No. 745/1992 itu kurang fair dari segi bisnis. Sementara, kelompok kontra mengungkap, di antaranya soal potensi ancaman masuknya penyakit sapi berbahaya ke wilayah Indonesia, seperti Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dan sapi gila (BSE), jika SK impor sapi itu jadi direvisi.

Tapi Menteri Pertanian, Anton Apriyantono, juga punya alasan sendiri. Ia menilai, perubahan pedoman pemetaan kesehatan hewan berkaitan dengan PMK yang dikeluarkan Organisasi Kesehatan Hewan Internasional OIE, bisa dijadikan pegangan. Tahun lalu OIE mengeluarkan Terrestrial Animal Health Code (TAHC), yang membagi wilayah bebas PMK tidak hanya berdasar negara (country base), tapi juga sistem zona (zone base). Klasifikasi bebas itu tidak lagi diasumsikan per negara, tapi lebih sempit lagi, yaitu bagian dari suatu negara dengan batas yang jelas. Pedoman baru OIE itu selengkapnya membagi dalam 4 kategori: Negara bebas PMK tanpa vaksinasi, Negara bebas PMK dengan vaksinasi, Zona bebas PMK tanpa vaksinasi dan Zona bebas PMK dengan vaksinasi.

Pemerintah mengaku sudah mengkaji kemungkinan untuk memperbanyak pilihan negara asal impor daging sapi. Sebab, faktanya kebutuhan konsumsi daging sapi Indonesia tak bisa diimbangi pertumbuhan populasi sapi di dalam negeri. Sedangkan, impor dengan menganut country base, jumlahnya sangat terbatas.  Karenanya, ada kekhawatiran stok sapi nasional yang pada tahun lalu hanya berkisar 11 juta ekor itu, bakal habis dalam beberapa tahun.

Di sisi lain, Anton juga mengungkap soal tingginya harga daging sapi yang semakin sulit dijangkau masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah. Maka, ia berharap pelonggaran impor ini juga bisa menimbulkan dampak penurunan harga secara alami.

 

Bisnis dan Taruhan Sejarah.  

Di balik perdebatan soal impor sapi ini, akhirnya juga merebak ke soal bisnis. Dari data Deptan, kebutuhan daging sapi nasional pada 2005 sebesar 499.000 ton. Maka, untuk memenuhi kebutuhan ini, setiap tahun  1,5 juta ekor sapi dipotong, atau setara dengan 450.000 ton daging. Sisanya dipenuhi dari impor daging dan jeroan sebesar 50.000 ton.

Kran impor sapi bakalan saat ini hanya mampu memasok 350.000 ekor. Itu berarti, setiap tahun, stok sapi dalam negeri terkuras sekitar 1,15 juta ekor. Jika, pertumbuhan populasi dalam negeri sangat kecil, maka pilihan memperbesar impor memang cukup beralasan. 

Bukankah ini peluang bisnis? Para calon importir, juga negara produsen ternak dan daging sapi yang selama ini terganjal SK 745/1992 itu, mungkin sudah mencium aroma keuntungan di sini. Merekalah yang paling bersorak jika revisi impor ini jadi disahkan.

Basuki Hariman, bos PT Cahaya Sakti Utama, perusahaan importir daging menilai, peraturan yang telah berusia 14 tahun itu sangat eksklusif. Indonesia, menurutnya, tidak mengikuti perubahan yang dilakukan negara-negara lain. “Jika tetap dipakai, perdagangan kita akan tertinggal,” jelas Basuki kepada AGRINA.

Senada dengan Basuki, Thomas Sembiring, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (ASPIDI) setuju dengan langkah revisi. Sebab, menurutnya, semakin banyak pilihan asal impor, persaingan bisnis kian bagus.  “Yang penting pengawasan keamanan dan kehalalannya lebih ketat,” begitu Thomas menambahkan. 

Mentan Anton memang menyatakan bahwa revisi impor ini juga mengedepankan prinsip kehati-hatian. Tapi, justru di sinilah simpul masalahnya. Banyak pihak tidak begitu yakin dengan kinerja aparat di lapangan, terutama soal mentalitas dan profesionalismenya. Ini memang soal klasik. 

Bukan apa-apa, mengawasi penyakit hewan bukan pekerjaan yang mudah. “PMK ini penyakit licik dan susah untuk diberantas,” kata Soehadji, mantan Dirjen Peternakan  era orde baru.. Ia mengingatkan soal kasus penularan di Malaysia pada 2002. Negeri jiran itu tertular PMK gara-gara mengimpor dari negara yang belum berstatus bebas. Akibatnya, hingga kini negeri tetangga itu belum bisa terbebas dari PMK.

Sofjan Sudarjad, mantan Dirjen Bina Produksi Peternakan, mengamini Soehadji. Menurutnya, keberhasilan Indonesia membebaskan diri dari PMK pada 1990 merupakan prestasi yang luar biasa membanggakan. Bahkan, sangat bersejarah, mengingat virus PMK di Indonesia sudah ada sejak 1887 pada era Hindia Belanda. Maka, tambah Sofjan, sudah seharusnya, kita tetap mempertahankan kebijakan maximum security terhadap penyakit ini.

Lagi pula, tambah Sofjan, istilah zona bebas sudah ada sejak 1990, tapi diperuntukkan bagi negara yang masih tertular PMK, seperti Jepang, Malaysia dan Thailand. Sofjan meyakinkan, hingga saat ini tidak ada satu pun negara yang bebas PMK mau membeli sapi dari zona bebas. Nah, lho?

Kalau begitu, perlukah kita menempuh risiko yang mahal ini? Jangan-jangan sejarah mencatat revisi SK No. 745/1992 itu sebagai penyebab masuknya kembali PMK di Indonesia? Semoga, tidak.

Krus Haryanto/Yan Suhendar

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain